Polisi Kita dan Pelecehan Asas Praduga Tak Bersalah

Konten dari Pengguna
6 Maret 2019 14:08 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konferensi pers terkait penangkapan Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief, di Divhumas Polri, Jakarta, Senin (4/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers terkait penangkapan Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief, di Divhumas Polri, Jakarta, Senin (4/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Seluruh foto menyangkut penangkapan Andi Arief yang beredar Minggu (4/3) siang di media sosial dan grup WhatsApp, sebenarnya mudah ditebak sumbernya. Cuma satu: Polisi. Sekurangnya, polisi tahu itu. Mustahil ada pihak lain yang membuat foto selain polisi dalam suatu operasi tangkap tangan di dalam sebuah kamar hotel. Apalagi ini kasus narkoba yang melibatkan tokoh elite partai politik.
ADVERTISEMENT
Foto-foto yang beredar adalah semua barang bukti yang dibutuhkan di persidangan. Mulai dari bong (alat pengisap sabu), bungkus rokok, asbak, Pocari Sweat, dan closet yang dibongkar. Ada juga perempuan muda cantik berinisial L. Ada yang menyebut dia seorang artis. Ini yang semakin menambah dramatis penangkapan Andi Arief. Tidak heran jika menjadi sorotan publik.

Pengakuan Kabareskrim

Pada awalnya, wartawan tentu tidak percaya begitu saja mengenai rangkaian foto yang diterimanya. Apalagi nyelonong begitu saja masuk di ponselnya. Tanpa permisi. Tanpa jelas sumbernya. Tapi mengabaikan foto itu begitu saja pun bukan watak wartawan. Maka sesuai kaidah, mereka segera melakukan verifikasi ke berbagai sumber. Sebelum itu disiarkan di media masing-masing. Diperkuat pula oleh sumber kompeten: Kabareskrim Idham Azis. Bisa dilihat jejak digitalnya dari berita detik.com Minggu (4/3) siang. “Kabareskrim Idham Azis membenarkan penangkapan Andi Arief, termasuk foto-foto yang beredar,” tulis detik.com.
ADVERTISEMENT
Namun, hari itu juga, satu per satu fakta itu dibantah oleh polisi sendiri. Kadiv Humas Mabes Polri, M. Iqbal, hanya mengakui perihal penangkapan Wakil Sekjen Partai Demokrat. Ia bilang, tidak ada perempuan dalam penangkapan. Tidak ada sabu. Rangkaian foto yang disebut di atas, ia sangkal. Tidak tahu menahu. Intinya bukan dari polisi. Itu disampaikan dalam forum resmi konferensi pers. Wartawan juga memberitakan keterangan itu. Tetapi bukan berarti setelah itu diam.
Namanya juga wartawan, dia pakai nalarnya. Apalagi yang dibantah Iqbal hanya sumber foto. Bukan substansinya. Maksudnya fakta dalam foto itu. Ada apa dengan polisi? Iqbal malah menyalahkan pers karena menyebarkan rangkaian foto-foto yang terkait penangkapan Andi Arief.
ADVERTISEMENT
Pernyataan yang sama dinyatakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Rachland Nasidik, di forum ILC-TVone, Selasa (5/3) malam. Berulang kali ia menyesalkan pers. Ia malah kebablasan menuduh pers melanggar kode etik, tanpa menyebut secara spesifik media mana yang dia maksud.
Entah dapat wangsit dari mana petinggi partai ini. Seolah kalau tidak bersumber dari polisi, informasi apapun tidak valid. Padahal, pers sudah lakukan verifikasi sebelum itu disiarkan. Verifikasi kepada sumber yang berwenang dan sumber ini. Host ILC, Karni Ilyas, sampai berulang kali mengingatkan itu.
Saya mengikuti pemberitaan penangkapan Andi Arief bukan di Tanah Air, tapi di Australia, tepatnya di Melbourne. Tapi, sejak berita itu pecah, juga diunggah di grup WhatsApp Forum Pemred pada Minggu (4/3) siang, saya dengan redaksi di Jakarta intens melakukan kontak. Saya meminta redaksi di kantor Jakarta mengikuti secara cermat perkembangan kasus Andi Arief.
ADVERTISEMENT
Terus terang saya sudah lama terganggu oleh cara polisi memperlakukan “tangkapannya”. Tiada rasa hormat pada asas praduga tak bersalah pada orang yang diduganya melakukan tindak pidana. Foto Andi Arief di dalam tahanan menyebar kemana-mana sebelum ada penjelasan mengenai kasus yang dihadapinya. Tidak sadar bahwa itu berpotensi membunuh karakter seseorang yang seharusnya dilindungi oleh penegak hukum.
