Bertengkar Melawan Hati

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
25 Juli 2022 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Aku percaya, hati tak pernah berdusta. Hati selalu jujur dalam berkata. Hati tak pernah salah memilih cinta. Melalui hati, pesan dari Tuhan pun akan dapat diterima oleh jiwa manusia. Keraguan akan sirna bila energi yang dibawa oleh suara hati telah menggema. Bisa dikatakan hati manusia lebih mulia dibandingkan manusia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Aku tidak memejamkan mata semalaman tadi. Sudah tak terhitung lagi berapa malam yang sudah kulewati tanpa mimpi. Malam sepi kuhabiskan dengan bertengkar melawan hati. Berteman sunyi disertai rokok dan kopi. Hingga cahaya mentari menerangi, pertanda telah datangnya pagi hari.
Malam panjang selalu kuhabiskan dalam dekapan sunyi. Dengan kesunyian itu suara hati dapat terdengar jelas. Bersama sunyi, hati akan lebih lantang dalam berkata-kata. Ia tak akan ragu membentak dengan keras. Hati kerap kali malu kala ramai, lalu menyerahkan kendali diri pada akal yang sering kali berdusta dan berpura-pura.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun hati masih saja menyuarakan perkara cinta. Ia terus menerus menyebut satu nama tanpa henti. Telah kucoba melawan dengan menggunakan senjata yang bernama akal dan logika, namun hati tak kunjung dapat dikalahkan. Suaranya yang menyebut satu nama itu semakin menggelegar.
ADVERTISEMENT
Aku belum dapat menerima suara hati itu sebab akal senantiasa menolaknya. Akal selalu memunculkan kemungkinan-kemungkinan buruk kala aku telah mulai tergoda oleh cinta seraya tenggelam dalam suara hati yang membuai. Akal selalu berhasil menciptakan keraguan di dalam diri untuk pasrah menyambut cinta di dalam hati.
Entah kenapa, hingga saat ini aku masih belum dapat pasrah serta menyerah dalam dekapan cinta yang disuarakan oleh hati. Padahal, rasa rindu sudah sering sekali datang memeluk mimpi dan angan. Wajah itu senantiasa terbayang dan selalu berhasil membawa ketenangan. Keraguan terhadap kehidupan seakan sirna saat indah wajahnya berhasil menusuk masuk menembus relung kalbu.
Aku tidak mengerti, apa aku yang terlalu pengecut untuk jujur dalam mengikuti kata hati? Atau memang rasa ini hanya tipuan atau sekadar sensasi hidup belaka? Yang jelas setiap ingatanku diisi oleh anggun wajahnya, aku merasa hilang akal seraya tenggelam di dalam lautan perasaan yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Resah acap kali kurasakan sebab dirinya yang masih saja samar. Telah kucoba membungkam hati seraya memerintahkan ia untuk berhenti menyebut namanya, dan hasilnya sia-sia. Saat kubungkam, hati selalu memberontak seraya menggigit tapak tangan yang kugunakan untuk mendekap mulutnya yang cerewet itu. Hati tertawa dan semakin lantang menyebut namanya.
Bukan maksudku untuk menentang keinginan hati untuk mencintai, aku hanya tak ingin ia terluka. Aku tak ingin hati terlalu berharap pada dirinya yang cantik, namun masih samar dan buram. Walaupun pada akhirnya, hati akan selalu ikhlas kala menerima luka. Kurang lebih begitu aku menasihati hati yang tetap keras kepala untuk terus mencintai.
Hati diam. Tak lagi menyebutkan namanya. Sial! Aku malah semakin resah dan gelisah, ingin mati rasanya. Kupaksa hati untuk menyebut namanya lagi. Ia memandangku sinis seraya mengatakan bahwa aku munafik. Aku memohon padanya untuk lekas menenggelamkan aku dalam lautan cinta yang dalam. Hati memalingkan wajahnya. Aku terus memohon seraya berkata, “Baiklah hati, aku menyerah!”
ADVERTISEMENT