Aktivitas Pemburu Liar Ancam Harimau Sumatera di Aceh

13 November 2018 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Taman Nasional Gunung Leuser. (Foto: Zuhri/kumparan)
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus perburuan dan aktivitas perambahan serta pembalakan liar telah mengusik keberadaan harimau Sumatera. Bahkan di habitatnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di wilayah Provinsi Aceh, harimau Sumatera nyaris mengalami kepunahan. Diperkirakan populasi satwa dilindungi itu hanya berkisar 200 ekor.
ADVERTISEMENT
“Perkiraan kita kalau populasinya tinggal sekitar 200 ekor, itu temasuk yang di dalam TNGL,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, kepada kumparan Selasa (13/11).
Sapto menyebutkan, data yang diperoleh saat ini masih bersifat perkiraan sebab di tahun 2018 pihaknya sedang melakukan survei untuk mengetahui peningkatan populasi dan penurunan harimau Sumatera di Aceh.
“Tahun ini sedang dilakukan survei okupansi harimau di seluruh Sumatera termasuk Aceh. Nanti dari survei itu akan diketahui apakah ada peningkatan populasi atau penurunan,” sebutnya.
Sapto mengatakan, ancaman terbesar terhadap populasi harimau Sumatera di Aceh saat ini adalah akibat maraknya perburuan, fragmentasi, dan kerusakan habitat. Sehingga satwa ini akan semakin sulit untuk berkembang.
Hutan Leuser yang berkabut. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Hutan Leuser yang berkabut. (Foto: Flickr)
“Faktor inilah yang mengusik keberadaan harimau Sumatera sekarang. Secara nasional dan Sumatera populasi harimau di Aceh tergolong paling besar. Akan tetapi apabila penghancuran hutan terus terjadi, perburuan semakin marak tanpa ada upaya penghentian populasi harimau di Aceh akan terancam,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Tingginya angka kerusakan hutan di dataran rendah saat ini telah memaksa harimau bermigrasi ke pegunungan atau perbukitan, bahkan masuk ke dalam perkebunan warga sehingga konflik dengan manusia pun terjadi. Maraknya perburuan juga disebabkan karena masih banyaknya orang mengoleksi satwa dilindungi. Tingginya permintaan dengan harga yang menggiurkan, telah memantik pemburu untuk berburu dan memperdagangkannya.
Pembalakan dan Perburuan Meningkat
Sementara itu, Manager Database Forum Konservasi Leuser (FKL) Ibnu Hasyim mengatakan, populasi harimau Sumatera tersebar merata di hutan dalam KEL yang terbentang di 13 kabupaten/kota di Aceh. Meski demikian, di beberapa daerah itu tekanan kuat juga menghantui keberadaan harimau itu sendiri.
Ibnu tak menampik bahwa angka perburuan di Aceh tergolong cukup tinggi. Dia mencontohkan seperti yang terjadi di Bengkung, Aceh Tenggara, dan Trumon, Aceh Selatan. Perburuan mengakibatkan intensitas konflik antara harimau dengan manusia kian bertambah.
ADVERTISEMENT
“Gejalanya semakin tinggi angka perburuan harimau, maka konflik dengan manusia itu juga lebih tinggi,” ujarnya.
Dijelaskan Ibnu, dari hasil data lapangan yang diperoleh FKL, kasus perambahan, pembalakan, perburuan kian tahun tahun kian bertambah.
Berdasarkan data ground checking oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 kabupaten dalam KEL, terdapat total 1.892 kasus aktivitas pembalakan liar, perambahan liar, dan akses jalan.
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Dok. FKL Aceh)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Dok. FKL Aceh)
Dari hasil monitoring itu, Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Selatan tercatat sebagai kabupaten dengan total kasus perambahan dan pembalakan liar terbanyak pada semester pertama tahun 2018 yang berjumlah 319 kasus.
Jumlah aktivitas pembalakan liar terbanyak terjadi di Kabupaten Aceh Timur yaitu mencapai 619,8 meter kubik. Sedangkan jumlah aktivitas perambahan terluas terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu 873 ha. Untuk pembangunan jalan, terdata 105,5 km pembangunan jalan di dalam KEL.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, tahun 2018 terhitung sejak Januari hingga Juni terdapat 389 kasus perburuan dengan 497 jerat untuk satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau dan gajah yang disita atau dimusnahkan. Pada periode ini sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami.
“Paling sedikit seekor gajah dan seekor harimau mati diburu di Kawasan Ekosistem Leuser. Jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari yang ditemukan. Tiap kali kita mencoba membagi data ini, selalu terjadi peningkatan setiap tahunnya,” tutur Ibnu.
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Selain itu di kawasan Beutong, Kabupaten Nagan Raya, FKL mencatat sejak Juli 2017 hingga September 2018 total temuan sebanyak 1146 kasus, di antaranya 884 kasus temuan tanda satwa, 255 jumlah aktivitas ilegal, satwa mati sebanyak 17 kasus, dan jumlah kasus perburuan sebanyak 74 kasus.
ADVERTISEMENT
“Kita menemukan 8 orang pemburu, 40 camp pemburu, dan 77 jerat atau perangkap satwa,” tutur Ibnu, saat menyusuri kawasan Beutong, Sabtu (10/11) lalu.
“Secara pribadi saya sangat sedih dan mengkhawatirkan keberadaan satwa ini. Jika tidak diselamatkan mulai dari sekarang maka mereka (harimau) Sumatera di Aceh terancam punah,” ujar Ibnu.