KDRT di NTB: Rentan jadi Korban, Perempuan Sudah Semakin Kritis

Konten Media Partner
11 Februari 2020 9:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Pixabay
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Aktivis perempuan Dompu, Siti Aisyah Ekawati mengatakan banyaknya kasus KDRT yang terungkap menunjukkan bahwa perempuan memang dalam posisi rentan. Tetapi tingginya kasus yang dilaporkan ke pihak berwajib itu karena kesadaran kritis perempuan mulai tumbuh.
ADVERTISEMENT
“Perempuan juga mulai kritis dan menuntut hak-haknya. Jika sebelumnya, mereka cenderung diam dan pasrah menerima perlakuan buruk atas dirinya, kini tidak lagi,” ujar Eka.
Kesadaran kritis tersebut, menurut Eka, diperoleh melalui beberapa pertemuan kelompok atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang mengadvokasi hak-hak perempuan di masyarakat.
Sejak awal tahun 2019 terdapat 203 kasus perkara yang terdaftar di PA Dompu. Menurut Ketua Panitera Pengadilan Agama Dompu, Suharto (1/4/2019) angka perceraian itu terus naik dari tahun ke tahun. Angka perceraian yang tinggi di Dompu memang lebih banyak digugat oleh pihak istri, dengan perbandingannya 10 berbanding 2.
Menurutnya Eka, munculnya gugatan cerai menunjukkan ada pihak yang tercederai secara fisik maupun psikis sehingga mendorong mereka melakukan perlawanan. Jika perempuan terus tersakiti, kata dia, maka tentu akan memilih mundur, antara lain melalui perceraian.
ADVERTISEMENT
Untuk melindungi perempuan korban KDRT, Eka mendesak agar pihak terkait memfasilitasi pengadaan ‘Rumah Aman’ yang akan menampung mereka dalam jangka waktu tertentu.
“Rumah Aman itu diperlukan agar perempuan bisa mendapatkan ketenangan usai kekerasan yang menimpanya, berpikir secara tenang, memikirkan kembali apa yang tekah terjadi serta mengambil keputusan apa yang sebaiknya dilakukan,” ujarnya.
Ilustrasi. Pixabay
Menurutnya, Rumah Aman juga sekaligus untuk memutus siklus kekerasan sementara waktu. Sebab, kata dia, jika korban tetap kembali ke rumah maka siklus kekerasan akan tetap terulang. Dia berharap, akan lebih baik jika pemerintah desa menyediakan rumah aman tersebut tiap desa.
“Tapi sekarang kan, jangan kan desa di tingkat pemerintah kabupaten saja belum memiliki Rumah Aman,” sesalnya.
ADVERTISEMENT
Menjawab pertanyaan apakah Rumah Aman tidak berbenturan dengan budaya keagamaan masyarakat yang melarang istri meninggalkan rumah sebelum diceraikan suaminya, Eka menegaskan bahwa agama (Islam, red) pun melarang perbuatan zalim serta memerintahkan agar menghindar dari bahaya yang mengancam jiwa.
Jika kekerasan mengancam jiwa maka tidak ada alasan bagi istri untuk tidak menghindar dari tempat itu. “Larangan istri meninggalkan rumah seperti di zaman Nabi itu berlaku jika suami benar-benar menunaikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga,” ujarnya mengingatkan.
Eka menekankan pentingnya sikap saling menghormati, membantu dan mendukung dalam mewujudkan rumah tangga yang harmonis. Misalnya suami dapat membantu pekerjaan istrinya di dapur, dan sebaliknya istri pun dapat membantu pekerjaan suaminya di ladang atau sawah.
ADVERTISEMENT
“Rasulullah pun dalam sejarahnya biasa membantu pekerjaan istrinya. Jadi, intinya perlu keseimbangan,” pungkasnya.
-
Ilyas Yasin