Menggugat Ganti Rugi terhadap Koruptor

Muh Indra Kusumayudha
Merupakan seorang Advokat dan pemerhati hukum bisnis. Pendiri Kantor Hukum Hutama Indra Partnership (H.I.P Lawyers) - @hiplawyers
Konten dari Pengguna
18 Juli 2021 6:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Indra Kusumayudha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok Pribadi M. Indra Kusumayudha
zoom-in-whitePerbesar
Dok Pribadi M. Indra Kusumayudha
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tentunya masih hangat di pemberitaan terkait pengajuan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh sejumlah warga korban korupsi bantuan sosial (bansos). Di mana majelis hakim pemeriksa perkara kasus korupsi bansos dengan terdakwa mantan menteri Sosial Juliari P. Batubara telah menerima permohonan gabungan gugatan ganti kerugian tersebut.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini merupakan hal yang langka dalam sistem peradilan pidana kita, apalagi dalam kasus korupsi yang selama ini telah disidangkan. Hampir tidak pernah korban koruptor yang notabenenya masyarakat luas yang dirugikan mengajukan gugatan ganti rugi. Hal ini tentunya menjadi langkah progresif dan dapat diterapkan apabila perilaku koruptif yang dilakukan para koruptor telah merugikan masyarakat luas.
Dalam UU 31/1997 jo UU 20/2001 (UU Tipikor) tidak memberikan ketentuan khusus terkait pembuktian dalam gugatan perdata sebagai langkah penanganan perkara korupsi. Ketentuan khusus dalam UU Tipikor hanya berlaku dalam proses pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal pembuktian yang menggunakan kata “terdakwa”, bukan tergugat.
Karena tidak ada ketentuan khusus, maka layaknya perkara perdata lainnya, perkara korupsi yang diselesaikan melalui mekanisme perdata tunduk pada ketentuan hukum acara perdata yang berlaku umum.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini UU Tipikor tidak mengatur perihal gugatan ganti kerugian yang dapat diajukan oleh masyarakat luas, hal ini didasarkan karena masyarakat tidak mempunyai hak atau kewenangan berdasarkan UU, subjek hukum yang memiliki kewenangan dalam mengajukan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi adalah Negara yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang secara langsung dirugikan atas adanya tindak pidana korupsi tersebut.
Pada prinsipnya korupsi selalu diidentifikasikan dengan adanya kerugian keuangan Negara dan perbuatan melawan hukum, namun yang selama ini diabaikan adalah hak masyarakat luas, yang mana baik secara langsung ataupun tidak langsung masyarakat terkena imbas dan dampak negatif dari adanya perbuatan korupsi ini.
Negara harus mengubah paradigma, di mana tidak hanya fokus pada pengembalian uang Negara namun juga harus fokus pada pemulihan keadaan dan kondisi masyarakat korban korupsi.
ADVERTISEMENT
Tindak pidana korupsi juga disebabkan oleh kegagalan negara dalam menjamin penggunaan uang rakyat yang diperuntukkan demi kepentingan rakyat. Kewajiban sosial negara terhadap rakyat yang menderita perlu dipertimbangkan kompensasi ganti rugi terhadap korban korupsi dalam hal tertentu, khususnya dalam hal kerugian mengakibatkan terganggunya akses masyarakat untuk mendapatkan layanan dasar seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perekonomian dan sektor esensial lainnya.
Selama ini reformasi birokrasi belum mampu menangkal atau mempersempit ruang gerak oknum birokrat atau pejabat dalam melakukan korupsi. Hal ini tentunya dapat disimpulkan bahwa reformasi birokrasi akan dinilai gagal jika tidak mampu menangkal (mencegah) korupsi. Berdasarkan hal tersebut pemerintah bersama institusi penegak hukum harus mulai merumuskan strategi pencegahan korupsi yang efektif.

Pengaturan Hukum Ruang Serta Masyarakat

Selama ini kita selalu dipertontonkan terkait putusan majelis hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan dan tuntutan jaksa penuntut umum yang sangat kecil dibandingkan dengan perbuatan korupsi yang dilakukan, masyarakat luas hanya bisa melihat dan memendam kekecewaannya. Oleh karena itu untuk mengubah situasi ini maka diperlukan terobosan khusus (special treatment) terhadap sistem pemberantasan korupsi kita.
ADVERTISEMENT
Sebagai korban sudah selayaknya masyarakat mendapatkan akses untuk mendapatkan keadilan. Untuk itu diperlukan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi secara cepat. Sudah saatnya masyarakat kita diberikan ruang secara hukum untuk turut serta dalam proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, dengan cara diberikan koridor yang sah secara hukum untuk menuntut ganti kerugian secara perdata.
Tentunya hal ini diperlukan formulasi khusus dan kualifikasi yang proporsional sesuai dengan tindak pidana dan akibat yang dihasilkannya. Tidak semua masyarakat Indonesia dapat menuntut, diperlukan pengaturan konkret kedudukan hukum masyarakat (legal standing) yang jelas dan tidak bias dalam mengajukan gugatan ganti rugi.
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat tindak pidana korupsi. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya, tindakan pengajuan gugatan ini tentunya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ganti rugi lewat penggabungan perkara sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat korban korupsi bansos telah diatur pada pasal 98-101 dalam KUHAP kita, yang mana diatur bahwasanya atas permintaan orang itu (masyarakat yang terdampak) dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang sedang berlangsung.
Namun hal ini sering gagal dikarenakan penggabungan gugatan ganti rugi dalam UU Tipikor terbatas pada kerugian materil yang telah dikeluarkan. Pembatasan ganti rugi terbatas pada kerugian materil yang telah dikeluarkan tidak cocok dengan karakter kerugian korban dalam tindak pidana korupsi. Hal ini sulit untuk diaplikasikan apabila jumlah korbannya terlalu besar.
Selain itu pengaturan kompensasi dan restitusi atas kerugian sebuah tindak pidana juga diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), UU 26/2000 tentang pengadilan HAM dan UU 13/2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang mana mengatur mengenai kompensasi dan restitusi. Hanya saja dalam UU Tipikor yang merupakan peraturan khusus (lex specialis) tindak pidana korupsi belum secara tegas mengatur hal tersebut, hal inilah yang perlu diatur dan dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
Pengaturan optimal atas penerapan restitusi sejauh ini dapat kita lihat pada UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), di mana restitusi sudah diatur khusus dalam UU TPPO. Permohonan restitusi pada tindak pidana lain selain TPPO saat ini belum jelas, masih mengacu pada KUHAP dan sulit diterapkan.
Prinsip dan tujuan dari permohonan restitusi adalah melindungi hak-hak korban kejahatan serta memiskinkan pelaku. Jika dikaitkan dengan korupsi, hal ini masuk akal lantaran korupsi termasuk kejahatan luar biasa, di mana pelaku mengambil keuntungan besar dan merugikan Negara dan masyarakat luas.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak ada standar yuridis yang baku dalam mengajukan restitusi, dan tidak ada ketegasan apakah restitusi sebagai pidana atau bukan. Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam perundang-undangan di masa depan tentang posisi pidana restitusi dalam hukum positif Indonesia. Hal ini penting agar penegak hukum punya sikap dalam meletakkan restitusi dalam memenuhi hak-hak yuridis korban.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Penjatuhan Sanksi Finansial

Tentunya kita semua sepakat bahwasanya korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang umumnya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan dengan motif ekonomi atau politik. Sifat serakah, gengsi atas status sosial, persaingan bisnis atau politik yang semua itu dilakukan dengan sadar dan sengaja.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana korupsi melalui operasi tangkap tangan sekaligus juga membuktikan pemberantasan tindak pidana korupsi belum berhasil.
Fungsi pencegahan selama ini belum berjalan secara maksimal, KPK sebagai garda terdepan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus menguatkan fungsi monitoring dan supervisi terhadap lembaga penegak hukum lain dalam penanganan kasus korupsi. Misalnya, Kejaksaan dan Kepolisian menjadi dua lembaga penegak hukum yang harus bekerja sama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dalam praktik penegakan hukum selama ini, rata-rata penjatuhan pidana terhadap koruptor masih terbilang rendah, ditambah adanya fasilitas abnormal dalam penjara spesial khusus koruptor dan kesempatan untuk keluar masuk dari penjara dengan alasan sakit atau berobat.
Banyaknya pejabat yang korupsi memperlihatkan bahwa ancaman pidana denda yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera dan pidana denda memiliki batasnya sendiri. Sementara di sisi yang lain keuntungan dari korupsi bisa dalam jumlah yang sangat besar dan jauh melampaui dari maksimal pidana denda.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan penjatuhan uang pengganti yang sering dijatuhkan tidak lebih dari uang yang dikorupsi, seharusnya pidana uang pengganti merupakan upaya untuk memulihkan kembali setiap kerugian yang diakibatkan perilaku koruptif dari pelaku.
Untuk itu sudah saatnya masyarakat luas yang terdampak korupsi diberikan ruang untuk memperjuangkan haknya dan memberikan sanksi finansial kepada para koruptor. Hal ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab untuk mewujudkan negara yang bebas dari korupsi dan untuk memulihkan kondisi sosial di masyarakat.
(Penulis adalah seorang Advokat Dan Praktisi Hukum)