KPK: Banyak Dosen Kampus Negeri Dukung Koruptor di Pengadilan

19 April 2018 16:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
KPK mengaku mengalami kesulitan ketika mencari saksi ahli dari perguruan tinggi negeri yang berpihak pada pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Padahal, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, pihaknya dalam persidangan tindak pidana korupsi, selalu bertarung melawan saksi ahli yang berasal dari perguruan tinggi negeri.
"Nyari saksi ahli yang berpihak pada penuntutan korupsi itu KPK kesulitan. Padahal yang bertemu di pengadilan itu kebanyakan dosen-dosen perguruan tinggi negeri, yang melawan kita," kata Agus dalam acara ICW, di Aula Kemendikbud, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/4).
Menurut Agus, hal itu menjadi ironi, ketika sesama pegawai pemerintah dan memiliki tujuan sama untuk kesejahteraan masyarakat tetapi dengan cara yang berbeda, akan tetapi tidak beringingan.
Oleh karenanya, Agus meminta pemerintah untuk mengatur undang-undang keharusan pegawai negeri, khususnya ahli, agar berpihak pada pemberantasan korupsi.
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
"Ini kok pegawainnya pemerintah kok malah melawan pemberantasan korupsi. Apakah enggak bisa keluarkan, misalkan menjadi pegawai perguruan tinggi negeri itu ya harus berpihak kepada KPK dong jangan berpihak di sana," paparnya.
ADVERTISEMENT
Ia meminta persoalan KPK ini menjadi perhatian serius semua pihak, khususnya pemerintah dan kalangan perguruan tinggi. "Ini mungkin perlu betul dipikirkan aturan-aturan itu," ucapnya.
Di sisi lain, Agus menduga salah satu alasan ketakberpihakan ahli dari pegawai negeri kepada KPK itu karena persoalan honor.
"Kita mencari saksi ahli di perguruan tunggi karena honornya hanya Rp5 sampai Rp6 juta susahnya bukan main. Sementara lawan kita yang di persidangan bisa membayar Rp 100 juta mungkin lebih dari itu. Ya mungkin perlu dipikirkan juga," tuturnya.