Mengenal Kedai di Dompu, NTB yang Menjual Kopi Tradisional Tambora

Konten Media Partner
29 Oktober 2019 11:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kemasan produk kopi Tambora di kedai La Nisa. Foto: Instagram @lanisacoffee
zoom-in-whitePerbesar
Kemasan produk kopi Tambora di kedai La Nisa. Foto: Instagram @lanisacoffee
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Pasangan suami istri pemilik kedai kopi La Nisa di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), Anisa Nur Iman (31) dan Yani Aryanto (30) adalah pengusaha muda yang sepakat untuk menjual kopi-kopi khas Gunung Tambora dengan juga merawat nilai dan tradisi daerah.
ADVERTISEMENT
Di kedai ini, kopi-kopi Tambora diolah secara tradisional mulai dari proses penjemuran, penumbukan, hingga proses sangrai atau menggoreng. Semua dilakukan seperti kebiasaan masyarakat Dompu secara turun temurun, selama lebih dari seratus tahun.
Awalnya, Anisa dan Yani melihat kopi Tambora sebagai salah satu potensi daerah yang bisa bisa dikembangkan. Namun, sebenarnya pasangan ini memiliki alasan khusus yang mendasari dimulainya usaha kedai kopi ini. Seperti dikatakan Yani, dengan berjualan kopi lah mereka akan dapat membantu lebih banyak orang yang membutuhkan.
“Saya pikir untuk kegiatan sosial, untuk bantu-bantu orang yang sakit, anak-anak yang cacat itu ya kita harus punya income kan. Kita mencari ide yang akhirnya kita coba usaha kopi,” ungkap Yani, saat ditemui di kedainya pada Selasa (8/10).
Yani Aryanto bersama anak-anak yang membutuhkan. Foto: Instagram @lanisacoffee
Merintis usaha kopi untuk membantu lebih banyak orang menjadi kisah dibalik munculnya brand kopi lokal “La Nisa Coffee” pada tahun 2017. Dengan tekad yang besar mereka melakukan perjalanan ke perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora, gunung yang pernah ‘mengguncang’ dunia pada tahun 1815 untuk belajar mengenal cara pengolahan kopi Tambora pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
“Kita mulai melihat prosesnya kaya gimana, tahapannya apa saja. Di awali dengan membuat nama produknya, logonya apa. Pengen yang atraktif, yang punya value, menggambarkan ciri khas daerah itu sendiri,” lanjut Yani menceritakan awal terbentuknya brand kopi mereka.
Jika diperhatikan logo brand “La Nisa Coffee” sangat ikonik dengan kesan budaya Dompu yang tradisional. Terdapat wanita yang menggunakan rimpu, yaitu pakaian khas bagi wanita Dompu dari kain tenun, yang cara pemakaiannya menyerupai hijab atau burka.
Yani dan Anisa yang menggunakan rimpu saat menyeduh kopi Tambora bagi pengunjung acara Slow Food International di Turin, Italia pada 2018. Foto: Instagram @lanisacoffee
Selain logo, pemilihan nama brand pun menjadi pertimbangan bersama. Nama “La Nisa” diambil dari potongan nama sang istri, Anisa atau Nisa. Penyebutan “La” pun, kata Yani, itu sudah mewakili namanya. Jadi nama brand kopi mereka adalah gabungan dari nama keduanya.
ADVERTISEMENT
“Nama La Nisa dipilih itu karena kecintaan saya kepada istri saya. Itu privasi sih ya,” guyon Yani.
Baik logo maupun nama brand, seperti yang dijelaskan Yani, mereka ingin menuangkan tentang Dompu di sana. Di mana pakaian rimpu sangat menggambarkan kultur dan sejarah. Juga hubungan antara perempuan dan masyarakat yang begitu erat dengan agama islam.
Produk La Nisa Coffee. Foto: Instagram @lanisacoffee
“Di brand kopi ini menerapkan banyak value, begitu pula dengan metode tradisional dalam mengolah kopi. Kita bisa saja beli alat roasting tapi ini kan sudah jadi tradisi kita ratusan tahun,” jelas Yani.
Menurutnya, sebagai anak muda Dompu tentu harus merawat tradisi termasuk dalam mengolah kopi. Salah satu yang penting untuk dijaga dalam mempertahankan sisi tradisional kopi Tambora adalah proses roasting atau sangrai kopi.
ADVERTISEMENT
Proses sangarai atau menggoreng kopi Tambora menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Wajan diletakan di atas api dari kayu bakar. Kopi lalu digoreng dengan jarak tertentu antara api dan wajan. Proses memggoreng juga perlu dilakukan di tempat tertutup agar apinya stabil, tidak terganggu oleh angin.
Rasa kopi biasanya akan sangat ditentukan oleh proses roasting, kata Yani, hal inilah yang menjadi salah satu tantangan bagi kedainya dalam menyiapkan produk kopi lokal berkualitas dan diolah dengan cara tradisional.
