KEADILAN HARUS DITEGAKKAN TAPI KEBAIKAN DAN MEMAAFKAN JAUH LEBIH MEMBAHAGIAKAN

Konten dari Pengguna
28 April 2018 21:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irfan AmaLee tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Karena putrinya menjadi korban kekerasan, seorang ayah aktif memperjuangkan peningkatan hukuman bagi pelaku tindak kriminal. Dia getol mengorganisir masyarakat untuk berdemo, kampanye publik, melobi dewan, dan advokasi kebijakan. Selama lebih dari sepuluh tahun dia berjuang menegakkan keadilan. Hingga akhirnya perjuangannya membuahkan hasil. Dewan mengetuk palu mengesahkan peningkatan hukuman bagi pelaku kriminal.
ADVERTISEMENT
Namun, sesuatu tak diduga terjadi. Selama sepuluh tahun berikutnya, akibat undang-undang itu, orang yang dipenjarakan meningkat dratis. Semakin banyak keluarga yang kehilangan kepala keluarga karena dipenjarakan. Anggaran penjara meningkat tajam. Biaya sosial pun tak kalah tinggi, makin banyak masalah sosial yang ditimbulkan oleh anak-anak yang ayahanya dipenjara.
Cerita yang sama juga terjadi di negara bagian yang lain, seorang ayah yang anaknya menjadi korban kekerasan. Namun alih-alih dia memperjuangakan keadilan hukum, dia lebih memilih dengan menggerakkan masyarakat bagaimana menangani akar permasalahan kriminal. Dia mengajak masyarakat untuk memperkuat ikatan sosial agar kriminal tak terjadi. Bahkan dia melakukan rekonsiliasi antara korban dan pelaku.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, angka kriminal menurun, ikatan sosial membaik, dan anggaran belanja pemerintah untuk sektor hukum dan pemenjaraan menurun drastis.
ADVERTISEMENT
Dua kisah di atas saya baca dari salah satu buku Malcolm Gladwell (saya lupa judulnya). Melalui perbandingan dua kisah di dua negara bagian di Amerika di atas, dengan data dan angka yang detail, Malcolm ingin memperlihatkan pendekatan hukum tak selalu efektif.
Dalam acara Restorative Justice yang diadakan Kerjasama Australia dan Indonesia kemarin di Perpustakaan Nasional saya belajar hal baru yang menguatkan temuan Malcolm Gladwell. Di Indonesia, hukum kita sangat bernafsu untuk MENGHUKUM dengan MEMENJARAKAN orang. Dalam KUHP kita, hampir semua tindak pidana hukumannya adalah kurungan alias penjara dari yang hitungannya bulan hingga seumur hidup. Alasannya, katanya penjara bisa memberikan EFEK JERA. Benarkan demikian?
Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah orang yang dipenjarakan meningkat tajam. Ada sekitar 240 ribu orang dipenjara saat ini. Padahal kapasitas penjara kita hanya 120 ribu. Artinya orang yang dipenjara dua kali lipat dari kapasitas penjara yang ada. Negara mengeluarkan 5 triliun untuk membangun penjara baru, serta 1 triliun setiap tahun untuk memberi makan para narapidana. Uang itu cukup untuk membangun ratusan sekolah dan membiayai 22000 siswa dalam program kartu pintar. Belum lagi biaya sosial yang harus ditanggung keluarga para narapidana. Ada puluhan ribu keluarga yang kehilangan ayah atau tulang punggung keluarga. Belum lagi stigma "orang jahat" yang akan ditanggung narapidana dan keluarga pasca keluar penjara.
ADVERTISEMENT
Angka orang masuk penjara diperkirakan akan meningkat menyusul makin banyak rancangan undang-undang yang baru disahkan atau yang sedang antri di DPR untuk disahkan. Seperti UU IT yang bisa menjerat orang yang menyebar kebencian di internet, undang-undang susila, dan sederet undang-undang lain. Dewan kita memang produktif melahirkan Undang-undang, masyarakat pun begitu bernafsu membuat peraturan yang ujungnya memberi hukuman pada yang melanggar.
Berbeda dengan negara-negara Skandinavia dan Austraslia mereka sudah lama menerapkan pendekatan baru. Mereka mulai menerapkan restorative justice dan community based correction. Pendekatan berbeda terhadap orang yang berbuat salah. Mereka sadar bahwa tidak semua orang yang berbuat salah adalah orang jahat. Karena itu hukum ditegakkan bukan untuk MENGHUKUM tapi untuk memperbaiki (restorative). Hakim bisa memberikan hukuman berupa rehabilitasi, kerja sosial, denda, tahanan rumah atau tahanan kota. Tak heran jika jika kita mendengar ada penjara yang tutup di negara eropa karena tak ada penghuninya.
ADVERTISEMENT
Sejumlah upaya sudah mulai diperjuangkan oleh pegiat hukum Indonesia untuk menerapkan restoratvie justice di Indonesia. Tapi tak mudah. Menurut direktur Center for Detention Studies (CDS) salah satu tantangan terbesar adalah dari budaya dan cara berpikir masyarakat. Banyak yang mengadukan delik hukum ke pengadilan merasa belum puas dan tidak afdhol kalau orang yang dituntutnya tidak masuk penjara. Tidak dihukum kalau belum dipenjara, katanya.
Al-Quran mengajarkan menegakkan keadilan, kita boleh membalas dengan balasan yang setimpal dan tidak berlebihan. Tetapi Allah memuji orang yang melampaui keadilan, yaitu dengan melakukan kebaikan dan memaafkan. Islam sering disalahfamai oleh orang luar Islam dan oleh orang Islam sendiri, sebagai agama berorientasi hukum (nomos oriented) padahal sebetulnya hanya kurang dari 1/3 ayat Quran bicara tentang hukum. Sebagian besar bicara tentnag hikmah dan cinta melalui kisah. Jadi sebetulnya Islam lebih eros oriented (fokus pada kasih sayang dan cinta).
ADVERTISEMENT
Saya pernah ditanya seorang rekan bule yang heran, "Mengapa orang Indonesia senang menghukum?" Pertanyaan itu muncul ketika dia mengamati dalam pendidikan, pelatihan, permainan, kalau ada yang melakukan kesalahan selalu dihukum seperti harus nyanyi. Saya tidak tahu jawabannya. Tapi mungkin kita merasa puas ketika melihat seseorang dihukum.
Kemudian saya teringat juga sebuah cerita dari Gobind Vashdev tentang bagaimana satu suku di Indonesia timur mempelakukan pemuda yang mencuri ayam. Untuk menghukum pemuda itu, kepala suku memimpin sebuah upacara. Warga berdiri melingkar mengelilingi si pemuda. Lalu satu persatu secara bergiliran warga menghampiri si pemuda. Setiap warga menceritakan semua kebaikan yang pernah dilakukan si pemuda. Setelah selesai bercerita, setiap warga memberikan seekor ayam kepada si pemuda. Jika ada 50 warga, maka si pemuda itu akan mendapatkan 50 cerita kebaikan dirinya yang mengingatkan dia bahwa warga mengenal dia sebagai orang baik dan masih mengingat kebaikannya. Tak ada satu warga pun yang menyebut dia maling ayam. Si pemuda akan pulang membawa citra baik tentang dirinya dan lima puluh ekor ayam untuk memulai hidup barunya.
ADVERTISEMENT
@irfanamalee