ILUNI UI Buka Suara Soal Kasus Plagiarisme di Perguruan Tinggi

Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI)
Akun resmi perkumpulan alumni Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
16 April 2021 16:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pentingnya Menghindari Plagiarisme

Para narasumber dari berbagai latar belakang sedang menyampaikan perihal kasus plagiarisme di Indonesia, Senin (15/2).
zoom-in-whitePerbesar
Para narasumber dari berbagai latar belakang sedang menyampaikan perihal kasus plagiarisme di Indonesia, Senin (15/2).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta, 15 Februari 2021 – Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian memberikan suara dan opininya terkait kasus plagiarisme yang marak terjadi di perguruan tinggi. Dia menilai, plagiarisme dalam perguruan tinggi berpotensi merusak karakter bangsa.
ADVERTISEMENT
“Perguruan tinggi bukan hanya tempat untuk menimba ilmu, tapi Juga karakter. ILUNI UI menaruh perhatian besar adanya persoalan plagiarisme yang dapat menurunkan karakter yang sangat diperlukan oleh bangsa indonesia yaitu kejujuran,” ucap Andre dalam pembukaan diskusi daring Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema “Menjaga Kehormatan Dunia Akademik Indonesia: Cegah Plagiarisme”, Senin (15/2).
Menurut Andre, sikap permisif menjadi salah satu sumber dari maraknya berbagai kasus plagiarisme yang terjadi pada dunia pendidikan tinggi. Andre berharap, pihak yang berwenang dalam dunia pendidikan dan para pemangku kepentingan lainnya bisa bersikap tegas dan serius dalam menangani plagiarisme dalam bentuk apapun. “ILUNI UI berharap riset nasional dan international oleh para pendidik di kampus apalagi kampus sekelas UI harus semakin digalakkan, sehingga semakin banyak karya-karya tulis pengajar yang mendapatkan sitasi,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Tim Penilai Angka Kredit Dosen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia Prof. Dr.rer.nat. Heru Susanto, S.T., M.M., M.T. menjelaskan dalam menerbitkan karya ilmiah terdapat kode etik yang harus dipatuhi. Plagiarisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari kode etik karya ilmiah, termasuk self plagiarism. “Ketika suatu karya sudah dipublikasikan, ada copyright transfer agreement. Sepanjang belum dilakukan, karya tersebut masih milik penulis. Begitu sudah dipublikasikan, maka itu milik penerbit. Dalam dunia sains dilihat dari pendekatan etika, self plagiarism sudah masuk ke dalam plagiat,” papar Prof. Heru.
Lebih lanjut, Prof. Heru menyatakan, seseorang yang melakukan pelanggaran etika, maka sanksinya seharusnya secara etika. Ketika seorang dosen melakukan suatu plagiat dan diketahui kalangan akademisi dan publik, maka kariernya seharusnya sudah selesai sebagai dosen. “Membawa sanksi etik kepada pelanggaran hukum tentu ada kendala karena regulasi yang ada tidak atau belum cukup untuk mengakomodir pelanggaran kode etika. Perkembangan pelanggaran etika juga jauh lebih cepat dari perkembangan perangkat regulasi,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Prof. Heru, Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara Dr.Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir juga menyoroti regulasi seputar plagiarisme yang menurutnya harus terus diperbarui. Salah satunya, belum adanya regulasi yang mengatur tentang self plagiarism. “Kalau tidak memperbarui dan mengamati pedoman terkait plagiarisme, yang terjadi adalah polemik tidak berakhir yang akan menciptakan kubu-kubu,” tukas dia.
Dr. Kartini juga menekankan dalam pola relasi dan hubungan antara Kemendikbud dan perguruan tinggi, Kemendikbud merupakan pengambil keputusan. Sehingga, ketika terjadi sebuah kasus seperti self plagiarism, diperlukan pedoman yang betul-betul rinci. “Perubahan terjadi dengan cepat di era digitalisasi saat ini. Mana yang boleh, mana yang tidak bisa jadi rancu. Orang bisa saja bertanya apa salahnya kutip karya miliknya sendiri. Hal ini harus diselesaikan dari segi etik dan hukum, apakah boleh atau tidak,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi isu seputar plagiarisme, Ketua Dewan Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. menyampaikan bahwa UI telah memiliki regulasi yang mengatur plagiarisme di kalangan Sivitas Akademika UI. “Peraturan internal UI yang berkaitan dengan plagiarisme minimal ada tiga ketentuan. Yang pertama, peraturan Rektor UI No. 2018/SK/R/UI/2009 tentang pedoman penyelesaian masalah plagiarisme yang dilakukan Sivitas Akademika UI, pada 2018 ada peraturan rektor juga Tentang Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran, dan yang terbaru Peraturan Rektor UI no. 14 tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku UI,” jelas Prof. Tuti.
Kemudian, ia juga menambahkan berbagai upaya lain yang telah dilakukan UI untuk mengatasi masalah plagiarisme di dalam Sivitas Akademika UI di antaranya, mewajibkan mahasiswa untuk memberikan pernyataan tertulis untuk skripsi, tugas akhir, tesis, dan disertasi bahwa karya ilmiah tersebut bebas plagiarisme. Jika terbukti melanggar, akan ada sanksi berupa pencabutan gelar. UI juga mewajibkan pembimbing untuk memberikan dokumen Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, serta membatasi jumlah bimbingan yang dilayani. “UI juga berlangganan I-Thenticate dan Turnitin untuk melakukan similarity checking yang wajib dilalui mahasiswa yang menuliskan tugas akhir,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua Yayasan Cahaya Guru Dra. Henny Supolo MA menilai kasus plagiarisme yang terjadi di dunia pendidikan tinggi saat ini merupakan hasil dari berbagai sistem pendidikan yang rentan pada pembenaran ketidakjujuran. Pendidikan dilihat hanya berfokus pada hasil, tapi tidak berfokus pada kematangan dan kesiapan anak. “Dari dasarnya, sistem pendidikan sudah membuka kemungkinan ketidakjujuran dan lemahnya berpikir kreatif dan kritis,” kata Dra. Henny.
Untuk itu, dia mendorong penyelenggara pendidikan dan pihak-pihak terkait untuk menilik ke arah tiga pusat pendidikan dari Ki Hajar Dewantoro yakni alam pendidikan, alam keluarga, dan alam pergerakan pemuda. Tiga pusat ini punya tanggung jawab untuk membangun kejujuran seseorang yang dilakukan secara dini dan konsisten. “Jadi ini semua tidak ujuk-ujuk di pendidikan tinggi, tapi sudah diwarisi sejak pendidikan dasar,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT