news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perth, Kembali ke Titik Awal Pandemi

Konten dari Pengguna
28 Juni 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perth, Kembali ke Titik Awal Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Baru lima hari merayakan kemerdekaan dari virus COVID-19, hari Minggu (27/6) warga Perth, Australia Barat, kembali diwajibkan menaati protokol kesehatan di tempat umum. Mengenakan masker, menjaga jarak, dan sesering mungkin mencuci tangan. Seperti di awal pandemi tahun lalu.
ADVERTISEMENT
"Ini gegara satu orang baru datang dari Sydney, yang positif COVID-19 ketika menjalani tes," kata Sjahrir Laonggo, sahabat Warga Perth, via WA.
"Menteri Kesehatan Australia Barat mengumumkan jam 12 siang kemarin. Semua orang diwajibkan pake masker. Saya sendiri baru tahu setelah mau masuk ke Bunnings. (Toko penjual alat-alat perkebunan) Ditahan depan pintu dan dilarang masuk tanpa masker," sambung Sjahrir. Belum ada penjelasan, virus varian apa yang menjangkiti satu warga itu.
Berdasar informasi Sjahrir juga Rabu (23/6) Juni lalu, saya menulis kabar gembira mengenai keberhasilan Australia menaklukkan virus COVID-19.
Satu kasus sudah bikin pemerintah panik?
"Iya, Pak. Di sini begitu. Tidak sampai menunggu lama, pemerintah langsung bikin larangan tegas," ujar Sjahrir.
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi tahun lalu, di Australia Barat tercatat 1.022 kasus positif, 1.010 sembuh, dan 9 wafat.
Jumlah penduduk Perth, Australia sekitar 2 juta jiwa sedangkan populasi penduduk satu benua Australia seluruhnya 25 juta. Tidak sampai sepersepuluh penduduk Indonesia. Dengan mudah kita bisa menunjuk jumlah penduduk itu menjadi faktor penentu keberhasilan Australia, sekurangnya mengendalikan pandemi.
Minggu lalu Sydney, ibu kota negara bagian New South Wales (NSW), Australia memang kembali lockdown. Tapi jumlah kasus di sana tidak banyak. Di Australia, satu dua warga terpapar positif langsung lockdown. Itu sudah berulang-ulang terjadi. Tampaknya, lockdown bagian dari strategi mereka menekan laju pertumbuhan virus.
Sejak pandemi, Australia membukukan 30.449 kasus postif, dan 910 warga yang wafat.
Bagaimana dengan kondisi di Tanah Air?
ADVERTISEMENT
Data harian per tanggal (27/6) jumlah kasus positif 21.342 jiwa ( termasuk DKI 9.324). Sejak pandemi awal Maret tahun lalu, total kasus di Indonesia per tanggal (27/5) adalah 2.115.304, sembuh 1.850.481. Yang meninggal: 57.138.
Memang kurang fair membandingkan penanganan pandemi di Australia dengan Indonesia. Kalau mengacu pada populasi penduduk. Tapi bagaimana dengan beberapa provinsi di Indonesia yang berpenduduk relatif kecil dan pemerintahannya menerapkan otonomi daerah?
Sebagai contoh Daerah Istimewa Yogyakarta yang berpenduduk 3,8 juta jiwa; Kalimantan Timur (3,7 juta jiwa), dan Kepulauan Riau (2,2 juta jiwa). Sampai sekarang tiga provinsi itu juga belum bebas COVID-19. Malah selalu masuk dalam daftar 10 besar provinsi dengan warga terbesar positif COVID-19 dalam data harian.
ADVERTISEMENT
Bekerja keras
Kita tidak meragukan tekad dan kemampuan pemerintah menangani pandemi. Sejak kasus COVID-19 ditemukan pada pasien 1 dan 2 awal Maret 2020 sudah bekerja keras menangani pandemi. Sudah berapa banyak lembaga dibentuk pemerintah untuk tujuan itu. Program pembatasan mobilitas juga sudah berganti-ganti judul.
Disesuaikan dengan dinamika yang berkembang. Dana yang diguyurkan pun sudah ribuan triliun rupiah. Program untuk mengatasi warga terpapar, untuk bantuan sosial juga macam-macam judulnya, bahkan penghapusan pajak PPn BM untuk pembelian mobil dan banyak lagi. Sayang ada banyak terjadi kebocoran dalam program bantuan untuk masyarakat yang terpapar. Anggaran dikorupsi pejabat pemerintah sendiri. Dari level bawah sampai menteri yang kini para pelakunya sudah berhadapan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
Hanya saja semua itu belum ditopang oleh praktik koordinasi dan pengawasan. Itu paling banyak disoroti pengamat dan publik hingga sekarang. Yang menyedihkan koordinasi para pejabat yang ditugasi, juga di level menteri memang masih tumpang tindih. Dan, itu sejak dari awal pandemi merebak. Padahal, sebenarnya, kalau saja pemerintah konsisten membatasi mobilitasi kerumunan warga disertai dengan alat pemaksa (hukum) tidak akan seambyar ini kondisi kita. Sayang jargon "keselamatan jiwa rakyat adalah utama, hukum tertinggi" menjadi wacana belaka.
Akhirnya membuat Gubernur Jabar dan Gubernur DI Yogyakarta hanya bisa lempar handuk ketika didesak melaksanakan lockdown. "Tidak ada uang untuk membiayai lockdown," kata Ridwan Kamil, Gubernur Jabar.
Pemerintah pusat, juga Sri Sultan dan Ridwan Kamil tampaknya lupa memperhitungkan azas gotong royong yang menjadi sistem nilai masyarakat kita. Azas saling menolong satu sama lain dalam satu komunitas. Belum lekang dalam ingatan ketika tahun lalu warga di kampung berinisiasi sendiri menutup akses keluar masuk pemukiman mereka. Pasang bambu kayu di mulut-mulut jalan, membentang spanduk dengan tulisan sekenanya, seperti "Lauk Daun", "Lok Don", "Laud Down", dan macam-macam. Pokoknya pesannya sampai, yang dimaksud adalah lock down! Itu sebelum proyek-proyek bansos digelontorkan.
ADVERTISEMENT