Mengurai Polemik Transportasi Publik

Insan Ridho Chairuasni
Pekerja Transportasi. Lulusan MSc Transport Planning and Engineering di Newcastle University, Inggris.
Konten dari Pengguna
9 Mei 2020 14:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insan Ridho Chairuasni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rangkaian Kereta KRL Commuterline Relasi Jatinegara - Bogor (Foto: flickr.com/dolanansepur)
zoom-in-whitePerbesar
Rangkaian Kereta KRL Commuterline Relasi Jatinegara - Bogor (Foto: flickr.com/dolanansepur)
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi COVID-19, transportasi publik menjadi perkara yang menakutkan bagi khalayak. Tiga faktor penting dalam penyebaran virus terdapat hampir di setiap moda transportasi publik: ruang tertutup, padat manusia, dan jarak sempit. Walaupun demikian, tidak sedikit masyarakat yang masih bergantung pada transportasi publik. Alasan inilah yang memicu silang pendapat dari banyak pihak termasuk pemerintah dalam menangani transportasi publik.
ADVERTISEMENT
Perseteruan Daerah-Pusat
Terkait transportasi publik, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat terlihat sulit bersepakat dalam pengelolaannya pada periode pandemi COVID-19. Kedua pihak ini nyaris selalu berbeda pandangan soal penanganan terbaik terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. KRL Commuterline adalah salah satu moda transportasi publik yang mengundang perseteruan kebijakan antar-pejabat pemerintah tersebut.
Sebagian besar pemimpin Pemerintah Daerah percaya transportasi publik ikut berkontribusi dalam penyebaran virus. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, adalah salah satu pejabat Pemerintah Daerah yang paling tekun dalam upaya menutup operasi transportasi publik terutama KRL Commuterline. Melalui uji Polymerase Chain Reaction (PCR) yang didukung oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat, 6 orang terindikasi positif COVID-19 dari 600 orang yang diperiksa saat menggunakan KRL Commuterline. Hasil uji ini seakan menggambarkan betapa berbahayanya KRL Commuterline dalam penyebaran COVID-19. Kebijakan penutupan transportasi ini pun didukung dengan sejumlah pejabat di Provinsi Jawa Barat yang mengamini usulan kebijakan mantan Walikota Bandung tersebut termasuk Walikota Bogor yang sempat terpapar virus COVID-19, Bima Arya.
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, suara-suara para pembesar di Pemerintah Pusat cenderung ingin terus mempertahankan transportasi publik untuk beroperasi normal. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, belum lama mengumumkan bahwa transportasi publik akan kembali normal bersyarat mulai 7 Mei 2020. Sebelumnya, Luhut Binsar Panjaitan, Plt. Menteri Perhubungan kala Budi Karya Sumadi masih dirawat, pun tidak ingin KRL Commuterline dihentikan secara total. Dua menteri ini bisa merepresentasikan Pemerintah Pusat yang enggan menghentikan bahkan mengurangi operasi moda transportasi berbasis kereta listrik ini. Presiden Joko Widodo pun berpendapat bahwa Pemerintah Daerah tidak bisa menghentikan operasi tanpa memikirkan tingginya kebutuhan pengguna Commuterline dari daerah Jawa Barat.
Alih-alih menguntungkan, perdebatan antar-pemerintah ini tidak menghasilkan buah yang manis bagi pengguna KRL Commuterline. Sebagian pengguna transportasi massal berbasis rel ini pun bingung terhadap tarik-ulur kebijakan transportasi. Yang dibutuhkan para pengguna KRL Commuterline adalah kepastian kebijakan yang bisa mengendalikan krisis pandemi dan ekonomi secara simultan. Mereka yang tak punya banyak pilihan selain menggunakan jaringan kereta yang beroperasi sejak 1925 ini harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan transportasi publik. Jalan tengah harus disepakati baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Dilema Operator Transportasi
Pihak-pihak yang juga dirundung kegusaran pada situasi pandemi adalah operator transportasi publik. Mereka dihadapkan pada dilema pengelolaan transportasi: membuka atau menutup operasi. Dibandingkan dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, operator transportasi publik jelas lebih memahami terkait operasi dan penumpang mereka. Namun, realita berbicara berbeda.
Salah satu alasan operator transportasi publik sulit mengambil keputusan operasional adalah kepemilikan modal. Nyaris tidak ada jaringan transportasi publik perkotaan dengan skala besar yang dipegang selain oleh Pemerintah Pusat atau Daerah. KRL Commuterline dioperasikan oleh PT. Kereta Commmuter Indonesia (KCI) yang juga dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Cerita yang hampir sama juga terjadi di Transjakarta yang dikelola oleh PT. Transportasi Jakarta yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Maka, tak aneh bila operator transportasi publik begitu berpihak pada pemilik modal (baca:pemerintah) walau mereka tahu persis bagaimana transportasi publik seharusnya dijalankan pada masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Dampaknya, kebijakan-kebijakan terkait transportasi publik banyak disetir oleh pemerintah. Operator transportasi publik milik negara, seperti PT. KCI, tak punya banyak pilihan selain mengikuti kehendak Pemerintah Pusat. Dukungan Pemerintah Pusat dalam hal subsidi dan kepemilikan aset bisa saja dicabut bila kebijakan internal PT. KCI tidak sejalan dengan Pemerintah Pusat. Dengan berkurangnya jumlah penumpang secara signifikan, pemasukan operator transportasi harus bergantung penuh pada dukungan pemerintah. Ini menjadi alasan penguat operator transportasi publik tidak bisa banyak bertingkah pada pemerintah.
Atas kondisi memprihatinkan tersebut, pemerintah perlu lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait transportasi publik. Operator transportasi publik bisa saja ikut musnah akibat pandemi ini tanpa bantuan pemerintah. Pemerintah harus menggelontorkan bantuan, seperti dana darurat dan dana operasional tambahan, untuk mengantisipasi keruntuhan operator transportasi publik. Upaya ini tentu tidak boleh dengan niat meningkatkan pengaruh pemerintah terhadap operator transportasi publik. Kepentingan pelayanan publik harus menjadi motivasi utama.
ADVERTISEMENT
---
Kegaduhan pengelolaan transportasi publik tidak perlu terjadi andai semua pihak bisa menghindari selisih paham. Transportasi publik ibarat pisau dapur yang sama-sama bisa memotong daging sapi dan bisa mencelakakan tangan sendiri. Segala hal yang berhubungan dengan kepentingan publik selalu berpotensi memunculkan polemik jika tidak ditangani secara cerdik.