Proses roasting kopi secara tradisional. Foto: Instagram @lanisacoffee
“Rasa kopi yang kita roasting pasti berbeda dengan yang modern roasting. Tapi ya kita sendiri lebih doyan dengan kopi yang di-roasting tradisional, ya kita belajar untuk me-roasting. Kita melihat proses roasting yang masyarakat Tambora lakukan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Roasting kopi secara tradisional, menurutnya, penuh tantangan. Dia bahkan pernah me-roasting atau menggoreng kopi sampai 3 jam, tetapi biji kopi tidak bisa matang. Padahal, kata dia, saat itu kulit biji kopinya sudah gosong. Hingga seiring berjalannya waktu, berkat ketekunannya memperhatikan proses roasting yang dilakukan masyarakat, terus-menerus akhirnya Yani menemukan jawaban.
“Saya tanya-tanya, saya melihat langsung prosesnya kaya gimana. Kayu yang digunakan apa saja, jarak wajan dengan api, jumlah kopi dalam wajan dalam sekali goreng sebanyak apa. Kuncinya belajar mengamati lagi,” terang Yani.
Yani melakukan roasting kopi untuk kedainya. Foto: Info Dompu
Kesulitan dalam me-roasting juga akan terjadi jika biji kopinya campuran. Ada biji kopi yang kadar airnya pas dan ada yang tidak, jika itu dicampur maka akan sulit untuk mendapat hasil roasting yang maksimal. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap rasa dan aroma.
ADVERTISEMENT
Yani menjelaskan, untuk menghasilkan roasting-an terbaik dengan cara tradisional, harus dilakukan di tempat yang menstabilkan api. Dan biji kopi yang akan di-roasting juga harus berasal dari buah kopi yang merah seperti merah buah ceri.
“Kopi campuran itu saya kembalikan ke petani, saya bilang, kasihkan saya biji merah. Petani bilang, oh mahal biji merah, saya bilang tidak apa-apa. Inikan membuat petani juga mendapatkan hasil panen yang maksimal dengan harga yang tinggi,” lanjutnya.
Buah kopi yang dipanen saat sudah merah akan lebih mudah di-roasting dan dapat menghasilkan rasa kopi nikmat. Meskipun, kata dia, petani harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dalam menunggu buah kopinya merah, tetapi akan menghasilkan biji kopi dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Yani Aryanto bersama buah kopi hasil panen yang berwarna seperti merah ceri. Foto: Instagram @lanisacoffee
Mengenai pelanggan kedai maupun produk "La Nisa Coffee", saat ini sangat bervariasi. Ada juga turis asing yang datang ke Dompu langsung mencari produk tradisional. Diungkapkan Yani, mereka juga sudah mengenalkan kopi yang di-roasting tradisional itu kepada pengunjung Pantai Lakey.
ADVERTISEMENT
Testing kopi bersama teman-teman di Pantai Lakey, juga ada teman-teman bule yang datang membeli kopi ke sini, mereka pasti membawakan juga untuk temannya di Lakey. Mereka suka dengan hasil roasting tradisional,” ujarnya.
Saat ini, kedai La Nisa sudah menemukan metode roasting tradisional yang cocok untuk mendapatkan rasa kopi yang pas, yaitu hasil roasting-nya yang medium. Menyinggung soal cara penyeduhan kopi yang di-roasting tradisional, menurut Yani tergantung selera masing-masing orang.
Kopi Tambora di kedai La Nisa. Foto: Instagram @lanisacoffee
“Soal penyeduhan, saya rasa orang punya selera yang berbeda-beda. Tapi untuk cara penyajiannya sama, tergantung lidahnya,” respon Yani.
Namun, secara khusus kedai kopi La Nisa hanya menyeduhkan kopi tubruk tradisional yang berpatokan dengan lidah petani kopi di lereng Tambora. Kopi tubruk ini bisa langsung diseruput di kedai yang terletak di samping pendopo Bupati Dompu, tepatnya di lantai 3 Hotel Anisa.
ADVERTISEMENT
Selama menjalankan usaha kopi tradisional Tambora, mereka juga bisa ke negara Italia. Perjuangan Anisa dan Yani dalam merawat kopi khas Gunung Tambora mengantarkan merka dalam acara Slow Food International di kota Turin, Italia pada tahun 2018.
Menurut Anisa, peserta yang hadir dalam acara tersebut berasal dari berbagai negara. Ada sekitar 150 negara yang membawa produk lokalnya masing-masing untuk diperkenalkan kepada pengunjung yang hadir. Mereka yang hadir dalam kegiatan tersebut setidaknya telah memperkenalkan kopi Tambora yang diolah secara tradisional kepada masyarakat dunia.
Yani Aryanto dan Anisa memperkenalkan kopi Tambora hingga ke Italia. Foto: Instagram @lanisacoffee
“Ada juga dari negara lain yang membawa produk kopi tapi satu-satunya kopi yang di-roasting tradisional itu dari Indonesia yaitu kopi Tambora,” tambah Anisa yang menemani suami saat ditemui Info Dompu.
ADVERTISEMENT
Lokasi kedai kopi La Nisa yang berada di jantung kota memiliki view yang cantik saat sore hari, apalagi letaknya di lantai 3. Maka meminum kopi tubruk yang diolah secara tradisional sambil menikmati tenggelamnya matahari adalah hal yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Dompu. Kedai ini juga menyediakan berbagai olahan makanan tradisional seperti roti Soro yang manis. Selamat menikmati!
-
Intan Putriani