Menakar "Perintah" Sebagai Alasan Penghapus Pidana Bagi Bharada Richard

Ilham Agung Satrio
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Konten dari Pengguna
28 Januari 2023 7:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Agung Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bharada Richard Memasuki Ruang Sidang Di Pengadilan Jakarta Selatan. Foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bharada Richard Memasuki Ruang Sidang Di Pengadilan Jakarta Selatan. Foto: Kumparan
ADVERTISEMENT

Menakar Perintah Sebagai Alasan Penghapus Pidana Bagi Bharada Richard

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E merupakan eksekutor yang diperintah oleh Ferdi Sambo untuk menembak Brigadir J. Oleh karena perbuatannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), menuntut terdakwa Brigadir E dengan tuntutan 12 tahun penjara. Tuntutan jaksa itu berdasarkan dakwaan primer Pasal 340 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak yang kecewa atas tuntutat tersebut, mengingat terdakwa Bharada E telah menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dan disetujui oleh Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK menilai tuntutan jaksa terhadap Bharada E yang berstatus justice collaborator semestinya lebih rendah di antara para terdakwa lain. Adapun tuntutan yang dikenakan pada dirinya lebih tinggi dibandingkan terdakwa lainnya, yakni Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf yang dituntut 8 tahun penjara. Bharada E menjadi terdakwa dengan hukuman terberat kedua dalam perkara ini setelah Ferdy Sambo yang dituntut penjara seumur hidup.
Kuasa hukum terdakwa Bharada E yakni Ronny Talapessy dalam sidang lanjutan dengan agenda nota pembelaan hari rabu tanggal 25 Januari 2023, meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan dari kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Kuasa hukum terdakwa berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan Bharada E tidak dapat dipidana karena terdapat alasan penghapus pidana.
ADVERTISEMENT
Dalam KUH Pidana terdapat 2 pasal yang membahas terkait penghapusan pidana bagi mereka yang diperintah yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Adapun pasal tersebut yakni Pasal 51 KUHP tentang Perintah Jabatan dan Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa. Apabila alasan penghapus pidana tersebut terbukti maka sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka hakim akan menjatuhkan putusan lepas, yakni putusan di mana terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana (unsur objektif) namun perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana karena tidak terpenuhinya unsur kesalahan/mens rea (syarat subjektif) dan/atau terdapat alasan penghapus pidana.

Perintah Jabatan Sebagai Alasan Penghapus Pidana

Rumusan tentang perintah jabatan diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” Perintah jabatan dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
ADVERTISEMENT
Menurut Andi Hamzah, aturan tersebut memberi 2 syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaksana perintah jabatan lolos dari jerat pidana, yakni, pertama; pelaksana harus dengan iktikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang (syarat objektif); dan yang kedua; pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkup wewenang pelaksana sebagai bawahan berdasarkan aturan positif atau bisa dikatakan bahwa pelaksanaan perintah tersebut tidaklah melawan hukum (syarat subjektif). Sehingga dalam pandangan Andi Hamzah, seorang polisi yang diperintah atasannya menyiksa tahanan tetap bisa dipidana meskipun polisi tersebut menjalankan perintah itu dengan iktikad baik. Sebab, menyiksa tahanan bukan tugasnya.
Berdasarkan uraian tersebut, sangat kecil kemungkinan bahwa terdakwa Bharada E sebagai pelaksana perintah membunuh Brigadir J dapat berlindung pada Pasal 51 KUHP. Sebab, Walaupun pada dasarnya Brigadir E melaksanakan perintah dengan itu dengan iktikad baik, tentu saja membunuh Brigadir J bukanlah pelaksanaan yang dapat dibenarkan menurut hukum. Ditambah, pada dasarnya bawahan memiliki hak untuk dapat menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan, hal tersebut tercantum dalam pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Polri nomor 7 tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan Pasal 48 KUHP?

Daya Paksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana

Rumusan tentang daya paksa yang diatur dalam Pasal 48 KUHP berbunyi “barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka daya paksa tertuju pada “tekanan batin” dari luar yang ditujukan kepada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Pelaku tidak memiliki “free will” untuk melakukan tindak pidana tersebut, sehingga sifatnya menjadi “involuntary”.
Sugandhi dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang.
ADVERTISEMENT
Bharada E yang terdidik sebagai pasukan Brimob telah terbiasa mengikuti perintah atasannya. Meskipun perintah atasannya melawan hukum, Bharada E sebagai prajurit tetap akan melaksanakan. keputusan serta tidak mempertanyakan perintah atasannya Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Saksi Ahli Psikologi Forensik, Liza Marelly Djaprie, yang dihadirkan dipersidangan juga menyatakan bahwa Bharada E punya rasa takut yang tinggi, kondisi tertekan jiwa batinnya sangat terganggu, bisa mengakibatkan terjadinya tindakan yang sebenarnya tidak baik (destructive obedience); maka Bharada E patuh dan tidak mempunyai free will dan locus of control-nya ada pada orang lain. Oleh karenanya kuasa hukum Bharada E menilai karena pengaruh daya paksa yang bersifat relatif, yakni daya paksa yang timbul dari seseorang karena suatu keadaan yang dikatakan sebagai overmacht dilihat dari kondisi kejiwaan dan ahli berpendapat kondisi ini dapat dikualifikasi sebagai alasan pemaaf.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat fakta dalam persidangan bahwa sebelum Bharada E diperintahkan Ferdy Sambo untuk menembak Brigada J, Ricky Rizal alias Bripka RR terlebih dahulu diperintah oleh Ferdy Sambo untuk menembak Brigada J, namun Bripka RR menolak dengan alasan tidak kuat mental. Pada akhirnya Bharada E menyanggupi untuk melakukan eksekusi terhadap Brigadir J dengan melepas tembakan sebanyak 3-4 kali menggunakan Glock 17 nomor seri MPY851.
Fakta tersebut tentunya dirasa sangat janggal apabila Bharada E melakukan perintah membunuh Brigadir J dengan paksakan sehingga menimbulkan kondisi tertekan, apalagi sebelumnya Bripka RR dapat menolak perintah sambo.
Meskipun begitu, tentu menjadi kewenangan hakim untuk dapat menilai bahwa perbuatan tersebut adalah daya paksa. Menurut Utrecht, ukuran objektif dan subjektif ini harus digunakan secara bersama untuk menentukan ada atau tidaknya daya paksa.
ADVERTISEMENT
Hakim harus menyelidiki ada tidaknya faktor-faktor yang begitu luar biasa, sehingga orang yang normal dipaksa untuk berkelakuan tidak normal. Hakim harus mempertimbangkan kelakuan-kelakuan apa yang akan dilakukan dari orang normal, andai kata berada dalam kondisi semacam orang yang dipaksa melakukan perbuatan pidana. Sehingga atas pertimbangan tersebut hakim dapat memberikan putusan lepas kepada terdakwa.