Timnas Inggris, Stadion Wembley, dan Bayang-bayang Corona

Muhammad Iqbal Awaludien
Berbagi informasi dan gagasan. Semoga suka, semoga menginspirasi.
Konten dari Pengguna
10 Juli 2021 10:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Awaludien tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dimungkiri bahwa Timnas Inggris merupakan tim nasional yang nyaris selalu ditunggu kiprahnya. Namun, tidak bisa disangkal pula kalau kesebelasan ini tidak pernah berprestasi sampai puncak di gelaran Piala Eropa.
Sumber image: telegraph.co.uk
Prestasi terjauh Inggris adalah dua kali semifinal. Pertama, di Piala Eropa 1968, dan kedua, pada Piala Eropa 1966 saat menjadi tuan rumah. Hingga akhirnya rekor buruk itu berhasil dipatahkan: The Three Lions mencapai final setelah mengempaskan Denmark di semifinal (2-1) Piala Eropa 2020.
ADVERTISEMENT
Harapan publik Inggris melambung. Nyanyian “football coming home” menemukan relevansinya kembali. Menunggu lebih dari setengah abad untuk sebuah gelar tentu bukan waktu yang sebentar bagi sebuah bangsa yang melahirkan sepakbola. Bahkan, mungkin bisa dianggap memalukan.
Karena sejak meraih trofi World Cup 1966, Inggris tidak pernah lagi merasakan nikmatnya gelar juara. Jadi tak mengherankan bila final Piala Eropa 2020 kali ini begitu spesial sehingga “football coming home” disuarakan tidak hanya lewat chant, melainkan juga memenuhui timeline hingga komentar di media sosial.
Wembley, Antara Berkah dan Kutukan
Tahun 1966, hampir 90 ribu penggemar Inggris yang memenuhi Wembley bersorak girang saat tendangan keras Geoff Hurst mengenai tiang gawang atas Jerman, mental ke bawah, dan tidak ada seorang pun tahu apakah bola sudah melewati garis atau belum. Begitu juga wasit Gottfried Dienst yang memimpin pertandingan.
ADVERTISEMENT
Namun, para pemain Inggris mengangkat tangan, seisi stadion bergemuruh. Wasit yang bingung kemudian mendatangi hakim garis. Singkatnya, mereka mensahkannya menjadi gol. Gol yang kontroversial tentu saja, apalagi karena gol itulah Inggris berhasil menjadi kampiun World Cup 1966 di Wembley.
Sumber image: Talksport.com
Sampai sekarang, peristiwa tersebut dikenang, meminjam istilahnya Sindhunata dalam buku Air Mata Bola (2002), sebagai “teka-teki Wembley” sekaligus menandai rivalitas antara Inggris dan Jerman. Publik Inggris tidak mau tahu dan memilih menutup telinga terkait komentar miring yang muncul sesudahnya di kurun itu. Helmut Schoen, salah satu pemain Jemarn yang protes keras pada wasit berkomentar sinis, “Kita dikalahkan dengan skor 2-2”, dianggap sebagai angin lalu oleh suporter Inggris.
Berkaca dari peristiwa bersejarah tersebut, Inggris pasti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan langka saat final Euro 2020 akan dihelat di tempat yang sama: Stadion Wembley. Lawannya kini adalah Italia, tim yang terkenal liat dan punya mental juara. Tidak mudah memang, tapi faktor Wembley bisa menjadi faktor X.
ADVERTISEMENT
Terry Venables pernah menyatakan, bahwa Inggris punya pemain bernomor punggung tiga belas. Nomor dua belas adalah para supporter di tribun, sementara yang ke-13 yakni "Roh Kemenangan Wembley" berdasarkan kemenangan mereka di Piala Dunia 1966.
Pernyataan setengah mistis itu kiranya perlu diuji lebih lanjut. Pasalnya, di Wembley jugalah mereka pernah sial. Tanyakan hal ini pada sang pelatih Gareth Southgate muda, saat ia masih berseragam Inggris setengah abad lalu.
