Menjadi Jurnalis Tidak Dibangun dalam Semalam

Irish Tamzil
“Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan,” Pramoedya.
Konten dari Pengguna
12 November 2018 17:26 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irish Tamzil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bersama Jokowi's Angel - Irish Tamzil
zoom-in-whitePerbesar
Bersama Jokowi's Angel - Irish Tamzil
ADVERTISEMENT
Cita-cita saya dulu berubah-ubah. Ingin jadi pramugari, sejarawan, arkeolog, dan akhirnya ingin menjadi jurnalis.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, di antara pilihan cita-cita itu, jurnalis yang dapat mewakili semuanya. Tidak sesederhana itu juga alasannya. Menjadi jurnalis harus mempunyai wawasan yang luas, tidak hanya kabar paling terkini, tetapi juga mengetahui kejadian-kejadian lampau.
Jurnalis bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya berpikir seorang jurnalis harus memiliki bekal pengetahuan yang baik. Modal pengetahuan dan kecakapan yang dilatih terus-menerus itu yang kemudian disampaikan kepada khalayak.
Saya mengambil jurusan Digital Journalism di Binus University. Kebetulan di kampus saya, tidak ada Pers Mahasiswa.
Kalau tidak salah, UKM yang berkaitan dengan jurusan saya itu, hanya radio. Di tahun kedua kuliah, saya coba bergabung sebagai reporter di radio itu.
Dalam pikiran saya adalah “Ini benar-benar bekal buat nanti setelah lulus, gue belajar gimana jadi reporter,”.
ADVERTISEMENT
Jujur, saat itu berharap dan punya ekspektasi tinggi, kalau diterima jadi reporter di sana, pasti saya bisa dan tahu jadi reporter yang baik.
Nyatanya apa? Dua kali, berarti dua tahun saya ditolak jadi reporter di sana. Tahap pertama sih lulus-lulus aja. Di tahun pertama, saya tidak lolos di tahap kedua. Di tahun kedua, saya lolos sampai tahap trainee saja.
Kecewa pasti. Sampai mikir, kalau saya itu gagal jadi reporter, tidak pantas jadi jurnalis. Padahal waktu itu, saya sudah bangga mau membuktikan ke orang tua, kalau anak perempuan semata wayangnya ini, serius mau jadi jurnalis.
Pada saat kegagalan yang bikin kecil hati itu. Papa saya bilang:
“Steven Spielberg juga tiga kali ditolak sama sekolah penyutradaraan yang dia impikan. Sampai satu ketika setelah sukses, dia diminta jadi pembicara di tempat di mana ia pernah ditolak karena gagal dalam seleksi tes masuk”.
ADVERTISEMENT
Waktu itu sih, saya tidak langsung berpikir akan sukses seperti Spielberg. Hanya menganggap Papa sedang berusaha menghibur anaknya.
Bahkan, saya sampai tanya ke teman kuliah saya yang bisa meramal. “Gue bisa enggak sih jadi reporter, masuk dunia jurnalis gitu? Menurut penglihatan lu gimana?”
Seiring berjalannya waktu, saya ikut seminar-seminar jurnalistik. Selain untuk menambah poin sebagai syarat kelulusan, saya berusaha menjadi mahasiswa yang lebih baik, belajar, dan terus membaca.
Saya diterima magang di sebuah stasiun televisi, di mana teman-teman saya juga banyak yang tidak lolos ke sana.
Setelah magang, saya diterima dalam kompetisi pencarian 90 jurnalis muda berbakat dari tiga kota di Indonesia. Di kompetisi itu, saya diajarkan menulis berita yang baik, mengolah berita sampai layak tayang, dan cara membawa berita yang baik.
ADVERTISEMENT
Tentu, lulus dari sana bukan berarti saya sudah hebat. Itu semua tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat, tetapi dengan terus menerus.
Ingat, Rome wasn’t built in a day.
Saya menjalankan kompetisi itu dibarengi dengan skripsi. Capek, kurang tidur, dan makan jadi tak teratur.
Harapan saya saat akan lulus begini, “Saya ingin lulus, lulus dari S1 Komunikasi, dan saya meneruskan perjalanan cita-cita saya sebagai jurnalis”.
Setelah dua bulan lulus, saya mulai sudah mengadu nasib mencari pekerjaan. Lalu, saya memiliki dua pilihan tempat kerja. Salah satunya kumparan. Saat harus memilih, saya meminta masukan dari jurnalis senior.
“Kalau mau mempelajari jurnalistik, ya kumparan,”
Saat itu juga, saya menjawab email HRD bahwa saya mau bergabung bersama kumparan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, saya memulai awal karier menjadi reporter di kumparan.
Di kumparan, saya belajar untuk bergerak cepat, dan tepat. Bukan hanya sekadar cepat tapi juga kredibel. Tidak hanya kuantitas berita, tetapi kualitas. Belajar memberikan ide dan gagasan.
Selalu dekat dengan narasumber, baik dari pedagang, tukang ojek, sampai kalangan elite. Belajar membuat karya jurnalistik yang baik, bagaimana pun keadaannya.
Belajar, memperbaiki, dan memperbaiki.
Cita-cita saya sejak kecil ini menjadi kenyataan. Bahkan lebih dari kenyataan, sebab kumparan ingin menjunjung tinggi jurnalistik dengan mewajibkan para wartawannya untuk ikut Uji Kompetensi Wartawan. Kami semua lulus ujian.
ADVERTISEMENT
Setelah saya mengalami berkali-kali penolakan menjadi reporter, dan dianggap tak memenuhi kualifikasi. Kini, saya sudah 100 persen wartawan.