Selamat Jalan, 'Guru Besar' Wartawan Indonesia

Konten dari Pengguna
12 Agustus 2019 9:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
In Memoriam P Swantoro
Pollycarpus Swantoro. | Dok. pribadi
Salah satu pengajar program Karya Latihan Wartawan (KLW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di tahun 70-an adalah Pollycarpus Swantoro. Program ini dikomando Rosihan Anwar, Ayatollah Wartawan Indonesia, sebagai Direktur Program.
ADVERTISEMENT
Selain Swantoro, ada pengajar lainnya seperti Jacob Oetama, Harmoko, Zulharmans Said, Mahbub Djunaedi, Djaffar Assegaf—tokoh-tokoh besar pers, tokoh-tokoh pergerakan bangsa. Kami, semua murid program KLW, luar biasa kenyang, masa dididik mereka. Seperti berenang di lautan ilmu.
Pak Swantoro termasuk pengajar favorit. Ilmunya segudang, terutama sejarah dan filsafat. Berpembawaan tenang, sabar mengajar, membuat kita hanyut masuk ke kedalaman pengetahuannya.
Di KLW, Pak Swantoro sendiri menyadari, perlu tambahan perhatian mengajar peserta KLW yang umumnya para wartawan, dan tak sedikit wartawan senior. Seperti tokoh pers Sulsel Rahman Arge, di tahun 1977 satu angkatan dengan saya yang wartawan pemula. Semua wartawan yang jadi peserta terkagum-kagum pada teknik beliau mengajar.
Heriyanto, salah satu putera Pak Swantoro, merupakan sahabat saya. Dia pun bekerja di bidang media. Pemilik rumah produksi Shandika Widya Cinema. Yang memproduksi program antara lain: Infotaiment Kabar-Kabari. Seperti diketahui Kabar-Kabari dan Cek & Ricek merupakan dua tombak kembar stasiun TV RCTI sejak medio 96. Yang mempelopori infotainment di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Sama seperti ayahnya, Heriyanto juga berpembawaan tenang dan rendah hati. Di lapangan, dia menyerahkan urusan kepada Setyoro, saudara sepupunya. Di masa infotainment memicu kontroversi, siang malam kami bertiga bertemu. Berdiskusi mencari solusi keluar dari kontroversi itu.
Persoalan yang dihadapi justru amat berat di internal kami. Banyak infotainment yang diproduksi tanpa bekal pengetahuan jurnalistik yang memadai. Mereka tidak mengetahui jurnalisme memiliki rambu-rambu yang mesti ditaati. Selain peraturan perundang-undangan, kode etik jurnalistik, juga penghormatan kepada tata nilai budaya yang dianut masyarakat. Produksi infotainment yang lahir belakangan kebanyakan golongan tubruk lari, main hantam kromo. Program itulah yang menghadapi penolakan sebagian masyarakat. Yang penting dapat fulus, meminjam istilah almarhum Rosihan Anwar.
Saat-saat seperti itulah kami biasa mengenang Pak Swantoro. Yang menekankan pentingnya penguasaan data dan disiplin verifikasi. Sayang di masa tumbuhnya jurnalisme alternatif di layar televisi di Tanah Air—begitu kami memberi istilah—Pak Swantoro tidak lagi mengajar. Ia pensiun dari Kompas, dan memilih jalan sunyi. Malah program KLW-nya sendiri pun berhenti. Sehingga banyak wartawan yang tumbuh seadanya tanpa perawatan profesi yang baik.
Ilustrasi Koran Kompas oleh Abil/kumparan
PWI sebagai organisasi wartawan terbesar Indonesia mengakui infotainment adalah karya jurnalistik pada tahun 2005. Sedangkan pekerjanya dapat diterima sebagai anggota PWI selama mengikuti ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud harus mengikuti pendidikan seperti KLW. Itu memang sempat diwujudkan, tapi tak bernapas panjang. Beruntung di group Cek & Ricek, Pak Rosihan sampai akhir hayatnya melekat dalam institusi kami. Selain sebagai konsultan juga aktif menulis kolom di Tabloid C&R sekali sepekan. Itu sama dengan setiap minggu memberi contoh secara langsung bagaimana menciptakan produk jurnalistik yang baik.
ADVERTISEMENT
Idul Adha
Saya dalam perjalanan ke Konjen RI di Queen Street, Melbourne, Minggu pagi (11/8), saat menerima berita duka dari Jakarta lewat group WhatsApp (WA) Forum Pemimpin Redaksi Indonesia. Beritanya Pollycarpus Swantoro meninggal dunia. Mendiang mengembuskan napas terakhir pada Minggu (11/8) dini hari pukul 03.30 WIB. Persis di hari seluruh umat Islam memperingati Idul Adha atau dikenal juga sebagai Idul Qurban. Menit itu juga saya mengontak Heriyanto untuk konfirmasi. Heri—panggilan akrabnya—membenarkan.
Dua pekan silam, saat melayat ke rumah duka mendiang Arswendo Atmowiloto, saya bertemu Liliek Oetomo dan Tria Agung. Liliek, Wakil Pemimpin Umum Kompas, adalah putra Jacob Oetama. Saya tanya kabar Pak Jacob dan Pak Swantoro, dua pendiri Kompas Group. “Baik, Pak. Pak Jacob dan Pak Swantoro dalam keadaan sehat. Meski aktivitas keduanya sudah berkurang. Maklum, usia sudah sepuh,” ucap Liliek. Tidak lupa saya minta dititipkan salam kepada dua guru besar wartawan Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada keluhan sakit, Bang. Sabtu sore masih ke gereja. Dia hanya merasa kedinginan. Habis makan langsung tidur,” cerita Heri lewat WA, Minggu pagi (11/8).
Mendiang Swantoro meninggal di usia 87 tahun. Meninggalkan empat putra (putra kedua wafat) dan tujuh cucunya.
Indonesia kehilangan seorang wartawan terbaiknya, guru besar wartawan Indonesia.
Selamat jalan, Pak Swantoro. Semoga arwah mendiang mendapatkan tempat terbaik. Sepadan dengan amal baktinya semasa hidup. Dan, keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan, kesabaran, dan kemampuan merawat keikhlasan melepaskan beliau pergi menghadap Tuhannya. Amin.
Melbourne, 12 Agustus 2019.