Soal Corona, Antropolog: Agama Harusnya Lahirkan Tertib Sosial

Konten Media Partner
29 Maret 2020 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Unplash
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Jumlah korban Virus Corona yang meningkat cepat di Indonesia membuat pemerintah bergerak cepat melakukan berbagai langkah antisipasi sejak dari himbauan hingga larangan keluar rumah bagi warga untuk menangkal penyebaran virus mematikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di daerah-daerah yang sudah tergolong parah terpapar, pemerintah bahkan melakukan razia terhadap warga di jalan atau yang masih mendatangi tempat-tempat keramaian. Sayangnya, larangan untuk berkumpul tersebut tetap dilanggar oleh sebagian warga, termasuk melakukan ibadah maupun acara-acara keagamaan karena alasan keimanan.
Pengamat politik dari Universitas 45 Mataram, Alfi Syahrin menyatakan antara domain iman dan sains sebenarnya saling melengkapi. Dalam Islam, terdapat hal-hal wajib yang memang dilakukan dan dipatuhi.
“Tapi hebatnya atau uniknya ajaran Islam ini bersifat kontekstual. Ada ‘illat atau halangan hukum yang membuat kewajiban-kewajiban yang bersifat fardu ‘ain menjadi bisa dilakukan dengan kelonggaran yang disebut rukhsah (keringanan). Salat Jumat misalnya, yang tadinya wajib tetapi karena adanya wabah diperbolehkan tidak dilakukan jika dikhawatirkan terpapar wabah, ” ujarnya ketika dihubungi via telepon selular, Senin (23/3).
Alfi Sahrin, Antropolog. Doc Alfi Sahrin
Kandidat Doktor Antropologi Politik Universitas Hasanuddin, Makassar ini menyatakan seharusnnya ada linearitas antara akal sehat dengan dogma-dogma agama yang juga menghargai posisi akal. Islam juga, kata dia, sangat menghargai dimensi-dimensi kemanusiaan dibandingkan dimensi normatif keagamaan.
ADVERTISEMENT
“Jadi pertimbangan mudharat yang ditimbulkan lebih diutamakan ketimbang alasan normatif keagamaan,” paparnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 45 Mataram ini menyatakan, dibandingkan di negara-negara maju, penghargaan terhadap otoritas keilmuan lebih rendah di Indonesia.
“Di Indonesia penghargaan terhadap otoritas keagamaan lebih tinggi daripada otoritas keilmuan. Jadi, jika peradaban sosial kita sekarang seolah berjalan mundur, itu disebabkan keterbatasan pengetahuan, informasi, dan sains belum menjadi patokan dalam budaya dan perilaku,” terangnya.
Karena itu, katanya, orang seolah belum percaya sebelum mendapatkan mukjizat bahwa corona itu membahayakan kehidupan manusia. Akibatnya, himbauan pemerintah atau ulama cenderung diabaikan karena mereka belum membuktikannya secara empiris. Sehingga otoritas kesehatan dan pemerintah ini seolah belum punya power untuk menciptakan tertib sosial dan perilaku di masyarakat.
Ilustrasi. Pixabay
Menurutnya berbagai informasi tentang bahaya virus corona dari pemerintah, dokter dan praktisi kesehatan sebenarnya sudah cukup bagi masyarakat. Tetapi Alfin melihat ada kelompok tertentu yang mencoba membenturkan gagasan-gagasan sains dengan agama. Itu yang kemudian membuat orang mengabaikan peringatan dan himbauan dari otoritas kesehatan yang ada. Kelompok tersebut juga memanfaatkan momentum untuk menunjukkan eksistensi diri sehingga seolah-olah otoritas resmi tidak mewakili seluruh aspirasi dan pengetahuan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Padahal orang-orang di MUI (Majelis Ulama Indonesia, red) tentu memiliki kapasitas, kredibilitas pengetahuan yang cukup maupun otoritas untuk mengatur kehidupan beragama. Begitu pula pemerintah dan Kementerian Kesehatan yang memang bertugas mengatur kehidupan secara makro,” ujarnya.
Itu disebabkan pemahaman keagamaan yang ortodoks sehingga tidak mampu memahami agama secara kontekstual. Alfin meramalkan, apakah perkembangan sains akan dihambat oleh dogma keagamaan yang ortodoks itu sangat ditentukan oleh komposisi penduduk di masyarakat.
“Akan terjadi tarik-menarik antara kepercayaan kepada sains dan agama. Jika kehidupan masyarakat didominasi oleh pemahaman keagamaan yang bersifat ortodoks maka sudah pasti akan menghambat perkembangan sains yang bersifat rasional,” ramalnya.
Tetapi jika secara komposisi demografi keberpihakan kepada sains itu lebih besar maka orang lebih mempercayai informasi yang disampaikan saintis daripada berdasarkan pemahaman agama.
Ilustrasi. Pixabay
Sebaliknya, jika agama lebih dominan tentu akan memperlemah perkembangan dan inovasi sains sebagai cara memahami realitas sosial dengan kacamata dan perspektif rasionalitas. Alfin menyesalkan adanya adu kuat antara saintis dan agamawan. Seharusnya, kata dia, dalam mengatasi masalah penyakit informasi keagamaan lebih memberikan informasi yang menenangkan dan menciptakan harmoni sosial.
ADVERTISEMENT
“Bukan malah sebaliknya, sains ini seolah-olah dipandang memperlemah pemahaman dan praktik beragama. Itu cara pandang yang dapat membahayakan eksistensi sains dan masa depan bangsa,” ungkapnya.
Sebab apapun yang menjadi temuan dan rekomendasi sains, jika komposisi penduduk lebih banyak yang menolaknya sudah tentu akan menghambat laju perkembangan sains ke depan.
“Sebab kalau pun ada temuan sains pasti akan selalu digugat atas nama pemahaman agama yang tidak kontekstual,” ujarnya.
Di Indonesia, secara demografis, otoritas sains ini kecil sekali. Sebaliknya masyarakat lebih dominan belum terdidik secara sains. Menurutnya, paradigma berpikir mereka lebih banyak dibentuk oleh dogma-dogma agama yang cenderung tradisional sehingga perkembangan sains akan terus dibenturkan dengan agama.
Ilustrasi. Unplash
Dia mengingatkan, dalam sejarah ilmu pengetahuan perbenturan agama atau gereja dan sains bukan hal baru. Dominasi agamawan membuat frustasi saintis sehingga kemudian orang menghukum agama sebagai penghambat sains.
ADVERTISEMENT
Alfin membandingkan bahwa di negara-negara maju sains itu justru membentuk tertib sosial dan kepatuhan kepada otoritas. Seharusnya di Indonesia sains dan agama berjalan sinergi. Pandangan-pandangan agama seharusnya mendapatkan dukungan agama.
“Apalagi di Indonesia ini mayoritas muslim yang meletakkan agama sebagai sumber nilai tertinggi,” ujarnya.
Relasi sains dan agama dalam Islam justru membantu membenarkan dogma-dogma agama. Alfin juga tidak menampik kemungkinan pengaruh arus informasi virtual, termasuk media sosial, sehingga turut mempengaruhi kepercayaan terhadap orotitas resmi tersebut. Arus informasi tersebut menyebabkan orang mencari pembanding atas suatu isu.
“Itu mempengaruhi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah maupun ulama,” pungkasnya.
-
Ilyas Yasin