Setelah itu, polisi mengumumkan bahwa Andi Arief hanya korban penyalahgunaan narkotika. Statusnya pemakai, berhak atas rehabilitasi. Namun, kenapa yang bersangkutan berada di dalam sel? Lalu fotonya disebarluaskan, apakah bermaksud supaya masyarakat yang “menghukumnya”?
Soal wanita berinisial L, tidak kurang serunya. Awal keterangan polisi, L disebutkan satu kamar dengan Andi Arief saat penggerebekan polisi. Beberapa saat kemudian ketika hendak didalami wartawan, Iqbal membantah. Tidak ada perempuan, katanya. Tapi belum masuk magrib, Iqbal konferensi pers lagi. Akhirnya, ia mengakui ada perempuan. Siapa perempuan itu, tidak diuraikan. Yang jelas, bukan orang yang ada di dalam foto. Saat L ini menjadi sorotan publik, seorang wanita bernama Livy Andriani meradang. Ia artis FTV yang sekarang menjadi Caleg Partai Nasdem. Livy mengancam akan memperkarakan siapapun yang mengaitkan dirinya dengan wanita L, kawan sekamar Andi Arief.
ADVERTISEMENT
Indonesia Police Watch (IPW) meminta polisi menyingkapi siapa wanita L itu. Namun polisi tak hirau. Mestinya Livy Andriani mendesak polisi juga, bukan mengultimatum pers. Selama L tak diungkap, keadaan itu niscaya akan merugikan diri caleg Nasdem itu.
Ada catatan redaksi yang menunjukkan bahwa bukan sekali ini polisi mengabaikan asas praduga tak bersalah dan menyebarkan foto-foto tangkapannya. Masih lekat dalam ingatan perihal kasus penggerebekan rumah artis Tora Sudiro. Polres Metro Jakarta Selatan menangkap Tora Sudiro terkait dengan kepemilikan Dumolid di Bali View di Tangerang Selatan, Kamis, 3 Agustus 2017. Polisi juga mengamankan istri Tora, Mieke Amalia. Polisi menyita barang bukti berupa 30 butir Dumolid.
Tak lama setelah penggerebekan, muncul foto-foto Tora sedang diperiksa di rumahnya. Polisi bahkan sempat berpose bersama barang bukti. Foto-foto penggerebekan menyebar luas ke publik terlebih dahulu. Penggerbekan subuh, hasil operasinya disampaikan polisi kepada pers pada siang hari.
ADVERTISEMENT
Waktu itu polisi juga menyangkal karena dianggap menjadi sumber dari foto-foto yang dimuat oleh media pers. Akibatnya, Tora Sudiro dan keluarga babak belur hadapi sanksi sosial. Dia sendiri menjalani hukuman tidak berapa lama. Namun, sanksi soal jauh lebih membuat mereka menderita.
Novi Amalia
Seorang model wanita, Novi Amalia, ditangkap dalam keadaan mabuk. Mobilnya menabrak dua anggota polisi, 11 Oktober 2012. Yang menghebohkan, wanita itu mengendarai mobil hanya mengenakan BH dan celana dalam. Cerita lebih menghebohkan, ternyata foto-foto wanita itu menyebar di media sosial. Setting foto itu ketika Novi berada di ruang pemeriksaan polisi.
Yang juga mencengangkan, beredarnya foto Firza Husein, tersangka kasus chatting mesum dengan Habib Riziek. Foto itu beredar luas saat Firza menjalani penahanan di Mako Brimob Kepala Dua, sekitar Februari 2017. Tidak mungkin Firda membuat foto selfie. Bukankah semua alat komunikasinya disita polisi dan waktu itu tidak boleh dibesuk?
ADVERTISEMENT
Vanessa Angel
Ada juga catatan redaksi yang membandingkan Vanessa Angel dengan wanita L, kawan sekamar Andi Arief. Vanessa habis-habisan di-publish oleh polisi. Sementara kasusnya tak pernah jelas. Apakah ia melanggar hukum karena kedapatan sekamar dengan pria yang bukan suaminya? Atau dia, seperti sering disebut polisi: pelanggarannya karena menjadi pelaku prostitusi online? Dia diduga melanggar UU ITE, tapi harus ditahan untuk pelanggaran yang hukumannya maksimal 4 tahun penjara.
Tidak cuma itu, sampai hari ini identitas pria hidung belang yang booking Vanessa, tak pernah diungkap polisi seterang benderang Vanessa. Nama hotel saja, yang menjadi poin kejadian, tak pernah disebutkan oleh polisi.
Bandingkanlah dengan wanita berinisial L yang digerebek bersama Arief di dalam kamar Hotel Peninsula. Identitasnya disembunyikan rapat-rapat, seperti R, pria yang disebut mem-booking Vanessa Angel.
ADVERTISEMENT
Tanya polisi, pasti anda akan mendapatkan banyak jawaban. Diumumkan, dibantah, lalu diralat sendiri oleh yang bersangkutan. Ini yang bikin gaduh. Ada apa dengan polisi kita? Terulang lagi kerja polisi yang "rame ing media" tapi "sepi ing gawe profesional".
Melbourne, 6 Maret.