Aktivis: Faktor Ekonomi hingga Komunikasi Picu Maraknya KDRT di NTB

Konten Media Partner
10 Februari 2020 20:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan pada perempuan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan pada perempuan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Meningkatnya berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama yang dilakukan suami terhadap istri, di Kabupaten Dompu maupun di Nusa Tenggara Barat (NTB) secara umum, belakangan menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap kaum perempuan kini sangat menyoroti berbagai persoalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus KDRT yang sangat merugikan perempuan dalam beberapa waktu terakhir di NTB antara lain: seorang suami di Kecamatan Hu’u yang membakar istrinya hingga akhirnya sang suami meminum racun dan meninggal dunia; kasus perempuan dimutilasi di Kabupaten Sumbawa yang diduga pelakunya adalah sang suami, dan; kasus yang terbaru di Kabupaten Bima, seorang suami menganiaya sang istri yang tengah hamil hingga akhirnya meninggal dunia.
Aktivis perempuan dan anak Kabupaten Dompu, Siti Aisyah Ekawati mengakui perempuan cukup rentan terhadap berbagai tindak kekerasan oleh suaminya.
Padahal menurutnya banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Dia menyebutkan faktor ekonomi sebagai salah satu pemicu kekerasan itu.
“Banyak perempuan yang jadi tulang punggung ekonomi keluarga, sementara suami hanya main judi atau mabuk-mabukan,” ujarnya prihatin ketika, Senin (10/2).
Siti Aisyah Ekawati, aktivis perempuan Dompu. Foto: Doc Eka
Berdasarkan pengalamannya melakukan pendampingan korban KDRT di Pengadilan Agama Kabupaten Dompu, kata dia tidak adanya sikap tanggung jawab tersebut sering menjadi alasan para istri menggugat cerai suaminya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Direktris Yayasan Bina Cempe Dompu ini menilai, kemiskinan ekonomi tidak secara otomatis membuat pasangan suami istri akan bercerai. Menurut perempuan yang akrab disapa Eka ini, selama pihak suami menunjukkan sikap kasih sayang dan tanggung jawab terhadap keluarga maka mustahil seorang istri memilih jalan cerai.
“Saya kira jarang perempuan (istri, red) menuntut di luar kemampuan suami. Selama ia berjuang, bekerja dan memperhatikan kebutuhan rumah tangganya gak masalah,” ujarnya.
Selain itu, katanya, setiap pengambilan keputusan dalam rumah tangga seharusnya diambil secara bersama-sama.
“Jika seorang suami hendak beli motor misalnya, seharusnya dikomunikasikan terlebih dahulu ke istri. Nyatanya suami kadang mengambil keputusan sendiri sehingga memicu konflik dalam rumah tangga,” kata Eka mencontohkan.
ADVERTISEMENT
Ditambahkan, banyaknya kasus KDRT yang terungkap menunjukkan bahwa perempuan memang dalam posisi rentan. Lebih buruk lagi, kata Eka, jika tindakan kekerasan itu terjadi di hadapan anak-anak.
“Jarang pria yang mempertimbangkan hal ini bahwa anak-anak yang sering melihat kekerasan akan menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi anak-anak,” ujarnya.
Dia mengingatkan, anak-anak yang terbiasa melihat kekerasan berpotensi melakukan hal yang sama setelah mereka dewasa baik kekerasan dalam rumahnya maupun di tetangganya. Begitu pula, katanya, anak-anak tersebut juga akan mudah lari ke dalam narkoba.
Untuk melindungi perempuan korban KDRT, Eka mendesak agar pihak terkait memfasilitasi pengadaan ‘Rumah Aman’ yang akan menampung mereka dalam jangka waktu tertentu.
“Rumah Aman itu diperlukan agar perempuan bisa mendapatkan ketenangan usai kekerasan yang menimpanya, berpikir secara tenang, memikirkan kembali apa yang telah terjadi serta mengambil keputusan apa yang sebaiknya dilakukan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin