Trah Kiai dan Budaya Paternalisme Politik di Madura

Syarifuddin
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2020 18:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi https://www.voa-islam.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi https://www.voa-islam.com
ADVERTISEMENT
Madura merupakan salah satu pulau dimana masyarakatnya memiliki tradisi kultur dan keislaman yang sangat kuat, bahkan bisa dibilang fanatik. Karenanya hampir seluruh penduduk asli Madura merupakan penganut agama islam yang kuat. Sulit ditemukan penduduk atau masyarakat asli Madura yang beragama lain, selain agama islam, karena islam menjadi ciri dan identitas tersediri bagi masyarakat Madura.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap islam memiliki dampak yang begitu besar terhadap sikap dan perilaku masyarakat Madura dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi dan kultur masyarakat Madura ada salah satu individu maupun kelompok elite yang memiliki peran sangat signifikan dalam menentukan sikap dan perilaku sosial masyarakat. Kelompok atau individu tersebut adalah Kiai atau orang Madura menyebutnya keaeh.
Kiai merupakan sosok yang dianggap sebagai orang yang alim dan memiliki wawasan keagamaan yang luas serta memiliki sikap dan prilaku yang baik sebagai teladan umat. Bagi masyarakat Madura Kiai merupakan elite utama yang dijadikan sebagai tempat mengadu dan meminta pertimbangan atas berbagai peroalan hidup yang mereka alami.
Hal tersebut menjadikan sosok Kiai sebagai posisi sentral dalam segala aspek kehidupan masyarakat Madura. Hubungan antara kiai dan masyarakat sebagaimana digambarkan diatas dikenal dengan hubungan paternalisme, hubungan dimana antara pemimpin dan yang dipimpin seperti hubungan ayah dan anak.
ADVERTISEMENT
Peran Kiai dalam Menentukan Pemimpin dan Kebijakan Daerah
Dalam kancah politik praktis kiai juga memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan seringkali masyarakat melabuhkan pilihan politiknya sesuai dengan apa yang dititahkan oleh kiai ataupun tokoh masyarakat setempat. Bukti kekuatan politik kiai di Madura adalah KH. R. Fuad Amin Imron di Bangkalan, dimana trah kiai Fuad Amin, mulai dari anak sampai saudaranya (Bupati yang sekarang) mampu memimpin bangkalan dari periode 2003 sampai saat ini.
Begitupun dibeberapa periode Pemilihan Bupati di tiga kabupaten lainnya juga masih kental dengan trah kiai. Di kabupaten sampang kurang lebih sama, Bupati Sampang periode 2013-2018 juga dipimpin oleh trah kiai, yaitu KH. Fannan Hasib. Di Kabupaten Pamekasan, Ra Badrut Tamam yang memimpin Kabupaten Pamekasan saat ini juga masih keturunan kiai. Sementara di Kabupaten Sumenep juga demikian, trah kiai juga mengalir dalam diri Bupati KH. A Busyro Karim yang telah memimpin Kabupaten Sumenep dari periode 2010 sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Gambaran diatas merupakan nama-nama bupati keturunan kiai yang sukses dalam pencalonannya sebagai pejabat publik. Selain itu kiai juga memiliki peranan yang sangat besar terhadap salah satu calon yang mereka pilih di pemilihan umum. Makanya tak heran jika kita sering mendengar para calon kepala daerah yang mengklaim sudah mendapatkan restu dari mayoritas kiai, hal itu sebagai upaya untuk memuluskan langkahnya menduduki posisi bupati.
Budaya Patrnalisme masih merajalela di pulau Madura, dimana kiai dianggap sebagai seorang yang harus diikuti dan dihormati. Dalam hal pilihan politikpun begitu, masyarakat seakan takut kualat jika berbeda pilihan dengan para kiai. Pengaruh kiai sangat besar dan melampaui batas pegaruh intitusi-institusi pemerintahan lainnya. Kiai juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hal kebijakan pembangunan daerah. Tanpa ada restu dari kiai, maka progam dan kebijakan daerah tidak akan berjalan mulus. Seperti yang terjadi pada kasus Waduk Nipah dan Jembatan Suramadu.
ADVERTISEMENT
Trah Kiai dalam Pilkada Sumenep
Sumenep menjadi salah satu peserta pilkada serentak tahun ini, beberapa minggu yang lalu Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumenep sudah mengumunkan nama-nama pasangan calon yang akan bersaing di pilkada tahun ini. Ada dua calon yang akan bersaing dalam pilkada Kabupaten Sumenep, yaitu pasanngan Achmad Fauzi dan Hj. Dewi Khalifah yang diusung oleh PDIP, PAN, Gerindra, PKS dan PBB serta pasangan RB. Fattah Jasin dan KH. Moh Ali Fikri yang diusung oleh PKB, PPP, Demokrat, NasDem, dan Hanura.
Kedua pasangan calon tersebut sama-sama duet Eksekutif-Ulama, artinya dari masing-masing paslon sama-sama memiliki trah atau keturunan kiai dan ulama. Di kubu paslon pertama ada Nyai Eva yang merupakan ketua PC Muslimat NU Sumenep sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Terate. Sementara di kubu paslon kedua, Kiai Ali Fikri sebagai wakil RB. Fattah Jasin merupakan Kiai muda kharismatik dan Pengasuh Pondok Besar Annuqoyah.
ADVERTISEMENT
Kedua pasangan calon bupati Kabupaten Sumenep pada pilkada tahun ini sama-sama memiliki massa dan pendukung yang berimbang, keduanya memiliki modal dan kekuatan yang sama-sama kuat, baik dari jalur birokrat maupun jalur kiai dan ulama yang berpengaruh. Melihat realitas dan kondisi perpolitikan di Kabupaten Sumenep menunjukan bahwa masyarakat masih sangat bergantung pada titah dan petuah kiai, hal ini terbukti dari proses pemilihan dan penentuan calon bupati di sumenep tidak lepas dari restu dan dukungan dari para Kiai dan Ulama.
Bagi masyarakat Madura tunduk dan patuh kepada kiai merupakan barokah tersendiri bagi mereka, sehingga seringkali mereka tidak berani berlawanan dan berbeda pendapat maupun pilihan dengan para kiai, karena bagi mereka segala ucapan dan perbuatan kiai dianggap suatu kebenaran.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada yang meyakini, jika melawan dan berbeda pendapat dengan kiai bisa mendatangkan kuwalat dan hidup tidak akan berkah. Dinamika politik dan pemilihan umum di Madura sejalan dengan keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap kiai, artinya suara dan pilihan mereka akan sesuai dengan apa yang menjadi pilihan kiai dan ulama tokoh masyarakat yang mereka percayai.