Menuju Pilkada 2020, Aktor Politik Harus Ciptakan Ruang Sosial Sehat

Konten Media Partner
20 Januari 2020 9:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Untuk meredam panasnya situasi jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di NTB pada 2020 semua pihak diminta menciptakan ruang sosial yang sehat bagi tumbuhnya demokrasi, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
ADVERTISEMENT
Upaya penciptaan harmoni itu terutama harus dilakukan oleh para aktor politik itu sendiri, termasuk partai pengusung yang berkepentingan dalam politik Pilkada.
“Bagaimana pilihan diksi, narasi dan retorika yang dimainkan para akor politik harus menggambarkan kualitas diri bukan justru demagogi dengan menciptakan diksi primordial,” ujar Antropolog Politik, Alfi Syahrin ketika dihubungi via telepon selular, Rabu (15/1/20).
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Dia mengharapkan para aktor menciptakan komunikasi politik yang inklusif dan terhindar dari sentimen politik primordial.
Menurut kandidat Doktor Antropologi Politik Universitas Hasanuddin, Makassar ini, sebenarnya masyarakat bawah relatif mudah diajak untuk menciptakan harmoni dan kohesi sosial.
Tetapi kemudian mengasosiakan diri saat mereka termakan dengan argumentasi dan retorika kontestan yang tidak mendidik, menyebarkan kampanye hitam dan isu-isu tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
“Jika para calon menunjukkan kualitas diri, sikap patriotis dan kenegarawanan maka masyarakat akan menghadirkan sikap seperti dicontohkan para elit,” ujarnya.
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Selain para aktor politik, kata Alfi, harmoni juga dapat dimainkan oleh aktor informal seperti tokoh agama, tokoh pemuda, pimpinan perguruan tinggi dan kelompok kreatif pemuda. Mereka dapat menjadi simpul kekuatan dan demokrasi di masyarakat.
“Dengan sikap etis dan pesan-pesan sosial etik mereka akan menjadi penopang terciptanya demokrasi maupun situasi keamanan yang matang dan aspiratif,” terangnya.
Dia mengingatkan, demokrasi dan politik kini sudah terintegrasi dengan ruang publik. Meski begitu, katanya, di negara-negara modern harus tetap ada ruang yang otonom.
Ilustrasi. Pixabay
“Iya. Menurut Jurgen Habermas itu harus tetap ada ruang otonom yang terpisah dari negara maupun pasar dimana masyarakat punya akses untuk membentuk maupun mengubah opini dalam menggalakkan dialog. Dialog itu sebagai jalan kreatif untuk membangun rasionalitas dan sikap kritis publik,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 45 Mataram ini mengajak semua pihak untuk menjadikan ruang sosial sebagai arena kontestasi gagasan yang sehat.
“Cendekiawan dan akademisi sebagai kelompok menengah harus berperan menyebarkan informasi-informasi yang mencerdaskan,” harapnya.
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Dalam konteks Pilkada, dia mencontohkan, misalnya dengan kampanye yang objektif, menonjolkan gagasan, strategi pemetaan masalah sosial di daerah dan menghindari isu hoaks, provokatif, kampanye hitam serta menyudutkan pasangan lain.
Di tengah massifnya penggunaan media sosial, Alfi berharap kelompok menengah juga dapat menghadirkan informasi yang kritis dan mencerahkan.
“Sayangnya hanya segelintir orang yang mau menghadirkan informasi yang kritis dan menyehatkan nalar publik. Kebanyakan sih status sederhana tentang keseharian, gaya hidup dan sejenisnya. Dan itu tidak mendidik rasionalitas,” sesalnya.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin