Bualan Rindu Semata

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2022 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Aku ingin sedikit membual kali ini. Membual tentang rasa rindu yang tak kunjung surut juga sirna. Rasa rindu yang hanya tertuju untuk satu jiwa semata. Kerinduan yang entah sampai kapan akan kurasa. Sementara, sampai saat ini ketiadaan masih saja senantiasa memeluk raga. ketiadaan yang membuat rasa rindu di dalam jiwa menjelma sembilu yang runcing nan tajam. Aku merindukannya dan ini hanya bualan semata.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini aku hanya dapat membual. Saat kata-kata puitis nan bijaksana tak kunjung meredam rasa yang bila berwujud dan dapat dilihat menjelma kobaran api raksaksa. Api yang menyala terang, namun panas nan menyakitkan. Sejenak, selembar atau dua lembar bualan nampaknya lebih berguna dibandingkan kata-kata bijak penuh cinta dari seorang filsuf untuk alam semesta sekali pun. Aku merindukannya.
Aku lebih senang bermimpi kala matahari terlihat gagah perkasa di langit yang berwarna biru. Saat manusia-manusia lain sibuk menikmati cerahnya hari, aku asik sendiri dengan mimpi. Mimpi yang mana hanya ada dirinya di dalamnya. Aku bebas memandang matanya di sana dan aku bebas memeluk dan memilikinya seutuhnya. Sungguh, Aku merindukannya.
Malam-malam telah kulewati tanpa jiwa yang melesat ke alam mimpi. Kala langit malam memerintahkan mata untuk tunduk pada kegelapannya, sang mata melawan seraya terus menunggu wajahnya yang tak jua tiba. Wajah yang bagiku lebih berharga daripada mutiara di dasar samudra yang dalam. Aku terus terjaga dan merindukannya.
ADVERTISEMENT
Tak ada lagi nyanyian cinta, yang ada hanya syair-syair bualan penuh harap yang terus terbang melesat ke langit di sunyinya sepertiga malam. Nyanyian cinta kali ini tak lagi berdaya berdebat dengan serangan rindu yang bertubi-tubi di dalam hati. Ia menyerah seraya memberikan kuasa pada syair-syair bualan untuk mengambil kendali sebagai juru bicara sang hati. Setiap malam, aku senantiasa meratap dan merindukannya.
Saat para alim berdoa tentang surga di malam-malam sunyi, aku hanya menyebut-nyebut namanya tanpa henti seraya berharap ia segera datang menemui. Sebab, hanya dengan bersamanya surga kurasakan.
Kenyataan tak kunjung mendatangkan raga itu untuk dapat kupeluk erat. Kenyataan menjelma menjadi jeruji besi yang memisahkan ragaku dan raganya yang cantik. Namun, jiwa yang merindu tak akan mampu dibelenggu. Jiwaku senantiasa memeluk jiwanya dalam mimpi dan khayal. Sebagaimana orang bijak berkata, “kebahagiaan khayalan sering kali lebih bernilai daripada kesedihan yang nyata.” Dalam nyata dan khayal, aku merindukannya.
ADVERTISEMENT
Matanya telah berhasil membuatku lupa akan wajah di masa lalu. Hanya dengan bertatapan dengannya, ingatanku tentang seorang insan di masa lalu sirna seketika. Segala bentuk rasa yang masih tertinggal telah berhasil ia renggut hanya dengan senyuman yang menawan. Dia hebat! Aku merindukannya.
Aku betul-betul penasaran, bagaimana sebenarnya bentuk jiwanya hingga dapat membuat jiwaku terpaut padanya?
Dengarlah kata-kata yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam dan diciptakan dengan kejujuran ini, duhai kekasih! Aku merindukanmu dan hati yang rindu tak pernah mampu untuk berdusta.
Oh iya! Aku kan cuma sedang membual saja.