Tiada Lagi Habibie, Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia

Konten dari Pengguna
11 September 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden ke-3 RI sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie tertawa saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12/2017). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Presiden ke-3 RI sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie tertawa saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12/2017). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Catatan Ilham Bintang
Saya masih reporter muda, bekerja di Harian Angkatan Bersenjata di tahun 8o-an ketika Pak BJ Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Wilayah reportase saya bidang kebudayaan, namun beberapa kali di-BKO-kan redaksi untuk meliput kegiatan di luar itu, termasuk meliput kegiatan Menristek BJ Habibie.
ADVERTISEMENT
Itu sekitar 35 tahun lalu. Usia di bawah 30-an dan Pak Habibie belum 50 tahun. Bayangkan Pak Habibie di usia itu. “Keliaran” imajinasinya luar biasa memukau. Bak motivator yang membongkar kesadaran banyak anak muda usia di bawah 30 tahun. Siapa anak muda yang tidak mengaguminya?
7 Kali Besarnya Bumi
Paling suka kalau dia berbicara dan menyinggung tentang kemampuan otak manusia. Itu baru pertama kali saya dengar, dari beliau langsung. Dan, pengin terus mendengarnya. Saya lupa kapan persisnya dan dalam acara apa dia cerita itu, yang saya ingat beliau bicara di Sukabumi.
“Otak manusia itu kalau diurai seperti perangkat komputer, maka wadah yang diperlukan sebanyak tujuh kali besarnya bumi,” kata dia berapi-api. Sambil menatap wajah audiensnya satu per satu.
ADVERTISEMENT
Saya ingat Sukabumi karena ada story juga di situ. Menjelang masuk gedung tempat acara, saya memergoki pemandangan menarik. Sedan Volvo yang jadi mobil dinas Menristek Habibie kehabisan bensin.
Petugas sedang mengisi tangkinya dengan bensin dari jeriken. Waduh! Ini mobil menteri, Menristek pula. Foto pemandangan itu menjadi foto utama Harian Angkatan Bersenjata yang terbit keesokan harinya.
Di kantor, Sekretaris Redaksi menyampaikan Pak Habibie marah. Tadi staf kementerian menelpon, saya tidak percaya itu. Pak Habibie seorang demokrat, mana mau urusin soal itu. Pikir saya mestinya beliau senang, warga masyarakat ikut mengawasi hal apapun menyangkut dia.
Saya menghubungi balik staf kementerian itu. “Anda bisa jelaskan enggak secara tehnis rusaknya seperti apa kalau mobil diisi dengan bensin dari jeriken?” tanyanya gusar.
ADVERTISEMENT
Saya diam tetapi tertawa dalam hati. Marah seperti itu bukan kebiasaan Pak Habibie.
“Saya tidak tahu, Pak. Saya juga tidak menuliskan mobil bisa rusak jika diisi dengan bensin jeriken. Saya malah berharap sekali penjelasan tehnis dari Bapak jika kebalikannya yang terjadi,” sahut saya tenang.
Tapi cerita itu tidak berlanjut. Seperti kalau kejadian seperti itu menyangkut menteri lain.
Pak Habibie mengecap pendidikan Barat sejak muda. Dijamin demokratis. Kelak itu terbukti. Di era Reformasi.
Ketika menjadi Presiden RI menggantikan Pak Harto tahun 1998, apa yang dia kerjakan pertama kali? Mencabut semua aturan yang mengekang pers. Keran perizinan penerbitan media dibuka selebar-lebarnya. Menteri Penerangan Junus Yosfiah memerintahkan mencabut semua regulasi yang membelenggu kemerdekaan pers. Termasuk mencabut SK Menpen yang menjadikan PWI satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Itu saya catat sebagai legacy Pak Habibie.
ADVERTISEMENT
Legacy penting lainnya adalah sikap kenegarawan yang ditunjukkan pada saat laporan pertanggungjawabannya sebagai Presiden ditolak MPR-RI. Dia bahkan tidak bersedia maju mencalonkan diri dalam pemilihan presiden berikutnya.
Padahal, peluang itu terbuka, penolakan pertanggungjawabannya tidak menghalagi untuk mencalonkan diri. Itulah moralitasnya. Dia seperti ingin mengatakan, buat apa memaksakan diri maju jika rakyat tak percaya. Seandainya di masa itu pemilihan presiden secara langsung, ceritanya mungkin lain. Berkaca pada prestasi dan kenegarawanannya, bukan mustahil dialah yang terpilih.
Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Saya sependapat dengan banyak kawan wartawan, Pak Habibie salah satu presiden terbaik Indonesia, karena kepemimpinan, keikhlasan, keahlian, prestasi, dan keteladanannya. Karya-karya untuk umat manusia mungkin kalau diurai juga tak cukup wadah tujuh kali bumi untuk menampungnya.
ADVERTISEMENT
Pak Habibie memang tidak lama menjabat Presiden RI. Ia menggantikan Presiden Soeharto, yang minta berhenti pada 21 Mei 1998. Pak Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden, menjabat Presiden RI selama 512 hari, sejak 21 Mei 1998–20 Oktober 1999.
Pada masa Reformasi itu, saya menangkap ada kesamaan sikap Pak Habibie dengan Pak Harto. Presiden RI yang berkuasa 32 tahun itu memilih berhenti Mei 1998. Padahal, secara real, konstitusi masih berhak atas jabatan itu sampai tahun 2003.
Saya bersama BJ Habibie Foto: Ilham Bintang
Kubah gedung kura-kura yang dikuasai ribuan mahasiswa rupanya menggedor kenegarawanannya. Itu simbol rakyat yang tak lagi menghendaki dia.
Pak Harto bisa saja menggunakan seluruh kekuatan bersenjata untuk menghalau mahasiswa. Tapi itu tidak dilakukan. Pak Harto pasti sudah memperhitungkan risiko pertumpahan darah bakal terjadi. Dan, darah itu darah rakyatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mendengar komentar Pak Habibie soal sambutan gempita sebagian masyarakat menyambut peluncuran mobil Esemka yang diklaim buatan rakyat Indonesia baru-baru ini. Dia seakan memilih diam. Sambil membayangkan, mungkin, bagaimana ketika meluncurkan CN235, pesawat produksi anak-anak Indonesia. Yang dihadapinya resistensi dari sebagian politisi. Itu tiga puluh tahun lalu.
Pak Habibie telah tiada. Ia telah menghadap Ilahi Rabbi pada Rabu (11/9) pukul 18.05 di RSPAD. Tempat dia dirawat sejak 1 September lalu.
Rasanya masih terbayang senyumnya. Senyum penuh keikhlasan. Seperti itulah senyumnya menghias waktu terakhir ketemu beliau tahun lalu dalam sebuah acara perusahaan film MD. Senyum melekat sepanjang pertemuan itu. Senyum khasnya. Selamat jalan, Pak. Semoga husnul khotimah.