news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Putusan Ultra Petita Kasus Novel Baswedan

Imam Prabowo
Pengamat Hukum dari Pinggiran
Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 7:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Imam Prabowo, Asisten Dosen Fakultas Hukum UGM. Sumber: Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Imam Prabowo, Asisten Dosen Fakultas Hukum UGM. Sumber: Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
The judgement was that of God, demikianlah penggalan kalimat Spencer untuk menggambarkan bahwa putusan hakim dipersamakan dengan putusan Tuhan. Sedemikian ‘sakralnya’ sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar mencerminkan keadilan tidak hanya pada legal justice tetapi juga didasarkan atas moral justice. Medio terakhir ini perhatian publik terfokus pada persidangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Banyak kritik dan desakan yang disuarakan oleh aktivis anti korupsi, pemerhati hukum, kawula muda hingga sebagian masyarakat agar hakim menjatuhkan putusan yang adil dan berpihak atas nama kebenaran, setidak-tidaknya supaya putusan yang dijatuhkan lebih berat dari tuntutan penuntut umum yang dirasa tidak sesuai. Publik menilai proses persidangan terhadap kasus a quo mengesampingkan proses pembuktian yang jujur (fair trial) sehingga dapat menjadi preseden buruk bagi keberlanjutan pemberantasan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu perdebatan formil yang muncul dalam kasus ini kemudian adalah ‘apakah hakim dapat menjatuhkan putusan ‘ultra petita’ melebihi tuntutan jaksa penuntut umum?”. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tentang aspek formil dalam persidangan kasus Novel Baswedan, terlepas dari fakta-fakta dan substansi kebenaran materil persidangan itu sendiri. Pertama, perlu diluruskan istilah ‘ultra petita’ tidak dikenal dalam lingkup hukum acara pidana, namun istilah ini lazim digunakan dalam hukum acara perdata. Ketentuan ini diatur Pasal 178 HIR dan Pasal 189 Rbg, bahwa hakim dilarang menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang diminta penggugat dalam petitumnya. Yahya Harahap berpendapat, meskipun suatu hal atau hak dikemukakan jelas dalam dalil gugatan serta dapat dibuktikan dalam persidangan, tetapi hakim tidak dapat mengabulkan jika tidak diminta dalam tuntutan gugatan. Dalam perkara perdata, hakim terikat sepenuhnya pada tuntutan penggugat, sehingga putusan hakim yang nyata-nyata melebihi tuntutan penggugat mengandung ultra vires yaitu melampaui batas kewenangan mengadili (beyond their power). Ketentuan ini merupakan derivatif dari asas hakim pasif dalam hukum acara perdata, tetapi tidak dikenal dalam hukum acara pidana. Dengan demikian tidak tepat jika menggunakan makna ‘ultra petita’ dalam putusan perkara pidana.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang membatasi hakim dalam menjatuhkan putusan harus berpedoman pada tuntutan (rekuisitor). KUHAP secara sistematis justru memberikan rambu-rambu bagi hakim dalam menjatuhkan putusan mendasarkan pada surat dakwaan dan fakta persidangan. Pasal 182 ayat (4) KUHAP menyatakan “musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Adapun musyawarah hakim berdasar Pasal 182 ayat (3) KUHAP adalah tahapan sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan pada terdakwa. Dalam konteks ini, hakim memberikan penilaian terhadap pembuktian dalam surat dakwaan serta menilai kekuatan dan kesesuaian alat bukti itu sendiri untuk menentukan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dan terbukti melakukan tindak pidana. Berdasarkan prinsip batas minimum (negatief wettelijk bewijstheorie) pembuktian dan keyakinan hakim selanjutnya hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dengan demikian, secara normatif, tuntutan tidak menjadi tolok ukur utama bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan hakim dalam perkara pidana berpedoman pada surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan. Kedudukan dan fungsi requisitor jaksa penuntut umum dalam sistem peradilan pidana lebih merujuk pada sikap penuntut umum terhadap pembuktian dan fakta-fakta selama proses pemeriksaan persidangan. Penuntut umum memberikan acuan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan dengan mengerucutkan dakwaan yang terbukti, disertai dengan ancaman pidana yang diharapkan untuk dijatuhkan. Selain itu, requisitor merupakan rangkaian tak terpisahkan dalam proses jawab menjawab antara terdakwa/penasehat hukum dengan penuntut umum. Tuntutuan menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan. Begitu seterusnya, penuntut umum menggunakan pembelaan terdakwa sebagai dasar pengajuan replik. Dapat dikatakan fungsi requisitor secara inheren merupakan perwujudan pemenuhan hak membela diri bagi terdakwa selama persidangan, meskipun pembelaan ini dapat digunakan atau tidak dan menjadi pilihan mutlak bagi terdakwa dan penasehat hukumnya
ADVERTISEMENT
Ketiga, beberapa yurisprudensi menunjukkan hakim menjatuhkan putusan melebihi tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum. Diantaranya kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika Jenifer Dunn serta kasus tindak pidana penistaan agama Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam kasus yang menimpa Jenifer Dunn, majelis hakim menyatakan terdakwa Jenifer Dunn bersalah melanggar Pasal 112 Ayat 1 juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan pidana denda delapan belas juta rupiah subsider dua bulan penjara. Penjatuhan pidana ini lebih berat dari tuntutan penuntut umum selama delapan bulan penjara. Sementara terhadap kasus Ahok Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan Ahok terbukti secara sah dan menyakinkan memenuhi unsur Pasal 156a KUHP dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara dua tahun, padahal penuntut umum hanya mentutut Ahok dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena melanggar ketentuan Pasal 156 KUHP. Keadaan ini setidaknya menunjukkan bahwa hakim sedang menerapkan asas kebebasan dalam menafsirkan dan menerapkan hukum. Hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, meskipun wujud kebebasan itu tidak bersifat multak, dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Yurisprudensi yang memuat putusan pemidanaan melebihi tuntutan penuntut umum menunjukkan bahwa tidak ada kekeliruan dalam penerapan hukum. Sebab, hingga kedua putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya tidak melakukan anulir terhadap kedua putusan ini. Tidak ditemukan kecacatan materiil maupun formil dalam mekanisme upaya hukum banding maupun kasasi, sehingga putusan tersebut adalah sah dan berdasar.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian tumtutan dalam perkara pidana lebih berfungsi sebagai bahan pertimbangan hakim untuk menyusun putusan. Adapun hakim memliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana melebihi tuntutan penuntut umum dengan catatan tetap berpedoman pada surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan. Berkaca dari kasus Novel Baswedan, saat ini harapan masyarakat satu-satunya bertumpu pada putusan yang akan dijatuhkan majelis hakim. Sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi, hakim tidak hanya bertugas menegakkan hukum tetapi juga menegakkan keadilan. Tanpa harus melakukan penghakiman terhadap peradilan, masyarakat berharap putusan kasus ini dapat dijatuhkan dengan seadil-adilnya.