Tafsir Konstitusionalitas dan Kesalahan Fatal Master of Ceremony saat Berdoa

Imam Prabowo
Pengamat Hukum dari Pinggiran
Konten dari Pengguna
2 Februari 2024 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi MC Kegiatan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi MC Kegiatan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini peran Master of Ceremony aka MC atau yang lebih familiar dikenal sebagai ‘Pembawa Acara’ sangat sentral dalam memandu dan menghidupkan jalannya acara. Berbagai kegiatan baik yang bersifat formal maupun informal tidak lepas dari tanggung jawab seorang MC agar setiap acara dapat berjalan lancar. Salah satu tahapan acara yang dipandu MC dalam sebuah kegiatan adalah memimpin doa. Sangat sering ditemui, mayoritas pembawa acara mengawali berdoa dengan mengucapkan‘…berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing’. Meskipun bagi sebagian orang ini tidak terlalu penting, namun bagi Penulis, pembudayaan kata-kata ini dalam berbagai acara yang telah berlangsung lama merupakan kesalahan fatal yang berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara. Oleh sebab itu, tulisan ini menggunakan judul ‘tafsir konstitusionalitas’ untuk menarik benang merah antara pengucapan ‘…berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing’ dengan apa yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai staatfundamentalnorm.
ADVERTISEMENT
Frase ‘agama dan kepercayaan’ menggunakan kata konjungtif ‘dan’. Kata tersebut secara gramatikal digolongkan dalam konjungitf koordinatif yang berfungsi menghubungkan dua hal yang bersifat sederajat dan bersifat penggabungan. Penggabungan atau penambahan tersebut dapat terjadi pada dua buah kata, dua buah frase maupun dua klausa untuk merujuk satu hal. Dalam terminologi hukum dan konstruksi pembentukan peraturan perundang-undangan penggunaan kata ‘dan’ digunakan untuk menunjukkan suatu hal yang bersifat kumulatif atau gabungan atau seluruhnya. Dengan demikian, frasa ‘agama dan kepercayaan’ merujuk bahwa agama dan kepercayaan adalah satu entitas yang bersifat penggabungan dan kumulatif. Sehingga ajakan MC untuk ‘berdoa menurut agama dan kepercayaanya masing-masing’ dapat dimaknai sebagai ajakan untuk berdoa yang mesti didasarkan atas suatu agama serta kepercayaan yang dianut sebagai cabang-cabang dari agama itu (satu kesatuan). Secara a contrario, dalam satu situasi suatu masyarakat yang menganut aliran kepercayaan namun tidak menganut agama tertentu, tidak dapat atau tidak dipersilahkan untuk memanjatkan doa dalam sebuah forum atau kegiatan.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai berdoa hal ini sesungguhnya berkaitan erat mengenai ekspresi spiritualitas keimanan bagi warga negara dalam melaksanakan agama atau kepercayaan yang diyakininya. Dalam hal ini konstitusi mengatur mengenai hak tersebut dalam 2 bab yang terpisah, yaitu pada bab X A tentang Hak Asasi Manusia dan pada bab XI tentang Agama. Secara expresive verbis, apa yang lazim disampaikan dengan istilah ‘agama dan kepercayaan’ sesungguhnya merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945. Dalam ketentuan a quo jelas tertulis, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Secara tekstual, pasal tersebut memang seolah-olah menempatkan kepercayaan sebagai bagian dari suatu agama. Hal ini tidak lepas dari penggunaan kata ‘dan’.
