Nakes di Dompu, NTB Keluhkan Rendahnya Kepatuhan Mahasiswa Soal Bahaya Corona

Konten Media Partner
5 April 2020 8:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Puskesmas Dompu Timur. Foto: Doc Mala
zoom-in-whitePerbesar
Puskesmas Dompu Timur. Foto: Doc Mala
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Banyaknya perantau yang pulang kampung karena wabah Virus Corona (COVID-19) menimbulkan persoalan baru dalam penanganannya, terutama bagi tenaga kesehatan (Nakes) di daerah-daerah.
ADVERTISEMENT
Gelombang kepulangan para TKI/TKW dan mahasiswa membuat penanganan wabah global ini tidak lagi menjadi persoalan di kota-kota besar tapi juga bergeser hingga ke desa-desa. Di Kabupaten Dompu, NTB, para perantau rata-rata didominasi mahasiswa.
Sejak 2 pekan terakhir, gelombang kepulangan mahasiswa terus berlangsung, apalagi menyusul tindakan 'local lock down' dari sejumlah daerah. Para mahasiswa berasal dari beberapa daerah tujuan studi seperti Mataram, Makassar, Malang, Yogyakarta dan Jakarta.
Meski sudah diberikan edukasi dan sosialisasi, tapi banyak warga termasuk dari kalangan mahasiswa yang tidak mematuhi anjuran petugas untuk melakukan karantina mandiri maupun social distancing untuk mencegah wabah virus tersebut.
Mala dan staf Puskesmas Dompu Timur saat pembagian hand sanitizer gratis kepada masyarakat. Foto: Doc Mala
Nurkomalasari (36), pegawai Bagian Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Dompu Timur, Kabupaten Dompu, menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada warga soal bahaya virus corona, khususnya kepada warga yang memiliki anak yang sedang kuliah dan akan pulang.
ADVERTISEMENT
“Target kami memang pada keluarga yang punya anak kuliah dan akan pulang. Kami mengutamakan tindakan preventif dan promotif sebelum mereka melakukan kontak fisik dengan keluarganya setelah tiba di rumah,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis (2/4).
Dijelaskan, setelah mendata warga yang pulang pihaknya melakukan pendekatan dan memberikan edukasi kepada keluarganya mengenai langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika anak-anak mereka tiba di rumah. Sayangnya, kata dia, justru banyak kalangan mahasiswa yang tidak mematuhi prosedur medis yang ditetapkan. Berdasarkan pengalamannya, warga biasa justru lebih patuh terhadap prosedur yang disarankan pihaknya.
“Iya, warga yang awam terkesan lebih patuh untuk menjalankan apa-apa yang disampaikan petugas dibandingkan beberapa kalangan mahasiswa,” ujarnya kecewa.
Puskesmas Dompu Timur.
Dia menyesalkan rendahnya kepatuhan itu, padahal sebagai orang yang terdidik mahasiswa seharusnya lebih mampu menunjukkan kepatuhannya. Apalagi, kata dia, rata-rata mahasiswa adalah anak-anak yang akrab dengan media sosial.
ADVERTISEMENT
“Sudah tentu mereka lebih banyak terpapar informasi mengenai bahaya COVID-19 ketimbang warga biasa yang (maaf) buta huruf,” ujarnya.
Menurut Mala, panggilan akrabnya, tindakan pencegahan jauh lebih penting daripada mengobati. “Sebab kalau sudah melakukan kontak fisik maka itu rentan terhadap penyebaran dan penularan virus kepada anggota keluarga dan orang lain,” terangnya.
Sebab karakter virus ini, kata dia, ia akan bergerak jika manusia bergerak atau ia akan diam jika orang diam. Itulah sebabnya, kata dia, mengapa warga yang memiliki riwayat melakukan perjalanan dari luar daerah, apalagi dari kota yang tergolong zona merah, dianjurkan melakukan pemeriksaan kesehatan maupun karantina secara mandiri selama 14 di rumah.
Tujuannya adalah mencegah virus tersebut berkembang dan memudahkan pemeriksaan kesehatan bagi yang bersangkutan. Jika dinyatakan negatif setelah dilakukan pemeriksaan medis selama masa karantina tersebut barulah diperbolehkan keluar rumah.
Ilustrasi. Pixabay
“Cuma ya itu masalahnya. Meski sudah tahu tapi banyak teman-teman mahasiswa yang melanggar. Baru sehari saja di kamar merasa bosan kemudian keluyuran kemana-mana,” sesalnya.
ADVERTISEMENT
Mala lantas menceritakan pengalaman bertemu dengan beberapa mahasiswa yang berstatus ODP (Orang Dalam Pengawasan) di wilayah kerjanya. Meski sudah jelas menunjukkan gejala batuk pilek tapi begitu tiba di rumah melakukan kontak fisik dengan keluarga dan tetaggannya seperti bersalaman dan berpelukan. Padahal belum diperbolehkan.
“Tapi ada pula warga yang sudah pulang 26 hari dan menunjukkan gejala batuk, pilek dan mata merah tapi sengaja tidak mau melapor. Alasannya takut dikucilkan oleh warga lain,” ujarnya menyontohkan.
Dia juga menolak ungkapan bahwa tenaga medis berada di garda terdepan dalam penanganan COVID-19. Menurutnya, justru wargalah yang menjadi terdepan dalam penanganan virus ini, sedangkan tenaga medis berada di barisan berikutnya.
“Kami tetap berharap tindakan pencegahan tetap lebih diutamakan daripada mengobati. Biarlah dokter dan perawat itu langkah terakhir yang menangani pasien virus ini,” harapnya.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin