Pemuda Asal Kilo Bersama 2 Kawannya Jadi Pelopor Pertanian Modern di Dompu, NTB

Konten Media Partner
5 Juni 2020 14:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hidroponik organik yang dilakukan pemuda asal Kilo di Dompu, NTB. Foto: Ardyan/Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Hidroponik organik yang dilakukan pemuda asal Kilo di Dompu, NTB. Foto: Ardyan/Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Harus diakui membangun dengan inovasi butuh kegilaan dan keberanian. Hal inilah yang lakukan oleh Muhammad Tamrin (24) alias Rhey bersama 2 orang kawannya Muhammad Ramadhan (25) dan Ardian Nur (23). Ketiganya, mampu mempelopori pertanian modern, hidroponik organik di Desa Malaju Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB).
ADVERTISEMENT
Metode bercocok tanam menggunakan air dan unsur hara tetes tanpa media tanah ini pertama kalinya muncul di kampung halaman ketiganya. Dengan bermodalkan ilmu dan pengalaman saat ikut pelatihan yang digelar Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika Gadjah Mada (KAFEGAMA) Cabang NTB di Mataram.
Ketiga sekawan ini, berhasil melakukan pembibitan (penyemaian), peremajaan hingga tiga kali panen komoditi sayuran jenis Sawi Pok Choy (Brassica Rapa Group Chinensis), Sawi Hijau (Brassica Rapa cv. Group Caisin), Sawi Putih (Brassica Rapa Group Pekinensis) dan Selada (Lactuca Sativa).
Muhammad Tamrin alian Rhey. Foto: Ardyan/Info Dompu
Menariknya, mesti berada di lahan sempit tak terpakai di belakang rumah. Wujud keuletan, ketiga mantan aktivis Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) ini, kini menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi warga sekitar dan kaum muda yang berkunjung untuk swafoto. Bahkan, menarik perhatian petani tradisional desa.
ADVERTISEMENT
“Pada Ramadhan kemarin, pengunjungnya padat dan sangat ramai setiap sore menjelang berbuka,” ungkap Muhammad Tamrin kepada Info Dompu, Kamis (4/6).
Dikatakannya, untuk menuju kesuksesan tersebut, bukanlah hal yang mudah bak membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang dihadapi karena mereka berada dalam lingkungan pelosok desa yang kehidupan sosial masyarakatnya tradisional dan minim pemahaman pada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
“Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah pemahaman masyarakat. Bahkan, sering kami dihardik dan dianggap gila karena bertani bercocok tanam dengan pipa. Ditambah lagi kami bertiga berasal dari Sarjana Keguruan bukan Sarjana Pertanian. Benar-benar sdm dan pribadi kami di remehkan,” cetusnya.
Ardyan/Info Dompu
Menurut pria yang lulus kuliah tahun 2019 ini, pandangan ini menjadi cambuk untuk memotivasi dirinya bersama dua orang temannya untuk benar-benar membuktikan hasil jerih payahnya.
ADVERTISEMENT
“Untuk melawan stigma dan cemoohan itu, kami belajar dan memahami sejarah bangsa ini besar karena sektor pertanian," ujar Rhey.
Sektor pertanian itu, menurut Rhey, tidak mutlak membutuhkan SDM yang terampil dan butuh kaum revolusioner. Juga tidak tergantung pada ilmu sarjana saja, namun membutuhkan orang yang haus berpikir, berkarya, bekerja tanpa ada kepentingan dan tidak mempertuhankan jabatan atau label ilmu pengetahuan semata.
“Bahkan memilih jalan yang sunyi, sehingga berani mengambil resiko dan dikucilkan ketika idenya diyakini mampu membuat karya besar dan dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Inilah prinsip kami,” sambungnya.
Tentunya, lanjut Rhey, di era saat ini orang yang bersikap seperti kami dianggap orang ‘gila’.
Ardyan/Info Dompu
“Pada intinya, kami ingin mewujudkan mimpi dan harapan masa depan dengan mengintegrasikan pengalaman selama berorganisasi waktu kuliah serta pengalaman pribadi orang tua kami yang selama ini menghidupkan kami,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk membuktikannya, Mantan Ketua Mapala Universita Muhammadiyah Mataram ini menceritakan dirinya tidak bergantung pada siapa pun bahkan rela menjual semua hasil ternak bebek yang dimilikinya untuk modal awalnya.
“Modal awal kami senilai Rp 3 juta dan kini berkembang menjadi Rp 6 juta. Semuanya dari hasil urunan dan modal pribadi,” ujarnya.
Dengan modal tersebut, ketiganya berhasil membeli berbagai alat dan perlengkapan seperti pipa, pompa air, rock wall, hingga bibit sayuran.
“Karena jauh dari jangkauan perkotaan dan harga barang yang sangat mahal. Semuanya kami datangkan dari luar kota alias belanja online,” jelas anak petani bawang merah ini.
Karena kegiatannya ini Rhey dan kawan-kawannya serta masyarakat sekitar sudah bisa menikmati sayuran segar yang bisa dikatakan berlabel ekspor. Dalam kurun waktu sebulan sayuran mereka mulai dilirik para pengusaha rumah makan di Kabupaten Dompu hingga Kecamatan Sanggar, Bima.
Ardyan/Info Dompu
“Saat ini kami baru berhasil memproduksi sekitar 500 lubang media sayuran. Target, kami ke depan penambahan media dengan skala industri,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, lanjutnya, masyarakat sekitar yang awalnya hanya bergantung dengan sayuran yang dibawah pengecer dari Cabang Banggo, Kecamatan Manggelewa, Kabupaten Dompu.
“Setiap pagi ibu-ibu dan perempuan-perempuan muda berkunjung dan membeli produk sayuran kami,” akunnya.
Untuk mengembangkan usaha bersama tersebut, Rhey dan kawan-kawannya telah membagi tugas. Ardian Nur sebagai di bagian marketing, Muh Ramadhan sebagai pengelola media promosi, sedangkan Rhey sendiri sebagai pengelola kebun.
“Kami sangat yakin usaha ini akan membuahkan hasil yang sepadan dengan jerih payah kami. Untuk itu, harapan ke depannya lewat usaha ini kami bisa merbuka lapangan kerja baru buat para pemuda dan sarjana-sarjana muda lainnya. Serta membuka mata bagi pemerintah agar mendukung dan memajukan sektor pertanian,” tukasnya.
Ardyan/Info Dompu
Disinggung soal omset, Rhey mengaku belum bicara soal untung atau rugi. Sementara ia dan kawan-kawannya akan terus melakukan eksperimen dengan bibit-bibit sayuran lain yang nilai ekonomis dan produktivitasnya tinggi.
ADVERTISEMENT
"Kalau sekedar untuk beli bibit, buat belanja sehari-hari dan untuk pengganti listrik sudah tercukupi,” selorohnya.
Pada kesempatan tersebut, ia pun sedikit mengungkapkan mimpi besarnya ingin menjadi petani yang memiliki omset pulutan juta setiap bulan.
“Selain bercocok tanam, kami pun ingin mengembangkan budidaya ikan air tawar dan kambing etawa memanfaatkan pekarangan lahan kosong yang tak produktif,” pungkasnya.
-
Ardyan