Curhat Relawan Pejuang Corona: dari Tahan Lapar hingga Buang Air Kecil

Konten Media Partner
4 Juni 2020 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewi S Kurnia saat berada di ruangan ICU bersama teman-temannya.
zoom-in-whitePerbesar
Dewi S Kurnia saat berada di ruangan ICU bersama teman-temannya.
ADVERTISEMENT
PALANGKA RAYA- Kisah tentang relawan COVId-19 seolah tidak ada hentinya beredar dikalangan publik. Mulai dari tenaga medis, sopir ambulance, penggali kubur dan lain sebagainya, semuanya memiliki kisah tersendiri. Ada sukacita dan ada pula dukacitanya.
ADVERTISEMENT
Kali ini suka duka menjadi relawan COVID-19 datang dari Dewi S Kurnia(27), anak petani karet asal Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Putri bungsu dari Saritina dan Paimin Utario ini sejak Maret 2020 membaktikan dirinya di Rumah Sakit Pertamina Jaya, Jakarta.
“Saya aslinya dari Desa Jaweten, Barito Timur, Kalimantan Tengah mas. Saat ini bertugas di RS Pertamina Jaya Jakarta sebagai salah satu relawan COVID-19,” ujar wanita yang akrab disapa Ria saat dihubungi awak media, Kamis(4/6).
Dorongan untuk menjadi relawan COVID-19 bukan semata karena wanita lulusan STIKES Cahaya Bangsa Banjarmasin ini menyandang status perawat, tetapi lebih karena mimpinya mau menyelamatkan hidup banyak orang serta harapan ibunya sebelum meninggal.
“Jadi relawan COVID-19 itu kemauan saya sendiri mas mau mengabdikan diri untuk orang banyak. Ibu saya juga selalu pesan jika ada kesempatan untuk membantu orang lain jangan sia-siakan. Karena itu berkah,” kisah wanita kelahiran 1994 ini.
Dewi S. Kurnia mengenakan APD saat berada di ruangan ICU.
Selama kurang lebih 3 bulan menjadi relawan COVID-19 di ruangan ICU, wanita muda yang saat ini sudah hidup tanpa ibu dan jauh dari ayah ini mengurungkan niatnya terhadap rasa takut terpapar dari Corona.
ADVERTISEMENT
“Untuk takut terpapar sih tidak. Karena itu memang sudah resiko. Saya selalu ingat akan mama (almarhum) yang selalu bilang melayani sesama harus siap apapun resikonya membuat saya akhirnya kuat. Bersyukur sampai saat ini saya masih tidak terpapar Corona,” ujar Ria sedikit sedih.
Penangan pasien Corona yang datang dengan banyak keluhan serta karakter berbeda-beda, Ria diajarkan untuk bersabar serta semaksimal mungkin melayani seiap pasien yang ditanganinya. Ada
“Kalau di ruang ICU itu kebanyakan pasiennya sudah dalam kondisi setengah sadar dan juga tidak sadar sama sekali. Ada satu dua pasien yang kondisinya sadar biasanya suka berontak dan teriak-teriak tidak terima kalau dirinya positif Corona. Makanya kalau menangani mereka butuh kerja ekstra dan kesabaran,” kisah Ria.
ADVERTISEMENT
Bekerja dengan mengenakan Alat Pelindung Diri(APD) lengkap membuat Ria bersama teman-temannya tidak bisa bergerak bebas dan harus mengikuti aturan yang berlaku.” Pakai APD itu panas mas. Kami juga kadang harus tahan lapar, haus dan buang air kecil ketika masih menggunakan APD dan berada diruang perawatan,” terangnya.
Selain itu, Ria bersama teman-temannya harus dikarantina di Hotel serta tidak bisa bertemu dengan keluarga dan sahabat kenalan. “Sudah tiga bulan mas tidak pernah kembali ke kontrakan. Ya mau gimana sih sudah memilih jadi pelayan,” ujarnya.
Meskipun demikian, sisi positif yang bisa diperoleh selama kurang lebih 3 bulan menangani pasien Corona ialah adanya penambahan pengetahuan serta kemampuan untuk menangani pasien yang selama ini tidak diperoleh di dunia kampus.
ADVERTISEMENT
“Positifnya sih skill saya bertambah. Ada banyak pengetahuan baru yang tidak saya dapatkan selama kuliah akhirnya saya dapatkan selama menjadi relawan COVID-19,” ceritanya optimis.
“Satu kegembiraan atau kebanggaan saya selama rawat pasien positif COVID-19 ialah kalau mereka sembuh. Itu bangga sekali,” tambahnya.
Bekal dan pengetahuannya inilah yang akan menjadi modal utama bagi Ria untuk merawat dan melayani pasien di tanah kelahirannya Kalimantan Tengah kelak. “Untuk sekarang masih cari pengalaman dan juga mau belajar dulu di Jakarta. Pasti suatu saat saya akan kembali menjadi tenaga medis di Kalteng,” ujarnya optimis.
Dibalik motivasinya yang kuat ingin melayani sesama, Dewi S Kurnia ternyata seorang pekerja keras dan terlahir dari keluarga sederhana di pelosok Kalimantan Tengah. Ia hidup hanya bersama ibu dan saudaranya. Ayahnya sudah lama berpisah dari mereka.
Dewi S. Kurnia bersama rekan-rekannya saat menangani pasien positif Corona.
“Kalau soal kehidupan masih kecil saya sudah terbiasa nyadap karet sama ibu. Kebutuhan hidup dan biaya pendidikan saya sangat tergantung dari hasil karet,” kenangnya sedih.
ADVERTISEMENT
“Mungkin anak yang lain kalau sudah gadis dan kuliah pulang libur bisa berlibur kemana saja, tetapi saya sejak kecil sampai kuliah kalau libur pasti pulang kampung bantu ibu nyadap karet,” tambahnya.
Kisahnya, jika kondisi ekonomi sangat terpuruk karena harga karet yang tidak menentu, biaya pendidikan Ria kadang diambil dari pinjaman rentenir dan bank. “Ini semua dilakukan Ibu agar agar saya bisa sekolah tinggi dan bisa berbakti untuk sesama,” tuturnya.
Himpitan ekonomi keluarga tidak membuat Ria patah semangat. Dukungan ibu dan kakaknya membuatnya terus berupaya agar bisa meraih pendidikan yang setara dengan anak seusianya yang memiliki kemapanan ekonomi.
“Sekolah saya SD dan SMP di Kampung saja. Setelah itu SMA dan kuliah baru ke Banjarmasin. Usai dari STIKES di Banjarmasin saya ambil Ners di Jakarta,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perjuangan sang Ibu untuk menjadikan Ria berpendidikan tinggi tidak hanya berpeluh keringat dan darah, tetapi hingga titik darah penghabisan. Keinginan Ria untuk mengikutsertakan sang Ibu dalam wisuda profesi Ners di Universitas Esa Unggul Jakarta Barat ternyata gagal. Ibunya meninggal dua bulan sebelum Ria menyandang gelar Ners.
“Ibu meninggal bulan Agustus 2018, sementara saya wisuda buan Oktober 2018. Saya sangat terpukul sekali,” ujar wanita yang merantau seorang diri ke Jakarta ini.