Fenomena Mudik, Psikolog: Pengakuan dan Kenyamanan

Konten Media Partner
8 Juni 2019 7:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi fenomena mudik. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fenomena mudik. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Info Dompu - Fenomena mudik adalah peristiwa yang unik. Mudik tidak sekadar berdimensi ekonomi tapi juga melibatkan aspek budaya dan agama. Bagi umat muslim Indonesia, berkumpul dengan orangtua dan kerabat saat lebaran terutama hari raya Idul Fitri seolah merupakan keharusan.
ADVERTISEMENT
Mudik merupakan momentum untuk berbagi dan berbakti. Itulah sebabnya bagi mereka yang merantau khususnya akan berupaya keras untuk mudik meski dalam situasi bagaimana pun. Tidak sah lebarannya jika tidak mudik. Kendati harus melewati perjuangan berat, tapi segalanya seolah terbayar lunas saat berhasil bertemu orangtua dan kerabat.
Dahulu, mudik identik dengan pemandangan khas: macet puluhan jam di jalanan, pemudik sampai tidur di terminal dan stasiun menunggu waktu keberangkatan, antrian panjang berburu tiket, wajah lelah bermandi peluh berdesak-desakan di kereta, hingga pemudik yang terpaksa pulang kampung antar pulau dengan rombongan keluarga yang menggunakan motor, lengkap dengan barang bawaan.
Tapi kini relatif sudah tersedia banyak pilihan moda transportasi maupun perbaikan infrastruktur jalan, tol, pelabuhan serta tol laut sehingga mudik lebih lancar dan aman. Mudik selalu menyisakan cerita heroik dan penuh perjuangan. Mengapa orang harus mudik? Bagaimana menjelaskan fenomena ini.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan kenyamanan merupakan dua pendorong orang melakukan mudik. Pengakuan terutama berlaku bagi mereka yang merantau karena dianggap identik dengan kesuksesan, sedangkan kenyamanan terkait dengan memori masa kecil saat pemudik tinggal di kampung halaman. Demikian simpulan psikolog Anti Sumiati (40) ketika dihubungi melalui ponselnya, Selasa (4/6).
Psikolog, Anti Sumiati. Foto: Info Dompu
Untuk mendapatkan pengakuan itu, kata Anti, ada sebagian masyarakat tertentu yang rela hidup menderita di rantau asalkan bisa mudik dan menunjukkan kesuksesan kepada orangtua dan keluarga di kampung. Dia menyebutkan perantau dari suku tertentu yang kalau mudik mereka memakai perhiasan emas secara mencolok sebagai simbol kesuksesan di rantau.
“Padahal selama di rantau mereka mungkin makan dengan krupuk dan hidup seadanya,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu Anti menolak kalau mudik melulu dikaitkan untuk mendapatkan pengakuan. Sebaliknya, faktor utama mudik sebagai wujud pengabdian anak kepada orangtua serta memperoleh kenyamanan secara psikologis.
“Orang merasakan kenyamanan ketika kembali ke habitatnya, berkumpul dan bersilaturrahim. Memori masa kecil seolah terakumulasi kembali saat mudik,” terangnya.
Menurutnya tradisi mudik justru bermanfaat karena mengandung energi positif setelah capek bekerja dan stres.
“Ada sensasi yang dirasakan sehingga orang merasa fresh kembali setelah balik lagi ke tempat kerja,” ujar psikolog Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Dompu ini.
Ilustrasi Mudik. Foto: kumparan
Karena itu, kata dia, mudik tidak selalu identik dengan kekayaan dan kesuksesan. Pada sebagian orang, meski ekonomi mereka tidak banyak berubah tapi itu tidak menghalangi orang untuk mudik. Anti tidak menampik anggapan bahwa mudik juga bagian dari keinginan untuk berbakti kepada orangtua. Sebaliknya, oangtua juga tidak selalu berharap anak-anaknya membawa materi saat mudik karena yang penting adalah bisa bersilaturrahim.
ADVERTISEMENT
“Pada masyarakat Jawa khususnya, nilai-nilai pengabdian itu ditanamkan sejak kecil. Secara khusus nilai pengabdian itu sangat kuat ditanamkan kepada anak laki-laki sehingga mereka harus mudik sebagai lambang pengabdian tersebut,” ujarnya.
Nilai-nilai itu tidak sekadar ditanamkan tapi juga dicontohkan baik saat orangtua masih hidup maupun setelah tiada. Bahkan setelah orangtua meninggal pun pengabdian dilakukan dengan cara menziarahi kuburannya.
“Semua pengalaman dan kehangatan masa kecil itu di-recalling (dipanggil kembali, red.) saat mudik, sehingga secara otomatis otak akan merespon secara positif sehingga orang akan selalu terdorong untuk mudik. Apalagi melihat banyak sensasi mudik di TV akhirnya mendorong orang untuk mudik,” kata Anti.
Itu pula yang membuat mereka rela menabung bertahun-tahun asalkan bisa mudik. Dia menilai mudik merupakan hal positif secara psikologis.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat mudik bukan sekadar budaya tapi kebutuhan dasar. Ada sensasi dan energi positif saat kembali ke tempat kerja karena otak dire-install, “ pungkasnya.
-
Ilyas Yasin