Kenapa Terjadi Ketakutan yang Berlebihan pada COVID-19 ?

Ilham Ramadhan
Lahir 29, Juli 2002 di Malang. Mahasiswa Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
8 Januari 2021 10:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketakutan Foto : Google
Semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama warga Indonesia terinfeksi SARS-CoV-2 atau yang bias akita kenal sebagai COVID-19 pada awal Maret 2020. Semenjak pengumuman resmi itu pula ketakutan akan COVID-19 menyebar di kalangan masyarakat. Menurut KBBI “Ketakutan” berarti merasa gentar atau ngeri menghadapi sesuatu yang dianggap akan menyebabkan bencana. Ketakutan wajar dimiliki oleh masyarakat, namun pada awal kemunculan COVID-19 ketakutan yang timbul bisa di bilang over. Ketakutan ini dapat dilihat dari fenomena panic buying yang terjadi pada awal menyebar luasnya berita tentang COVID-19. Di lain sisi, juga banyak orang yang menimbun bahan pokok untuk kehidupan. Hal itu dapat terjadi karena dampak dari ketakutan yang terlalu besar di kalangan masyarakat mengenai kabar COVID-19.
ADVERTISEMENT

Lantas mengapa hal itu bisa terjadi ?

Menurut data WHO (2020) mengatakan bahwa kasus kematian terbanyak yang disebabkan oleh penyakit masih dipegang oleh penyakit kardiovaskular (penyakit jantung) dan juga kanker. Namun mengapa masyarakat memberikan respon ketakutan yang sangat besar terhadap COVID-19 ? Ketakutan yang sangat besar terhadap pandemi ini bisa dijawab dengan istilah yang bernama Bias Kognitif (Zarrabian & Abharian, 2020). Bias kognitif sendiri merupakan kesalahan sistematis dalam memilih penilaian dan pengambilan keputusan, yang terjadi karena keterbatasan kognitif, faktor motivasi, dan atau adaptasi dari lingkungan alam (Wilke & Mata, 2012). Beberapa hal yang bisa memengaruhi kemampuan kognitif kita pada masa pandemi adalah kebijakan karantina daerah dan lockdown di berbagai tempat yang menimbulkan stress pada kita (Zarrabian & Abharian, 2020). Menurut Zulissetiana dan Suryani (2016) menuliskan bahwa paparan stress berhubungan dengan berkurangnya volume hipokampus dan regio orbito-frontal otak serta meningkatnya apoptosis neuron yang menimbulkan penurunan fungsi kognitif dan emosi.
ADVERTISEMENT
Ketakutan yang berlebihan ini menyasar ke segala rentang usia masyarakat. Mulai dari remaja hingga para lansia ada yang memiliki ketakutan berlebihan kepada COVID-19. Namun, bila ditelisik lebih lanjut kebanyakan yang memiliki ketakutan berlebihan kepada COVID-19 ada di rentang paruh baya sampai lansia.
Fungi kognitif secara alami menurun seiring dengan bertambahnya umur serta berjalannya waktu karena satu dan lain hal yang terjadi sepanjang hidup. Seperti yang sudah dibeberkan tadi, berkurangnya kemampuan kognitif merupakan salah satu faktor terjadinya bias kognitif yang mengakibatkan ketakutan yang berlebihan. Inilah yang menjadi acuan mengapa ketakutan berlebihan terhadap COVID-19 lebih didominasi oleh masyarakat yang berusia paruh baya sampai lansia, hal ini dapat terjadi karena kemampuan kognitif yang menurun. Namun, ada berbagai cara untuk meminimalisir terjadinya bias kognitif yang menyebabkan ketakutan berlebihan di masa pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah dengan cara mengoptimalkan pola berfikir kritis (Zarrabian & Abharian, 2020). Berfikit kritis dapat meminimalisir terjadinya bias kognitif karena dengan menerapkan proses berfikir kritis maka masyarakat tidak akan dengan mudah menemui ketakutan bila mendengar berita tentang COVID-19. Dengan berfikir kritis maka secara tidak sadar masyarakat akan selalu mencari sumber yang terpercaya guna mendapatkan kebenaran di setiap berita yang didengar. Dengan kata lain berita hoax dan informasi yang tidak relevan tidak akan menyebar luas sehingga ketakutan yang mendalam akan sulit untuk mempengaruhi masyarakat. Ditambah dengan menahan diri untuk tidak terlalu banyak berselancar di dunia maya merupakan cara sederhana untuk menghindari bias kognitif.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sauliyusta dan Rekawati (2016) aktivitas fisik memiliki hubungan dengan fungsi kognitif pada lansia. Pada penelitian ini memberikan hasil bahwa lansia yang memiliki aktivitas fisik lebih tinggi akan memiliki kemampuan kognitif yang normal. Dengan kata lain, melakukan aktivitas fisik akan menunda penurunan fungsi kognitif pada lansia. Dengan penurunan fungsi kognitif yang tertunda maka akan mengrangi pula resiko bias kognitif di masyarakat terutama lansia.
