Kisah Rocky Lockridge, Juara Tinju yang Bangkrut & Jadi Gelandangan

Konten dari Pengguna
15 April 2021 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Info Sport tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rocky Lockridge, Juara Tinju Kelas Bulu yang Bangkrut dan Hidup di Jalanan AS. Foto: Twitter/@boxingscene
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Lockridge, Juara Tinju Kelas Bulu yang Bangkrut dan Hidup di Jalanan AS. Foto: Twitter/@boxingscene
ADVERTISEMENT
Banyak nama petinju tersohor dari AS, seperti Muhammad Ali, Mike Tyson, dan Floyd Mayweather Jr. Namun, jika mundur ke tahun 70-an akan muncul salah satu nama dari Tacoma, AS, yaitu Rocky Lockridge, seorang jawara tinju kelas bulu WBA dan IBF.
ADVERTISEMENT
Mungkin namanya masih asing terdengar di telinga para penggemar tinju milenial, tapi perjalanan kariernya tak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu momen ikoniknya terjadi ketika memukul KO paman Floyd Mayweather Jr, Roger Mayweather, hanya dalam waktu 98 detik.
Kemenangan itu juga yang mengantarkan Lockridge meraih gelar pertamanya, juara kelas bulu WBA pada Februari 1984. Sayang, dirinya harus rela melepas gelar tersebut setelah kalah dari Wilfredo Gomez setahun setelahnya.
Beruntung Lockridge sanggup bangkit dengan memenangkan 4 pertarungan dan 1 kalah sebelum kembali merasakan menjadi juara saat mengalahkan petinju Australia, Barry Michael, untuk gelar kelas bulu super pada Agustus 1987.
Rocky Lockridge (kanan) vs Eusebio Pedroza pada 1983. Foto: The Ring Magazine via Getty Images
Lagi dan lagi, hanya selang setahun dia kembali kehilangan gelarnya, kini dari Tony Lopez dalam pertarungan brutal 12 ronde yang disebut Fight of the Year 1988 oleh majalah The Ring.
ADVERTISEMENT
Sial baginya, Lockridge pun kalah dalam pertandingan ulang yang sama berdarahnya setahun kemudian sebelum akhirnya memutuskan pensiun pada 1989 setelah sempat meraih satu kemenangan terakhir atas Mike Zena.
Namun, seburuk apa pun pukulannya di atas ring, pelecehan yang dia lakukan terhadap tubuhnya sendiri bisa jadi menjadi hal yang lebih buruk dalam hidupnya, karier tinju, urusan finansial, dan tentunya juga masalah kesehatan.
Diwartakan media New Jersey, NJ, setelah selesai bertarung, Lockridge punya sebuah ritual khusus. Dia akan berpesta pada akhir pekan, menghirup kokain, dan menenggak alkohol. Dia akan meminum apa pun yang ada di sekitarnya.
Ketika Lockridge membutuhkan uang, dia akan meminta kepada keluarga Duva, promotornya saat itu. Tanpa pikir panjang, para Duva pun dengan senang hati memberikan apa saja yang dia minta.
Rocky Lockridge (kiri) saat kalah dari Julio Cesar Chavez pada 1986. Foto: Twitter/@PugilistPlace
"Bukan hanya saya tidak memegang kendali secara finansial, tapi itu benar-benar tidak menjadi masalah bagi saya saat itu,” ucap Lockridge tentang kebiasannya meminta uang kepada keluarga Duva untuk berfoya-foya.
ADVERTISEMENT
“Saya menginginkan yang terbaik untuk diri saya sendiri dan orang yang saya cintai. Namun, tidak pernah ada penolakan saat itu dengan mengatakan, 'Champ, Anda tidak benar dan ini berdampak pada masalah keuangan',” tambahnya menyesal.
Lockridge mengatakan dia telah 'diperkosa' secara finansial, tetapi tidak ada bukti jelas tentang itu. Salah satu keluarga Duva, Kathy Duva, kemudian berkata bahwa Lockridge sebenarnya menghasilkan uang, tetapi bukan dalam jumlah yang bisa diharapkan orang untuk hidup abadi.
Bahkan, Lockridge mengakui bayaran terbesarnya di atas ring tinju datang dari pertarungan melawan petinju asal Meksiko, Julio Cesar Chavez. Itu pun hanya menyentuh angka USD 200 ribu atau setara dengan Rp2,9 miliar, bukan nilai yang sangat besar untuk seorang petinju.
