Wartawan Kita

Konten dari Pengguna
6 September 2019 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
ADVERTISEMENT
Saya yakin semua kita tahu, namun saya tidak pernah jemu untuk mengingatkan kembali. Sampai hari ini, wartawan, termasuk satu dari empat profesi yang diakui oleh masyarakat. Tiga lainnya adalah guru, advokat, dan dokter.
ADVERTISEMENT
Sekurangnya, ada empat syarat yang harus dipenuhi seseorang disebut profesional.
1. Punya pekerjaan tetap yang dari pekerjaan itu dia memperoleh nafkah.
2. Pekerjaannya punya organisasi.
3. Organisasinya memiliki kode etik
4. Organisasinya memiliki lembaga pengawasan penaatan kode etik. Wartawan profesional tentu harus memenuhi empat syarat itu.
Tidak Berorganisasi
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Dalam banyak acara diskusi dengan wartawan di banyak daerah di Indonesia, saya mencatat beberapa data mencengangkan. Ternyata tidak semua wartawan berorganisasi. Saya pernah menghentikan pemaparan oleh sebab itu.
Sia- sia berdiskusi dengan pihak yang mengaku wartawan tapi tak berinduk pada satu pun organisasi wartawan. Tidak berorganisasi otomatis yang bersangkutan juga tidak menaati kode etik jurnalistik. Bagaimana mereka bisa bekerja benar sebagai wartawan? Bagaimana mereka bisa meyakinkan masyarakat sebagai pengemban amanah fungsi kontrol sosial secara terukur menurut prinsip kerja jurnalistik yang benar?
ADVERTISEMENT
Namun faktanya, mereka tetap aman bekerja, dipercaya publik dan didengar para pejabat. Mungkin berkat itu, karena sampai hari ini, wartawan masih termasuk satu dari empat profesi yang diakui oleh masyarakat.
UU Pers No 40 / 99 menyebut terang benderang kedudukan organisasi wartawan dan kode etik jurnalistik di dalam Pasal 7 ayat 1 Pasal 7 UU Pers itu menyebutkan: “wartawan bebas memilih organisasi wartawan”.
Sedangkan ayat 2, menyebutkan: “wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”.
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Memang pernah dalam satu kurun ayat 1 “ wartawan bebas memilih organisasi wartawan”, menimbulkan perdebatan. Padahal, pasal itu hanya menggugurkan kedudukan PWI yang puluhan tahun menjadi satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia, bukan dimaksudkan wartawan bebas tidak berorganisasi.
ADVERTISEMENT
Persoalan makin keruh karena paham itu justru dikembangkan oleh seorang tokoh pers yang pernah memimpin Dewan Pers. Ini bertentangan sendiri dengan tujuan Dewan Pers mendata dan melakukan verifikasi terhadap organisasi wartawan.
Tidak jelas apakah itu yang menyebabkan hingga saat ini hanya tiga organisasi wartawan yang diakui atau memenuhi syarat Dewan Pers. Padahal, kita mencatat ada puluhan organisasi wartawan yang ikut membentuk Dewan Pers di awal reformasi. Termasuk menyusun KEJ itu.
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Turut menambah kegaduhan adalah Komisi Penyiaran Indonesia yang mau mengatur pola produk jurnalistik. Landasannya hanya pada P3SPS produk KPI. Padahal itu domain UU Pers No 40 /1999. UU No 32 Tentang Penyiaran tahun 2002 sendiri pun mengecualikan karya jurnalistik dari pengawasan KPI. Lihat pasal 42: “Wartawan penyiaran yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundangan lainnya.”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya: kode etik jurnalistik apa yang dipedomani oleh wartawan yang tidak berorganisasi itu? Padahal, kita tahu kode etik jurnalistik pada awal reformasi adalah produk dan pemberlakuannya disepakati bersama oleh 26 organisasi wartawan pada tahun 1999 dengan nama KEWI.
Yang jelas, beberapa hasil survey yang pernah dilaksanakan Dewan Pers di lapangan mengonfirmasi tingkat pengabaian kode etik jurnalistik oleh wartawan.
Hasil penelitian Dewan Pers terhadap pemahaman kode etik jurnalistik tahun 2007 berikut ini.
1. Sebanyak 22% pernah membaca KEJ seluruhnya.
2. Sebanyak 18% tidak pernah membaca sama sekali.
3. Sebanyak 60% pernah membaca tetapi sebagian (beberapa pasal KEJ saja).
Dengan kata lain, 78% tidak pernah membaca KEJ secara lengkap (Wina Armada Sukardi, Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers, Oktober 2007)
ADVERTISEMENT
Tahun 2010, Dewan Pers memulai usaha mengatasi problem pengabaian kode etik jurnalistik melalui ujian kompetensi wartawan. Tujuannya mengetatkan rekrutmen wartawan. Supaya hanya wartawan yang telah mengantongi sertifikat kompetensi wartawan yang boleh beroperasi di lapangan. Hingga saat ini, tercatat sekitar 15 ribu wartawan telah mengantongi sertifikat kompetensi itu, terbanyak dari PWI, sekitar 13 ribu. Selesaikah persoalan?
