Kekerasan Perempuan dan Anak di Dompu Tinggi, Penanganan Kasus Lemah

Konten Media Partner
23 Desember 2019 9:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan pada anak. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan pada anak. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Saat ini Kabupaten Dompu menempati angka tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari 8 Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat (NTB).
ADVERTISEMENT
Aktivis perempuan dan anak Kabupaten Dompu, Siti Aisyah Ekawati menyebut sudah tergolong ‘darurat perempuan dan anak’. Meski demikian, Direktris Yayasan Bina Cempe Kabupaten Dompu ini menilai, penanganan kasus perempuan dan anak masih lemah baik secara hukum, dukungan anggaran maupun komitmen tenaga pendamping.
Dia menyayangkan kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang seringkali berakhir dengan penyelesaian secara damai dan kekeluargaan.
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Foto: Unplash
Padahal menurutnya kedua kasus tersebut bersifat spesifik. “Seharusnya kedua kasus tersebut tidak boleh diselesaikan secara kekeluargaan tapi secara hukum karena tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku,” ujarnya ketika dihubungi via ponsel, Minggu (22/12).
Itu belum termasuk proses peradilan di pengadilan yang mengabaikan hak-hak anak seperti majelis hakim dilarang memakai jubah. Faktanya, kata dia, proses peradilan anak yang lolos dari pantauan lembaganya dilakukan kadang mengikuti peradilan orang dewasa, dan itu sangat disesalkan pihaknya.
ADVERTISEMENT
Dia menyoroti kasus yang terjadi di kelurahan Bali Kecamatan Dompu yang berujung damai antara keluarga pelaku dan korban. Padahal, kata dia, pelaku kedua kasus tersebut cenderung mengulang tindakan yang sama, meski pun sudah berpindah ke tempat tinggal yang baru. Karena itu, katanya, untuk memberikan efek jera maka penyelesaiannya harus secara hukum.
Siti Aisyah Ekawati, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Dompu. Foto: Facebook Eka Ybc
“Itu belum lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh korban di sekitar lingkungannya, sebab bagaimanapun efek traumatisnya berlangsung seumur hidup,” ujar Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Dompu ini.
Efek traumatis tersebut, katanya, akan mengganggu psikologis dan perkembangan korban baik saat berada di tengah lingkungan tempat tinggal maupun di sekolahnya.
Eka menyontohkan waktu lembaganya melakukan pendampingan terhadap korban di Kecamatan Hu’u. Di samping melakukan pendekatan kepada lingkungan tempat tinggal korban juga ke sekolah korban.
ADVERTISEMENT
“Harapannya warga tidak menyinggung kejadian yang pernah menimpa korban, Begitu pula di sekolah, kami minta agar korban tidak di-bully,” ujarnya.
Dari sisi dukungan anggaran di tingkat pemerintah daerah pun, kata Eka, juga sangat lemah. Dia mengeluhkan lemahnya dukungan dana dari Pemda untuk menangani berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Padahal untuk beberapa kasus serius pihaknya kadang harus merujuk penanganan korban ke Rumah Paramita LPA NTB.
“Untuk kasus pendarahan atau trauma akut kami terpaksa membawanya ke provinsi karena di sana tenaga maupun fasilitas penanganannya lebih lengkap,” ujarnya.
Siti Aisyah Ekawati, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Dompu. Foto: Facebook Eka Ybc
Di LPA NTB, kata dia, punya ruang khusus untuk penanganan korban. “Untuk biaya transportasi ke Provinsi saja kami kesulitan dana,” keluhnya. Di Dompu, kata dia, belum memiliki fasilitas Rumah Aman dan ruang khusus untuk menangani korban.
ADVERTISEMENT
“Bahkan di DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, red) sendiri baru punya satu psikolog,” ujarnya prihatin.
Sejauh ini, katanya, pihaknya tetap melakukan advokasi anggaran untuk penanganan kasus kekerasan tersebut.
Dengan kondisi tersebut, Eka menilai Dompu belum layak sebagai Kabupaten Layak Anak karena belum mampu memberikan rasa aman dan nyaman.
Dia menyampaikan rasa prihatin atas terjadinya kasus pencabulan anak di bawah umur oleh guru olahraga di sebuah sekolah di Dompu beberapa waktu lalu. Hal itu menurutnya disebabkan kurangnya kesadaran dan pekanya orang tua terhadap lingkungan sekitar yang membahayakan terutama anak-anak di bawah umur.
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Foto: Pixabay
“Sebab pelaku kekerasan anak selama ini adalah orang-orang terdekat yang dikenal baik oleh anak/korban sendiri yakni orang tua kandung atau tiri, saudara sendiri, tetangga, paman dan bahkan guru ngaji,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dia menilai, anak yang tinggal bersama nenek dan kakeknya juga sangat rentan mengalami tindak kekerasan
Di sisi lain komitmen tim pendamping yang terlibat dalam penanganan kasus perempuan dan anak juga masih lemah. Selama ini, kata dia, penanganan kasus oleh tenaga pendamping sekadar selesai begitu saja tanpa terlibat secara total.
“Selama ini pendampingan kasus perempuan dan anak tidak berkelanjutan. Jadi dibutuhkan totalitas, apalagi kasus-kasus yang ada tidak hanya sekitar wilayah kota Dompu tetapi terjadi di daerah yang jauh,” ujarnya.
Meski begitu, dia mengakui bahwa pendamping juga sering mendapatkan ancaman dari keluarga pelaku. Eka menceritakan, dirinya termasuk yang pernah mendapatkan ancaman dibunuh maupun dibuntuti oleh keluarga pelaku kekerasan pada 2002.
-
Ilyas Yasin
ADVERTISEMENT