Konten dari Pengguna
Gen Z di Persimpangan: Antara Gaji Tinggi, Tekanan Kerja, dan Life Balance
30 Juni 2025 10:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Gen Z di Persimpangan: Antara Gaji Tinggi, Tekanan Kerja, dan Life Balance
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, kini mulai meramaikan dunia kerja dengan membawa “bahasa” baru—bahasa yang menekankan makna, kebebasan, dan kejujuran diri. Imam Hadi Nugroho
Tulisan dari Imam Hadi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketika ambisi bertemu realita, generasi muda mulai menuntut lebih dari sekadar angka di slip gaji.

ADVERTISEMENT
Jakarta, Kumparan — Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, kini mulai meramaikan dunia kerja dengan membawa “bahasa” baru—bahasa yang menekankan makna, kebebasan, dan kejujuran diri. Bagi mereka, pekerjaan bukan sekadar rutinitas menjemukan untuk menggugurkan kewajiban finansial. Pekerjaan adalah panggung, tempat mereka mengekspresikan nilai dan membangun narasi personal.
ADVERTISEMENT
Sebagai digital native yang tumbuh di era internet dan media sosial, Gen Z sangat terbiasa berkomunikasi cepat, ringkas, dan visual. Cara mereka mengekspresikan diri di dunia kerja pun serupa: lebih direct, santai, penuh improvisasi, namun sarat makna. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) menjadi ruang mereka merawat citra, memperjuangkan isu, hingga membangun jejaring profesional.
Bagi Gen Z, “bahasa kerja” harus selaras dengan identitas diri. Mereka mendambakan pekerjaan yang memiliki purpose, nilai, dan impact sosial yang jelas. Seperti diungkapkan Rania (23), fresh graduate di sebuah startup teknologi Jakarta, “Kerja itu harus bikin gue merasa punya kontribusi, bukan cuma ngejar gaji. Kalau enggak ada makna, rasanya kosong.”
Selain makna, fleksibilitas adalah kata kunci dalam kamus komunikasi Gen Z. Bagi mereka, kehadiran fisik di kantor bukan lagi simbol loyalitas, melainkan sesuatu yang bisa dinegosiasikan asal hasil tetap optimal. Kebebasan mengatur waktu menjadi bagian dari “bahasa kepercayaan” antara karyawan dan perusahaan.
ADVERTISEMENT
“Kalau fleksibel, gue bisa bagi waktu buat kuliah, side hustle, atau sekadar recharge. Yang penting kerjaan beres,” kata Bima (21), mahasiswa tingkat akhir yang sedang magang. Bagi Gen Z, fleksibilitas bukan bentuk kemalasan, melainkan ekspresi otonomi dan efisiensi.
Meski demikian, idealisme Gen Z tidak selalu mulus dijalankan. Di balik gaya komunikasi yang lugas dan penuh semangat, mereka juga rentan pada tekanan sosial dan ekspektasi diri. Fenomena hustle culture di media sosial mendorong mereka untuk selalu terlihat produktif dan “berhasil” di usia muda, yang sering memicu kecemasan dan burnout.
Sarah (24), pencari kerja pertama kali, mengungkap kegelisahannya, “Gue pengin kerja yang sesuai passion dan berdampak, tapi realitanya juga butuh stabil finansial. Lihat teman-teman di medsos sukses bikin makin ngerasa kurang.”
ADVERTISEMENT
Melihat cara Gen Z berkomunikasi dan memaknai kerja, perusahaan kini dihadapkan pada tantangan baru. Mereka harus mampu membaca bahasa ini: menciptakan ruang yang mendukung kejujuran diri, menawarkan fleksibilitas, serta menunjukkan komitmen nyata terhadap nilai sosial dan lingkungan.
Pada akhirnya, Gen Z membawa harapan akan budaya kerja yang lebih humanis dan inklusif. Lewat “bahasa” mereka—bahasa yang berani, jujur, dan penuh makna—mereka bukan hanya menuntut, tetapi juga membuka jalan menuju dunia kerja yang lebih relevan dan berkelanjutan.
Bagaimana menurut Anda? Sudahkah kita memahami dan siap merespon bahasa komunikasi baru yang dibawa generasi ini?