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Menurut Marah Sakti Siregar, Tenaga Ahli dan anggota Pokja Pendidikan dan Pengembangan profesi kewartawanan Dewan Pers, UKW itu belum efektif.
Data pertengahan Juli 2017, tercatat peningkatan pelanggaran KEJ sampai 20 persen. Jika pada periode yang sama masuk 800 laporan pengaduan masyarakat, maka pertengahan Juli saja sudah ada 600 laporan yang masuk. Jadi, diperkirakan angka laporan itu bisa naik mencapai minimal 1000 pengaduan.
ADVERTISEMENT
Dan sama seperti hasil tahun sebelumnya, 75-80 persen pengaduan tersebut setelah diperiksa Komisi Pengaduan, benar pelanggaran KEJ. Dan terbanyak adalah pelanggaran pasal 1 (berita kurang atau tidak berimbang) dan pasal 3 ( kurang uji informasi alias kurang verifikasi).
Namun, mantan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat ini, masih akan meneliti lebih dalam soal jumlah pengaduan itu. "Apakah berkaitan langsung dengan pelanggaran wartawan atau lebih menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengadu?” tambah Sakti.
Konsep operasional moral wartawan
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Prinsip kerja jurnalistik secara universal adalah membuka semua hal, termasuk hal yang mau ditutupi oleh orang lain. Siapa pula yang mau dibuka hal yang justru mau ditutupnya. Itulah sebabnya wartawan dilengkapi kode etik jurnalistik yang wajib ditaati selain peraturan perundang-undangan yang memberi hak dan perlindungan terhadap profesi wartawan.
ADVERTISEMENT
Kode etik itu yang mengajari wartawan bersikap kesatria, jujur, tidak manipulatif, tidak berniat buruk, meski peluang itu terbuka luas dan bisa terbebas dari jerat hukum. Ambil contoh misalnya, kode etik itu melarang wartawan berlaku seperti intel. Kode etik itu mencegah wartawan jadi maling, misalnya menaruh alat rekam secara tersembunyi.
Memang betul, tidak semua kasus yang menyalahi asas kepatutan bisa diidentifikasi sebagai pelanggaran etik, dan juga pelanggaran hukum sekaligus. Pelanggaran kode etik pun belum tentu melanggar hukum, atau melanggar hukum tidaklah dengan sendirinya melanggar kode etik.
Diskusi Jurnalistik Forum Pemimpin Redaksi Foto: Dok. Ilham Bintang
Kita memiliki contoh kasus media yang sangat bagus yang terkait dengan pelanggaran hukum tetapi justru oleh karena kepatuhannya mentaati kode etik. Kasus itu terjadi pada tahun 1968, hanya beberapa waktu saja setelah Orde Baru berkuasa untuk mengoreksi penyimpangan rezim pemerintah orde lama. Kasus itu menyebabkan Majalah Sastra ditutup dan pemimpinnya, HB Jassin, diseret ke penjara dengan tuduhan menghina Islam dan Tuhan. HB Jassin dihukum karena bersikukuh tak mau menyebut penulis cerita pendek 'Langit Makin Mendung' karya Ki Panji Kusmin.
ADVERTISEMENT
'Langit Makin Mendung' dimuat pada tanggal 8 Agustus 1968 di Majalah Sastra. Polemik keras yang timbul setelah pemuatan cerpen itu tidak hanya melibatkan para sastrawan tetapi juga melibatkan pelbagai unsur masyarakat. Akhir kasus itu, Majalah Sastra diberangus, dan HB Jassin dihukum penjara satu tahun.
Sampai sekarang pun, 51 tahun setelah peristiwa itu berlalu, nama Ki Panji Kusmin, pengarang cerita pendek Langit Makin Mendung, masih menyisakan misteri.
Hingga HB Jassin sampai tutup usia nama itu tak pernah terang. Ada dua pendapat yang sempat beredar. Pendapat pertama, Ki Panji Kusmin adalah nama samaran HB Jassin sendiri, maka itu dia tak mau buka mulut ketika dia diadili di pengadilan.
Pendapat kedua, Ki Panji Kusmin adalah nama pena seorang sastrawan pemula yang saat cerpen tersebut dilarang, pengarang tersebut berdiam di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan Islam. Banyak yang setuju pada pendapat kedua ini.
ADVERTISEMENT
Sikap HB Jassin ini sepenuhnya tunduk pada pasal kode etik jurnalistik yang mengatur mengenai kewajiban melindungi sumber berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 7 KEJ: "Wartawan Indonesia memiliki hak tolak melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”.
Urusan narasumber ini memang sangat utama bagi wartawan. Wartawan diminta untuk memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 11 KEJ PWI. Dalam Pasal 3 KEJ Dewan Pers, ditulis: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
ADVERTISEMENT
Coba luangkan waktu sejenak, buka gadget Anda, akses beberapa link media online. Niscaya, dengan mudah bisa ditemukan berbagai sumber berita yang tidak kompeten. Biasanya sumber cukup ditulis, viral di media sosial. Masih lumayan kalau wartawan kemudian mengonfirmasi peristiwa itu pada sumber terkait. Yang banyak terjadi, media melepaskan saja berita itu turun, dan menganggap informasi di media sosial adalah fakta tanpa perlu diverifikasi lagi.
