Antropolog NTB: Cadar Sebagai Alat Proteksi Sosial dan Agama

Konten Media Partner
22 Desember 2019 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bercadar. Foto: Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bercadar. Foto: Unplash
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Antropolog Universitas 45 Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), Alfi Syahrin menilai, tren pemakaian cadar di kalangan muslimah belakangan ini dapat dilihat sebagai ekspresi budaya sekaligus simbol kebangkitan agama.
ADVERTISEMENT
Menurutnya secara kultural, cadar dapat dipandang sebagai budaya yang diadopsi dari tradisi keislaman masyarakat di Timur-Tengah seperti ‘niqob’ di Afghanistan.
Dia menilai hal itu sebagai transformasi budaya yang wajar. Tetapi secara keagamaan cadar juga menjadi perdebatan di kalangan elit agama, apakah busana tersebut merupakan reaktualisasi ajaran agama atau sekadar mekanisme budaya untuk melindungi kaum perempuan dari diskriminasi dan tindakan pelecehan seksual oleh laki-laki.
”Dalam hal ini cadar adalah semacam alat proteksi sosial,” ujarnya ketika dihubungi via ponsel seluler, Minggu (22/12).
Antropolog NTB, Alfi Syahrin. Foto: Facebook Alfi Syahrin
Mengutip John Naisbitt, Antropolog asal Bima, NTB, ini menjelaskan, abad ke-20 merupakan periode kebangkitan agama di dunia akibat kekacauan politik, ekonomi dan budaya oleh ideologi kapitalisme global.
“Kekacauan tersebut mengakibatkan orang kehilangan jati diri dan mengalami alienasi (keterasingan, red). Dan kehilangan jati diri spiritual hanya dapat dijawab dengan agama sebagai rumah spiritual,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks di daerah Bima dan Dompu, kata dia, tren cadar juga dan kebangkitan agama yang didukung oleh antropologi masyarakatnya yang mungkin fanatik dengan agama.
“Apalagi di masa lalu, daerah ini pernah berada di bawah kesultanan Islam sehingga praktik keagamaan di kalangan istana menjadi referensi dalam perilaku sosial keagamaan di masyarakat,” terangnya.
Ilustrasi cadar. Foto: Unplash
Tetapi kandidat Doktor Antropologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini mengingatkan, fenomena cadar juga merupakan hasil dari komodifikasi ideologi kapitalisme yang memandang segalanya punya nilai jual.
”Dalam kapitalisme semua hal bisa dimodifikasi, termasuk tubuh. Bahkan menurut Antonio Sinot, tubuh punya nilai jual dan dengan modifikasi tubuh jadi punya nilai tambah," ujarnya terkekeh.
Cadar telah menjadi bagian dari perkembangan fesyen. Menurutnya, komodifikasi itu pula yang dapat menjelaskan mengapa pilihan corak dan model cadar juga mengikuti perkembangan dunia mode.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan adanya sebagian orang yang sebelumnya memakai cadar tapi kemudian melepasnya. Sebagi sebuah komodifikasi, kata dia, maka tren cadar mengikuti perkembangan mode dan selera pasar.
Ilustrasi pengguna cadar. Foto: Unplash
“Ada orang yang yang setelah pakai cadar merasa lebih modis tapi ada juga yang tidak. Nah yang terakhir ini akan memakai cadar karena konsistensi,” tambahnya lagi.
Dijelaskan, di abad modern boleh jadi cadar telah mengalami pergeseran fungsi, orientasi atau adaptasi sehingga mungkin ada orang yang memutuskan tak memakai cadar lagi karena merasa tak nyaman dalam relasi sosial dan berjarak dengan lingkungannya.
Mengutip Allport, Alfi menjelaskan ada dua cara beragama yakni secara intrinsik dan ekstrinsik. “Beragama secara intrinsik artinya memahami agama apa adanya dan tunduk sesuai perintah kitab suci, sedangkan secara ekstrinsik yakni menerjemahkan nilai dan norma agama sesuai dengan dinamika perkembangan zaman,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kelompok kedua ini, kata dia, menafsirkan agama sesuai dengan prinsip-prinsip modernitas seperti mereka yang tidak lagi memakai cadar lagi.
Cadar. Unplash
Dosen Fakultas Sosial Politik ini menilai, tak masalah dengan tren cadar. Hanya saja sikap dan perilaku harus tetap dijaga karena bagaimanapun cadar tetap memiliki pesan secara simbolik maupun praktis.
“Dan yang penting publik juga tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi atau pelecehan seksual terhadap mereka yang bercadar,” dia mengingatkan.
Dia juga menyoroti fenomena tumbuhnya pemakai cadar di kantong-kantong sosial dan lembaga pendidikan non-agama.
“Meski tak kuat secara institusi tapi secara gerakan mereka kuat. Meski begitu basis ideologis pemahaman mereka tentang cadar cenderung parsial dibandingkan anak-anak IAIN misalnya,” ungkapnya.
Hal itu, kata dia, yang menjelaskan mereka yang berasal dari lembaga pendidikan agama cenderung lebih moderat dari mereka yang berasal dari lembaga pendidikan umum.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin