Bisakah Energi Nuklir Menciptakan Masa Depan yang Lebih Hijau?

Indrawan Ariyadi
Mahasiswa Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
26 Juni 2022 17:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indrawan Ariyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Kota Jakarta. Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Kota Jakarta. Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru - baru ini warga Jakarta dikejutkan dengan mengetahui bahwa Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara tertinggi di dunia. Berdasarkan data IQAir Senin (20/6/2022), kadar polusinya mencapai 205 US AQI atau dalam kategori sangat tidak sehat. Hal ini disebabkan oleh emisi buangan dari transportasi dan industri yang terlalu banyak. Selain itu pembangkit listrik berbahan bakar batubara cukup signifikan berkontribusi terhadap buruknya kualitas udara Jakarta.
ADVERTISEMENT
Tahun 2020 Greenpeace menyebut, PLTU batubara sebagai kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas hampir setengah (46%) dari emisi karbon dioksida dunia. Satu PLTU rata-rata punya masa operasi 25-30 tahun. “Beroperasi 24 jam setiap hari, PLTU mengemisikan polutan mematikan seperti PM2,5, PM10, NOx, SO2 serta debu,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia. Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya menggunakan batu bara. Di sisi lain, pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) belum dapat diandalkan untuk menghasilkan listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) kontribusinya sekitar hampir 8 persen diikuti dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kontribusi sekitar 3 persen sedangkan PLTU menyumbang produksi listrik sangat besar yaitu sekitar 61 persen.
Gambar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Sumber: Pixabay
Memang tenaga nuklir tidak dianggap sebagai energi terbarukan, mengingat ketergantungannya pada sumber daya terbatas yang ditambang, tetapi karena reaktor yang beroperasi tidak memancarkan gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global, maka dapat dianggap energi nuklir bisa menjadi solusi atas masalah seperti yang telah disebutkan diatas. Tenaga nuklir dihasilkan dengan cara membelah atom untuk melepaskan energi yang tersimpan di inti atau nukleus kemudian terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Proses ini disebut fisi nuklir, menghasilkan panas yang diarahkan ke zat pendingin yang biasanya adalah air. Uap yang dihasilkan dari panas itu digunakan untuk memutar turbin yang terhubung ke generator dan menghasilkan listrik. Dalam reaktor nuklir, neutron—partikel subatom yang tidak memiliki muatan listrik—bertabrakan dengan atom, menyebabkan mereka terbelah. Tabrakan itu—disebut fisi nuklir—melepaskan lebih banyak neutron yang bereaksi dengan lebih banyak atom, menciptakan reaksi berantai. Produk sampingan dari reaksi nuklir, plutonium, juga dapat digunakan sebagai bahan bakar nuklir.
ADVERTISEMENT
Sekitar 450 reaktor nuklir menyediakan sekitar 11 persen listrik dunia. Negara-negara yang paling banyak menghasilkan tenaga nuklir secara berurutan adalah Amerika Serikat, Perancis, Cina, Rusia, dan Korea Selatan. Di Amerika Serikat sebagian besar reaktor nuklir adalah reaktor air mendidih, di mana air dipanaskan sampai titik didih untuk melepaskan uap.
Bahan bakar yang paling umum untuk tenaga nuklir adalah uranium, logam berlimpah yang mudah ditemukan di seluruh dunia. Uranium yang ditambang diproses menjadi U-235, versi yang diperkaya kemudian digunakan sebagai bahan bakar di reaktor nuklir karena atomnya dapat dipecah dengan mudah. Banyak yang sedang mengerjakan reaktor modular kecil yang bisa menjadi portabel dan lebih mudah dibangun. Inovasi seperti itu ditujukan untuk menyelamatkan industri dalam krisis karena pembangkit nuklir saat ini terus menua dan yang baru gagal bersaing harga dengan gas alam dan sumber terbarukan seperti angin dan matahari.
ADVERTISEMENT
Harapan untuk masa depan tenaga nuklir melibatkan fusi nuklir yang menghasilkan energi ketika dua inti ringan bertabrakan untuk membentuk inti tunggal yang lebih berat. Fusi dapat menghasilkan lebih banyak energi dengan lebih aman dan dengan limbah radioaktif yang jauh lebih sedikit berbahaya daripada fisi, tetapi hanya sejumlah kecil orang yang berhasil membangun reaktor fusi nuklir yang berfungsi. Tenaga nuklir memiliki jejak karbon kecil, seperti angin atau tenaga surya atau bahkan lebih kecil lagi. Jika dilihat dari angka kematian, nuklir cukup aman karena sedikit orang yang meninggal karenanya daripada polusi udara yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara. Tapi pilihan ini tidak pernah hanya tentang angka.
Sangatlah rasional jika ingin memilih sumber energi yang membawa risiko bencana yang kecil, namun risiko ini selalu ada. Banyak jalan menuju kebebasan dari polusi karbon. Kita semua harus sampai di sana entah bagaimana caranya.
ADVERTISEMENT