Baru beberapa hari lalu, saya membaca berita yang meliput video yang diklaim viral di medsos. Peristiwa itu genting. Namun, wartawan dengan ringan menyebutkan sampai berita diturunkan belum jelas kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.
Memang benar, wartawan bebas menerima informasi darimanapun datangnya. Hatta, dari Hantu Blau sekalipun. Namun, secara bersamaan wartawan juga diberi kehormatan oleh UU dan kode etiknya untuk bersikap meragukan informasi dari manapun datangnya, kecuali dari Tuhan dan nabi. Prinsip utama di sini adalah melakukan verifikasi, cek dan ricek sebelum berita di-publish.
ADVERTISEMENT
Prinsip cek dan ricek, memang tidak sederhana dalam pelaksanaannya. Banyak karya jurnalistik prinsip itu dipraktikkan secara sederhana, standar minimun. Paling banyak hanya meminta tanggapan pihak terkait atas tuduhan satu sumber berita. Padahal, yang benar adalah terlebih dahulu meneliti kebenaran materi yang dituduhkan sumber pertama.
Itu cukup menjelaskan mengapa banyak berita isinya hanya menyiarkan fakta orang bicara dibandingkan fakta peristiwa, talking news, untuk istilah sekarang.
Pernah di sebuah stasiun televisi, ada sebuah peristiwa dibahas berhari-hari dengan hanya menyajikan fakta orang bicara, bertengkar, saling menuding, namun sampai berita itu selesai, tidak jelas bagi pemirsa apa duduk perkaranya. Saya khawatir wartawannya sendiri pun tidak menguasai duduk perkara yang dibahasnya.
Yang sering diberitakan akhir-akhir ini adalah laporan masyarakat kepada polisi. Kasusnya macam-macam, mulai dari dugaan perselingkuhan, ujaran kebencian, sampai urusan dugaan penistaan agama. Padahal, wartawan tahu, polisi sekarang memang wajib menerima laporan apa saja, dari mana saja, kapan saja, dan laporan kepada siapa saja. Namun, laporan kepada polisi faktanya baru sebatas laporan. Namun, sudah ramai diberitakan sebelum diverifikasi sendiri oleh polisi apakah laporan cukup layak, didukung bukti-bukti material yang kuat. Makanya, sering pula pemberitaan menimbulkan kegaduhan di masyarakat sebelum jelas duduk perkaranya.
ADVERTISEMENT
Saya ulang kembali, pengutipan Pasal 3 KEJ: "Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah".
Dasar pertama sebuah berita adalah fakta. Tetapi, wartawan yang baik tahu tidak semua fakta dapat diberitakan. Bagaimana mengetahui batasan sebuah fakta tidak layak diberitakan? Tanya seorang kawan. Kode etik menyandarkan kepada hati nurani wartawan. Namun, kita bisa menyederhanakan dengan melokalisir pada persoalan yang bermuatan SARA. Negeri kita diberi berkah oleh Tuhan memiliki banyak suku, ras, dan agama. Tetapi, fitrah itu juga rentan. Ibarat korek api, satu batu batangnya yang tersulut bisa membakar satu korek api itu.
Kegamangan wartawan juga dapat kita lihat saat memberitakan kasus asusila dan kasus anak-anak yang melibatkan anak-anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
"Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan." ( Pasal 5 KEJ).
Lihatlah pada kasus Manohara dan Abul Qadir Jaelani yang merebak dan menjadi trending topic di media dalam jangka waktu beberapa bulan.
Pada awalnya, semua wartawan berempati lantaran Manohara perempuan di bawah umur mengalami pelecehan seksual oleh suaminya. Kita "sepakat" bahwa dia adalah korban. Namun, kita tak kuasa menahan diri saat memberitakannya. Bukan hanya identitas, tetapi dada wanita muda yang disayat-sayat oleh suaminya kita pertontonkan habis kepada publik siang dan malam.
Begitu pula halnya ketika bocah AQJ mendapat musibah mengalami kecelakaan yang merenggut banyak jiwa. Kita memang menyingkat namanya menjadi AQJ, tetapi tanpa sadar kita membuka habis identitasnya. Bukan hanya menyebut nama orang tua dan rumahnya, bahkan sampai kita masuk dalam ruang perawatannya di rumah sakit dan menyiarkannya.
ADVERTISEMENT
Saya mengusulkan dalam forum komunitas Pemred ini untuk membuat pedoman penulisan di bidang-bidang yang kerap memperangkap wartawan melanggar kode etik. Pedoman semacam itu pernah dibuat oleh PWI pada program Karya Latihan Wartawan (KLW) yang dipimpin wartawan senior Rosihan Anwar. Ada banyak pedoman penulisan berita berbagai bidang liputan pers yang lahir di masa tahun 70-an itu.