ADVERTISEMENT
"Dia [Lockridge] punya keluarga, anak, mengalami perceraian, dan dia juga membeli rumah. Uangnya hilang. Orang-orang yang menyalahgunakan narkoba sering kali mengalami kesulitan. Itu memalukan, tapi itu pilihan yang mereka buat," kata Kathy Duva.
Rocky Lockridge, petinju kelahiran Tacoma, Washington, AS. Foto: Twitter/@RealRockys
Dia dan istrinya, Carolyn beserta dua anak laki-laki mereka telah pindah kembali ke Tacoma satu setengah tahun setelah Lockridge pensiun pada 1991, tetapi keluarga itu tidak tinggal bersama untuk waktu yang lama.
Tak lama kemudian, keduanya berpisah. Kata Lockridge itu karena stres setelah bangkrut dan sebagian lagi karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan tanpa tinju. Selain itu, dia mengaku kecanduan narkoba yang dideritanya juga berperan dalam perpisahan itu.
Lockridge kemudian kembali ke atas ring dan mencoba peruntungannya pada 1992, setelah hampir 3 tahun gantung sarung tinju. Sayang, di usianya yang menginjak 33 tahun, Lockridge tetap bernasib buruk meskipun di bawah manajemen baru yang kini berbasis di Washington.
ADVERTISEMENT
Kembalinya ke atas ring hanya berlangsung dua pertarungan yang semuanya berujung kekalahan. Rekor terakhirnya adalah 44 kemenangan dengan 36 KO, 9 kekalahan, dan saldo USD 0 di akun bank miliknya.
“Saya hanya tidak tahu bagaimana mengatasinya. Saya dan Carolyn mulai melihat bahwa kami tidak akan menjadi sebuah tim seperti yang dulu kami banggakan, tim yang tidak dapat dipisahkan," ucapnya.
Setahun kemudian, Lockridge pindah ke Camden, New Jersey, sendirian. Lalu dia mengambil pekerjaan di William Jones & Son, Inc, sebuah perusahaan drum dan barel di jalan Liberty, Camden.
Mulai Januari 1994, tugasnya adalah membersihkan dan mengecat barel untuk mendapatkan bayaran yang tak seberapa. Dia mendapat upah sebesar USD 8 (sekitar Rp116 ribu) per jam dari pekerjaannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Sial baginya, tak lama kemudian, dia ditangkap karena kasus perampokan. Menurut catatan pengadilan, dia dijatuhi hukuman percobaan selama lima tahun. Tiga tahun kemudian, dia ditangkap lagi karena kasus yang serupa, kali ini dia hanya menjalani hukuman 27 bulan sebelum dibebaskan pada Juli 1999.
Ketika dia keluar dari penjara, dia menemukan fakta bahwa dirinya tidak punya tempat tujuan dan berakhir di jalanan. Hanya saja dia ingat bahwa dirinya kembali menggunakan narkoba, sesuatu yang menjadi masalah baginya selama lebih dari dua dekade.
"Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, bagaimana itu terjadi atau apa yang terjadi pada waktu tertentu dalam hidup saya. Satu hal yang saya ingat adalah saya kembali menggunakan narkoba,” katanya.
ADVERTISEMENT
"Saya kenal banyak orang yang berpesta bersama saya di sini, di Camden, setelah saya meraih kemenangan di atas ring," tambahnya.
Lockridge mengatakan bahwa jika ingin menjadi tunawisma, Camden adalah tempat yang tepat. Ada banyak tempat berbeda yang akan memberikan makan gratis dan banyak tempat berlindung untuk semalaman.
Kadang-kadang dia juga tidur di tempat penampungan, tetapi baginya pemberlakuan jam malam adalah sebuah masalah baginya. Akhirnya dia lebih memilih untuk tidur di rumah petak terlantar yang penuh nyamuk daripada harus dibatasi waktu keluar-masuk yang hanya sampai jam 7 malam.
"Semua orang menciumku, berteriak, 'Champ, Champ, Champ’. Saya mendapatkan kegembiraan berada di sekitar mereka di Camden karena mereka mengalami perjuangan, sama seperti saya," katanya.
ADVERTISEMENT
Dirinya kini hidup dengan bekal USD 140 (sekitar Rp2 juta) per bulan dan kupon makanan yang diterima dari pemerintah setempat serta beberapa uang receh yang dia dapatkan dari meminta-minta di jalanan.
Malang baginya, stroke yang dideritanya membuat dirinya kesulitan berjalan dan seringkali tak mampu menahan beratnya pekerjaan. Tak hanya itu, dia masih terus bermasalah dengan hukum, meskipun penangkapan terakhirnya hanya menghasilkan hukuman pelayanan masyarakat.