ADVERTISEMENT
Namun demikian jika diintepretasikan secara sistematis, dengan pendekatan hermeneutika hukum sesungguhnya keduanya merujuk pada dua entitas yang berbeda. Hal demikian terjadi setidaknya mendasarkan pada 2 alasan. Pertama, pada bab X A tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai ‘hak untuk memeluk agama’ dan ‘hak meyakini kepercayaan’ diatur secara terpisah. Dalam hal ini, hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya diatur dalam Pasal 28 E ayat (1) sedangkan hak untuk meyakini kepercayaan dituangkan dalam Pasal 28 E ayat (2). Pemisahan kedua dalam pasal yang berbeda, pada bab terkait hak asasi manusia, dapat dimaksudkan bagi pembentuk undang-undang dalam memberikan pengakuan hak bagi warga negara, baik dalam memeluk agama maupun dalam meyakini keyakinannya. Keduanya merupakan hak konstitusional yang secara tegas diakui. Pendapat senada tercermin Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, yang memberikan paradigma pengakuan terhadap eksistensi pada tiap-tiap penduduk yang menganut aliran kepercayaan yang tersebar di Indonesia. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mengemukakan (yang pada pokoknya) konstitusi mengakui keberadaan agama dan kepercayaan sebagai kedua hal yang berbeda serta diakui eksistensinya. Hal demikian sebab, keduanya diatur dalam pasal-pasal secara terpisah sehingga antara agama dan kepercayaan merupakan hal yang sebanding. Apabila agama dan kepercayaan dipahami sebagai satu kesatuan, maka semestinya Pasal 28 E ayat (1) dan (2) tidak perlu dipisahkan. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 29, frasa ‘agama dan kepercayaan’ tidak mungkin ditulis secara dikotomi dalam perumusan norma tersebut, melainkan cukup ditulis jaminan perlindungan untuk memeluk ‘agama’ saja. Faktanya keduanya dituliskan secara berbarengan menggunakan kata penghubung ‘dan’.
ADVERTISEMENT
Kedua, Adapaun kata ‘dan’ dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 harus dipahami secara kontekstual. Substansi Pasal a quo menjelaskan mengenai peran negara atau tindakan negara dalam hal ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu. Oleh karenanya,
maka frasa ‘agama dan kepercayaan’ menunjukkan adanya konteks kesetaraan atau kesebandingan. Jaminan negara bagi penduduk untuk menganut agama dan menganut kepercayaan didudukkan pada posisi yang seimbang, satu kesatuan, tidak saling mengurangi. Negara memiliki fungsi yang equal untuk menjamin penduduk baik dalam menganut dan beribadah sesuai agamanya, maupun dalam menganut dan melaksanakan ajaran-ajaran dalam kepercayaan yang diyakini. Dengan demikian secara sistematis, konstitusi mengakui hak masyarakat baik dalam beragama maupun dalam berkeyakinan secara terpisah, bukan sebagai satu kesatuan yang saling menegasikan. Hal ini sebagaimana anasir pasal-pasal dalam konstitusi yang saling berkoherensi.
ADVERTISEMENT
Konklusinya, penggunaan kalimat ‘berdoa menurut agama dan kepercayaanya masing-masing’ yang sering digunakan oleh MC, tidak tepat sebab berpotensi melanggar hak-hak konsitusional tiap-tiap penduduk. Oleh sebab itu, menurut pendapat Penulis, konjungsi yang lebih tepat untuk menghubungkan kata ‘agama’ serta kata ‘kepercayaan’ adalah kata penghubung ‘atau’. Kata ‘atau’ merupakan konjungsi yang berhubungan dengan alternatif atau pilihan. Term ini secara terminologis dianggap lebih pas untuk menunjukkan keadaan dalam memilih suatu pilihan. Dengan penggunaan kata ‘berdoa menurut agama atau kepercayaanya masing-masing’ yang dipimpin oleh MC dalam sebuah forum baik itu bersifat kenegaraan, formal maupun informal, meberikan keleluasaan bagi peserta yang hadir untuk memilih doa sesuai agama yang dianutnya atau sesuai keyakinan yang diyakininya. Dengan demikian, jaminan penganut penghayat kepercayaan untuk melaksanakan peribadatan atau hal lain yang serupa dapat terus berlangsung dan dilindungi.
ADVERTISEMENT