ADVERTISEMENT
Cara lain untuk mengoptimalkan fungsi kognitif agar terhindar dari bias kognititf adalah dengan cara membaca. Dengan membaca maka akan banyak neuron pada otak kita yang bekerja, seiring dengan neuron yang bekerja maka itu juga akan berpengaruh terhadap memori dan ingatan seseorang. Namun perlu digaris bawahi istilah membaca di sini tidak hanya sekadar membaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca dengan penuh atensi, karena atensi merupakan faktor pendukung informasi itu akan kita ingat dengan baik atau hanya lewat seperti angin lalu. Dengan memfokuskan atensi kepada bahan bacaan kita maka informasi yang ingin disampaikan penulis ke kita juga akan semakin banyak serta bertahan lama. Atau dengan kata lain kita menyebutnya dengan membaca dengan seksama. Memang terkesan cara yang sederhana namun akan sangat berpengaruh kepada fungsi kognitif kita bila hal ini dilakukan dengan benar serta tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan diatas bisa diketahui bahwa ketakutan yang berlebihan terhadap COVID-19 di tengah masyarakat semasa pandemi ini timbul karena adanya bias kognitif. Bias kognitif sendiri adalah kesalahan sistematis dalam memilih penilaian dan pengambilan keputusan yang terjadi karena keterbatasan kognitif, faktor motivasi dan atau pengaruh dari lingkungan alam. Cara mengatasi bias kognitif sendiri bisa dilakukan dengan berbagai cara. Menjaga kesehatan mental agar terhindar dari stress adalah cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi terjadinya bias kognitif di masyarakat, lalu dengan menerapkan pola berfikir kritis agar terhindar dari segala berita hoax yang ada, selanjutnya bisa dengan memperbanyak aktivitas fisik agar fungsi kognitif kita tidak mengalami penurusan yang drastis, dan yang terakhir adalah dengan cara membaca dengan penuh atensi agar informasi yang diterima bisa lebih maksimal serta bertahan dalam jangka waktu panjang.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Bias kognitif akan beresiko kecil bila kita tetap menjaga kesehatan dan juga fungsi kognitif kita. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa cara agar kita bisa terus menjaga keoptimalan fungsi kognitif kita. Dengan fungsi kognitif yang kita yang optimal maka tidak akan terjadi bias kognitif, dengan berkurangnya bias kognitif maka juga akan mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap COVID-19. Intinya kita harus tetap tenang dan terus berusaha berfikiran positif di tengah pandemi yang berlangsung saat ini.
Daftar Pustaka
Sauliyusta, M,. Rekawati, E. (2016). Akivitas fisik memengaruhi fungsi kogntif lansia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 19(2), 71-77. http://dx.doi.org/10.7454/jki.v19i2.463
Wilke, A., & Mata, R. (2012). Cognitive bias. Encyclopedia Of Human Behaviour, 1, 531-535. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-375000-6.00094-X
ADVERTISEMENT
Zarrabian, S., & Abharian, P. (2020). Covid-19 pandemic and the importance of cognitive rehabilitation. Basic and Clinical Neuroscience, 11(2), 129-132. http://dx.doi.org/10.32598/bcn.11.covid19.194.5
Zulissetiana, E, F,. & Suryani, P. (2016). Degenerasi kognitif pada stres kronik. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung, 1(2), 418-423. https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/view/1651