Masalah Lockridge mirip dengan masalah yang dihadapi banyak mantan petinju lainnya. Mantan juara dunia yang menderita kesulitan keuangan bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat sejarah tinju, kurangnya pendidikan formal dari sebagian besar petarung, dan tidak adanya rencana pensiun dari pribadi atau badan pengatur olahraga mana pun.
Penampilan Ricky Lockridge saat tinggal di jalanan Camden, AS. Foto: Twitter/@TSSboxingnews
“Petinju tidak dilatih untuk menangani kehidupan di luar ring. Mereka tidak dilatih dalam tanggung jawab keuangan, tidak seperti olahraga lainnya, tidak ada serikat pekerja yang bisa dimintai bantuan,” ucap Alex Ramos, seorang teman Lockridge yang mendirikan Yayasan Pensiunan Petinju (RBF).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Scott Frank, petinju yang juga berjuang pada saat yang sama dengan Lockridge, mengatakan promotor dan manajer tinju seharusnya bertanggung jawab untuk menyisihkan uang ketika petinju mereka tidak dapat bertarung lagi.
"Lou [Duva] selalu mengatakan Rocky seperti anak laki-laki baginya, jadi bagaimana Anda melakukan itu pada anak Anda? Dia menghasilkan cukup uang sehingga mereka seharusnya menyisihkan sebagian untuknya, mereka seharusnya menjaganya,” kata Frank kepada keluarga Duva.
Merespon hal tersebut, Kathy Duva selaku bagian dari promotor tinju Main Events yang menaungi Lockridge mengatakan bahwa mereka selalu membuka pintu untuk atlet-atletnya, termasuk Lockridge. Asalkan mereka harus tetap waras dan bersih, tidak kecanduan alkohol apalagi narkoba.
"Aku pahit. Aku sangat pahit. Saya membuat beberapa kesalahan, banyak sekali kesalahan, tetapi itu di luar imajinasi saya. Pukulan yang diberikan kepada saya lebih sulit dilakukan daripada pukulan apa pun yang saya terima dalam pertarungan di atas ring,” kata Lockridge getir.
ADVERTISEMENT
Lockridge kemudian mengatakan bahwa kebutuhan untuk melihat putra-putranya dan membantu mereka menghindari kesalahan yang dia buat adalah kekuatan pendorong untuk membersihkan diri dan menerima bantuan dari orang luar.
Ricky Lockridge (tengah) bersama kedua anaknya setelah tak lagi tinggal di jalanan. Foto: Twitter/@locktwin
"Itu menyakitkan. Dalam lebih dari satu hal, itu menyakitkan. Bagaimana bisa menjadi pria, ayah, dan suami yang hebat. Bagaimana bisa menjadi juara yang hebat dan tidak menjadi ayah serta suami yang hebat? Itu menyakitkan,” sesalnya.
“Aku tidak bisa menebus waktu yang hilang, tapi aku bisa sampai di sana, berada di sana, menghabiskan sisa waktu dengan istri dan anak-anakku dan memberi mereka waktu yang tersisa," tambahnya.
Beruntung Lockridge bisa dipersatukan kembali dengan istri dan ketiga anaknya. Apa yang diucapkannya pun benar, Lockridge masih sempat menghabiskan waktu yang tersisa di hidupnya sebelum meninggal pada 7 Februari 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Wafat di usia 60 tahun karena stroke, Rocky Lockridge meninggalkan istri, Carolyn dan ketiga putranya, Lamar Lockridge, Raymond Dixon, dan Ricky Lockridge Jr.
“Rocky selalu menjadi orang yang rendah hati dengan kepribadian yang santai. Dia pendiam, tapi pandai bicara. Dia pria yang luar biasa," kenang Kathy Duva, CEO Main Events yang menjadi tempat bernaung Lockridge selama berkarier di dunia tinju.
"Dia pria yang baik, dia hanya perlu menemukan jalannya lagi. Orang-orang memanggilnya ‘The Champ’, mereka menyapanya, memeluknya. Orang-orang masih mengaguminya. Setiap kali saya melihatnya, itulah yang saya lihat,” kata Orlando Pettigrew, seorang pembawa surat yang menjadi teman Lockridge selama tinggal di jalanan Camden.
Jika para penggemar tinju milenial tidak mengenal bagaimana kehebatannya, mungkin Lockridge masih bisa dikenali dengan tangisannya di serial AS, Intervention. Bahkan, hingga kini wajah Lockridge menangis masih abadi menjadi meme ‘Best Cry Ever’.
ADVERTISEMENT