Islam, Gender, dan Seksualitas pada Post-Reformasi Indonesia

Indah Sari Rahmaini
Dosen Sosiologi Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2023 16:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Sari Rahmaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu dan Anak. Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu dan Anak. Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harmoni gender dan keluarga sakinah merupakan diskursus baru pengabadian heteronormativitas dalam ranah keluarga. Konsep ini merupakan sebuah langkah mundur sepanjang sosio-historis mengenai diskursus hak dan pemberdayaan gender mulai dari orde lama hingga pasca reformasi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini didasarkan pada PFA4 Beijing dan merupakan langkah besar dalam kebijakan deterministik biologis yang dianjurkan oleh birokrasi militer orde baru ketika negara dan gerakan feminis mempromosikan pandangannya yang sangat berbeda mengenai emansipasi perempuan. Dengan demikian, tulisan ini melakukan review berdasarkan pemaparan Wieringa (2015) mengenai islam, gender, dan seksualitas post-reformasi di Indonesia.
Model feminitas perempuan sebelum tahun 1965 menjadi model perempuan yang patuh, order baru yakni model ibu rumah tangga yang sibuk, dan penekanan pasca-reformasi pada kepatuhan ibu rumah tangga yang shaliha. Hal ini menggambarkan kembalinya neokonservatif ke ideologi kodrat wanita yang dahulu dipromosikan oleh Suharto. Peran biologis dan agama dijadikan alasan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga alih-alih sebagai pendukung patriarki.
ADVERTISEMENT

Dari Orde Lama Hingga Sekarang

Pada orde lama, Indonesia berada pada tiga aliran utama yaitu nasionalis, agama, dan komunis, sementara tentara yang kuat tetap berdiri sendiri. Pada ujung rezim, ia memanifestasikan demokrasi terpimpin. Semua insititusi dimanipulasi dan organisasi Gerwani mendukung sebagai ‘ibu militan’. Istilah yang digunakan adalah emansipasi revolusioner untuk memperjuangkan partisipasi politik perempuan dan keadilan sosial, menentang poligini dan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada pertengahan 1960-an, ketegangan ekonomi dan politik yang kuat menyebabkan kepemimpinan tentara dibunuh oleh partai kiri, perwira nasionalis dengan dukungan terbatas dari pemimpin komunis. Suharto mengambil kontrol atas tentara dan membuat kampanye fitnah seksual Gerwani. Ia mengatur sebuah genosida di mana tentara, muslim dan kelompok pemuda sayap kanan lainnya membantai mungkin sejuta orang terkait dengan gerakan komunis.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar korban pembunuhan ini khususnya Jawa Timur, tidak hanya sosialis atau bahkan komunis, tetapi juga disebut Muslim abangan atau sinkretis yang memiliki spirit pemujaan terhadap leluhur. Santri secara harfiah adalah muslim ortodoks versi islam. Menjelang akhir 1980-an, Suharto mendukung pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia yang konservatif. Pada saat yang sama, order baru memberi kebebasan bagi para pengkhotbah Muslim yang menginginkan hilangnya praktik sinkretis. Mereka menyebarkan praktik intoleran literal yang terkait dengan neo-salafisme.
Penguasa orde baru membangun rezim mereka di atas ideologi maskulin yang dibangun tentang subordinasi perempuan. ini memerlukan proses heteronormalisasi termasuk peningkatan dalam homophobia. Gerwani dibunuh, dipenjara, diperkosa, dan dibungkam. Penghancuran Gerwani setelah Oktober 1965 berarti berakhirnya perempuan independen yang kuat di Indonesia yang begitu efektif secara nasional dan internasional. Sejak saat itu, perjuangan politik perempuan telah dikaitkan dengan pesta pora seksual, dan perempuan yang memperjuangkan hak-hak mereka di cap sebagai ‘komunis baru’.
ADVERTISEMENT
Organisasi wanita yang tersisa hanyalah di bawah kendali negara, terutama organisasi istri dari pegawai negeri (Dharma Wanita) dan dari angkatan bersenjata (Dharma Pertiwi). Negara juga membentuk Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Organisasi ini menyebarkan tiga kodrat wanita yaitu sumur, dapur, dan kasur. Dengan ini jenis determinisme biologis, kemandirian perempuan, dan kesetaraan dan keadilan gender ditolak. Pada tahun terakhir orde baru, unsur baru ditambahkan, yakni aktif secara sosial dan ekonomi. Ibu rumah tangga yang taat dan sibuk dari orde baru menggantikan ‘ibu militan’ dari tahun Sukarno.
Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998 lahir karena benci dengan korupsi rezim militer. Krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an telah menyebabkan kemiskinan meluas di Indonesia dan Suharto tidak lagi dipandang sebagai bapak bangsa. Aktivis mengambil alih dan memprotes keras korupsi dan intervensi ekonomi rezim dan penyalahgunaan kekuasaan militer.
ADVERTISEMENT
Gusdur, pemimpin muslim karismatik pada organisasi Nahdlatul Ulama mengadvokasi islam berdasarkan pengahrgaan terhadpa hak asasi manusia dan keberagaman sesuai dengan karakteristik Indonesia. Pada tahun 1990, ia menunjuk Khofifah Indar Parawansa, seorang feminis muslim menjadi menteri perempuan. Ia kemudian menggantinya dengan nama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan mengatur kebijakan berdasarkan ICPD dan POA tahun 1994.
Pada tahun 1999, Presiden Habibie mengumukan kebijakan regional tetapi tidak merencanakan desentralisasi dengan baik. Akibatnya elit daerah menggunakan klaim baru untuk berkuasa. Bentuk islam patriarki dan hukum adat menjadi dasar perebutan kekuasaan yang intens. Aborsi illegal di Indonesia dan negara ini memiliki tingkat kematian ibu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Masalah lainnya adalah praktik FGM (sunat perempuan) yang terus menerus. Walaupun itu dilarang pada tahun 2006, Departemen Kesehatan mengumumkan surat edaran tahun 2010 di Jakarta instruksi yang diberikan kepada tenaga medis tentang cara melakukan FGM dengan aman. Ini dianggap sebagai izin untuk melakukan FGM.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang menganggu adalah UU Anti-Pornografi yang diberlakukan pada tahun 2008. Hukum ini diusulkan oleh Kementerian Agama dan didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) garis keras. Terlepas dari protes seluruh negeri baik dari seniman ataupun aktivis perempuan, parlemen menerima UU ini yang membingungkan antara pornografi dengan moralitas.
Karena hukum ini, kegiatan sesama jenis untuk pertama kalinya dikaitkan dengan praktik pidana dalam hukum nasional. Meskipun gerakan perempuan secara keseluruhan terlalu lemah untuk melawan semua serangan tentang hak perempuan secara efektif, para sarjana dan aktivis feminis telah aktif menyuarakan keprihatinan mereka. Perdebatan ini telah dipelopori antara lain oleh cendekiawan Muslim feminis.
Satu keberhasilan penting adalah UU Anti KDRT, yang dirancang oleh APIK pada tahun 2004. Salah satu konsekuensi dari UU ini adalah bahwa perempuan mulai melaporkan kekerasan yang mereka temui. Namun, karena banyak kekurangan dalam struktur hukum dan perintah patriarki, banyak kasus berakhir dengan perceraian daripada dalam kasus pengadilan di mana suami yang bersalah didakwa.
ADVERTISEMENT