Kala itu tendangan penalti Southgate berhasil ditepis Andreas Kopke, kiper Jerman, pada babak adu penalti di Semifinal Euro 1996. Akibatnya, Inggris teriliminasi di rumah sendiri. Southgate remuk karena membebankan kegagalan Inggris semata kesalahannya. Terry Venables, sang Pelatih, Tony Adam, sang Kapten bahkan Juergen Klinsmann, sang Rival, berusaha menenangkannya.
Sumber image: footballreporting.com
Ia terkenal di seantero negeri. Bukan sebagai pahlawan, melainkan biang kerok kekalahan Inggris dari musuh bebuyutan, Jerman. Dan itu terjadi di Wembley, saat semua fans Inggris berharap pada petuah "Roh Kemenangan Wembley" atau "Roh Piala Dunia 1966”. Nahas, di sana Inggris justru dikutuk hanya sampai semifinal.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Piala Eropa edisi ke-16 ini bolehlah dikatakan sebagai penebusan manis untuk publik Inggris dari pelatih kelahiran Watford itu. Kini, Southgate bisa menepuk dada, membanggakan diri, bahwa sepanjang keikutsertaan Inggris di Piala Eropa, baru dialah yang berhasil membawa skuad Inggris ke partai puncak. Namun, apakah itu sudah cukup? Oh, belum! Karena football coming home tidak sah disenandungkan oleh seorang runner up.
Dalam Bayang-bayang Corona
Berbeda dengan Copa America 2021 yang berlangsung tanpa kehadiran suporter, Piala Eropa 2020 diberikan kelonggaran bagi penonton untuk datang ke stadium. Meski dengan pembatasan, jumlah fans yang datang nyaris penuh sesak dan sebagian besar tanpa menggunakan masker. Hal ini tentu saja ironis, mengingat Eropa belum terbebas dari pandemi tidak terkecuali Inggris.
ADVERTISEMENT
Data Public Health England yang dilansir CNN menyebut, Inggris mengalami kasus COVID-19 tertinggi sejak Januari, yakni 17.989 kasus pada hari Kamis (30 Juni 2021) dengan tingkat kenaikan hingga 74%.
Sumber image: Aljazeera.com
Walau tidak menyebut detail apakah peningkatan kasus ini banyak menimpa suporter ataukah bukan, tapi tidak dapat disangkal bahwa kedatangan para penonton ke stadion dan kerumunan suporter, dapat memunculkan bahaya baru berupa gelombang 3 Covid-19.
Terlebih, final akan diadakan di Wembley yang sejak semifinal selalu penuh sesak oleh penonton. Jumlahnya fantastis, seakan Euro 2020 berlangsung tidak berada di tengah pandemi. Seperti dilansir uefa.com, pertandingan semifinal antara Italia dan Spanyol dihadiri 57,811 penonton sedangkan semifinal antara Inggris dan Denmark jauh lebih banyak. Tidak kurang dari 64,950 berada di tribun.
ADVERTISEMENT
Sudah bisa ditebak, jumlah penonton bakal lebih banyak lagi di Wembley mengingat "tim tuan rumah" yang akan bertanding. Belum lagi fans kedua tim yang berada di luar stadion hingga bar-bar beserta euforia yang terjadi seusai pertandingan. Ini bisa saja menjadi bom waktu bagi Inggris sehingga membuat Rencana PM Boris Johnson untuk mengakhiri lockdown dengan pencabutan aturan social distancing, wajib masker, serta mengakhiri imbauan bekerja dari rumah (WFH) yang akan diberlakukan 19 Juli 2021 nanti, berakhir berantakan.
Inggris, oh, Wembley. Betapa ironis: Di satu sisi dapat menjadi saksi sejarah bersejarah untuk kejayaan perdana Inggris di pentas Piala Eropa, di sisi lain kemungkinan besar sebagai pemicu gelombang baru Covid-19 di benua biru. Namun, kita nikmati saja bagaimana Harry Kane dkk berjuang mewujudkan trofi pertama menghadapi Ciro Immobile cs yang tak kalah haus gelar pada Senin, 12 Juli 2021 waktu setempat.
ADVERTISEMENT