Demi Menghindari Penyebaran COVID-19, 'Nikah Daring' Bisa Jadi Solusi

Imam Talmisani
Kepala Penghulu KUA Kota Salatiga.
Konten dari Pengguna
12 September 2021 11:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Talmisani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi gambar: pixabay dari qimono.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi gambar: pixabay dari qimono.
ADVERTISEMENT
Nikah itu sunah, begitu Islam mengajarkan. Kepada umat Islam, nikah sangat dianjurkan. Di dalam pernikahan ada begitu banyak manfaat. Di antara manfaat nikah: Pertama, untuk kelangsungan sejarah hidup manusia. Nikah memiliki fungsi reproduksi di mana pasangan yang menikah akan melahirkan keturunan untuk menjaga dan meneruskan sejarah hidup manusia. Kedua, secara psikologis, menikah menciptakan ketenangan dalam hidup. Ketiga, dalam keluarga managemen ekonomi lebih teratur. Dan banyak lagi manfaat menikah.
ADVERTISEMENT
Dalam pernikahan, negara hadir untuk mengatur agar menikah memiliki landasan yuridis, administratif dan adanya tertib sosial. Di sinilah urgensi adanya kelembagaan yang mengurus pernikahan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pasangan muslim, dan catatan sipil untuk pasangan non muslim.
Pernikahan terjadi di sepanjang musim. Meski ada hari seperti sabtu-minggu dan bulan yang ramai orang menikah. Ini hanya soal tradisi masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain.
Karena menikah itu tidak saja sunah, tapi juga merupakan kebutuhan asasi manusia, maka pernikahan selalu terselenggara di setiap waktu dan keadaan.
Musim paceklik dan pandemi tidak menjadi hambatan dan penghalang bagi orang-orang yang ingin melangsungkan pernikahan. Sebab, menikah itu murah dan mudah. Ada mempelai, wali, dua orang saksi, mahar dan ijab-qabul, maka pernikahan sah. Kalau ada biaya administrasi, angkanya sangat terjangkau. Bahkan tidak sedikit orang yang bersedia untuk membantu biaya pernikahan sekaligus maharnya.
ADVERTISEMENT
Di musim pandemi seperti sekarang ini, pernikahan tetap berjalan. Hanya saja, ada pembatasan soal kerumunan. Yang menghadiri pernikahan dibatasi. Begitu juga dengan pesta pernikahan yang berpotensi menciptakan kerumunan, untuk beberapa waktu belum diizinkan. Kecuali hanya beberapa orang yang hadir dalam bentuk tasyakuran. Namun, pernikahan itu sendiri tetap berjalan normal, dan tidak ada hambatan kebijakan.
Di musim pandemi, proses pernikahan memang berisiko. Bukan nikahnya yang berisiko, tapi kerumunan (karena dalam pernikahan ada keterlibatan sejumlah orang yang berkumpul), ini resisten terjadi penularan COVID-19. Apalagi jika ada di antara yang hadir dalam pernikahan itu tidak disiplin dalam prokes.
Untuk menghindari resistensi penularan COVID-19, pernikahan mestinya bisa dilaksanakan secara daring. Penghulu, wali, saksi dan mempelai bisa di tempat yang berbeda. Untuk kebutuhan tanda tangan, surat bisa dikirim oleh petugas KUA. Atau masing-masing pihak datang ke KUA secara bergantian. Ini sekaligus untuk menghindari kewajiban tes Swab Antigen bagi wali dan mempelai. Biaya tes Swab Antigen bisa lebih mahal dari biaya menikah.
ADVERTISEMENT
Pernikahan daring memang belum lazim terjadi karena belum ada regulasinya. Selama ini, pernikahan terselenggara secara off line dengan akibat adanya kerumunan yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyebaran COVID-19. Maka, pernikahan daring perlu ada kajian lebih dahulu, terutama terkait keabsahannya secara fikih. Mengingat fikih ini hasil ijtihad, maka bersifat dinamis dan akan menyesuaikan dengan situasi sosial.
Saat pandemi, beberapa pekan salat Jumat diliburkan. Sebagian ada yang diselenggarakan via daring. Begitu juga saf salat, di waktu normal rapat, saat pandemi berjarak. Ini produk fikih berbasis data penyebaran virus COVID-19. Apakah pernikahan akan sah hukumnya jika dilakukan via daring karena alasan menghindari penyebaran COVID-19? Para ulama ahli fikih mesti membuka diri untuk mengkaji soal ini.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi saat ini, dalam proses pernikahan, karena off line, sulit dihindari terjadinya kerumunan. Terutama masyarakat kampung, antusias keluarga, teman dan tetangga untuk menyaksikan pernikahan sangat tinggi. Inilah yang menjadi sebab potensi penularan COVID-19 tersebut sangat tinggi. Pengakuan para petugas KUA, mereka juga sulit menghindari jabat tangan, khususnya dengan mempelai.
Pernikahan daring lewat zoom misalnya, ini sesungguhnya bisa menjadi solusi yang aman dan murah. Aman, karena tidak ada kerumunan. Murah, karena tidak ada kewajiban untuk tes Swab Antigen.
Di Jawa Tengah, banyak Penghulu meninggal dunia. Jumlah penghulu yang meninggal lebih dari 28 orang. Sebagian karena COVID-19. Ini menjadi masalah tersendiri, khususnya terkait pelayanan. Di sejumlah KUA, hanya ada dua Penghulu. Kalau satu atau dua orang Penghulu meninggal, maka ini akan menjadi kendala serius terhadap pernikahan di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa KUA di luar Jawa, malah hanya ada satu saja penghulu. Jika dia meninggal, maka pelayanan pernikahan akan pasti terhambat. Sementara di KUA yang lain, banyak yang juga kekurangan SDM. Tidak mudah memberi bantuan penghulu dari daerah lain. Ini lantaran minimnya jumlah penghulu di masing-masing KUA.
Di Jawa, satu penghulu rata-rata menangani 25 peristiwa pernikahan dalam sebulan. Dua Penghulu menangani 50 peristiwa pernikahan. Jika di antara penghulu ada yang meninggal dunia, ini akan menghambat dan memperlambat orang yang mau menikah.
Jadi, ada tiga persoalan serius dalam hal pernikahan yang diselenggarakan di KUA. Pertama, syarat tes Swab Antigen untuk wali dan mempelai cukup memberatkan. Biaya nikah jadi membengkak. Kedua, ketidakdisplinan terhadap prokes, ini rentan terjadinya penularan COVID-19 di dalam proses pernikahan, dan ini juga berisiko terhadap para penghulu. Ketiga, banyaknya penghulu yang meninggal telah mengakibatkan berkurangnya SDM di KUA, dan ini telah mengakibatkan jadwal pernikahan terhambat. Sementara, rekrutmen penghulu membutuhkan waktu dan proses yang lumayan panjang.
ADVERTISEMENT
Tiga persoalan ini mesti segera diatasi, agar pelayanan pencatatan pernikahan tidak terhambat, tertunda, memberatkan masyarakat dan mengkhawatirkan bagi penghulu.
Jika akad nikah via daring dianggap sah secara hukum dan ada dasar aturannya, maka ini bisa menjadi solusi dari tiga persoalan tersebut.