Konten dari Pengguna

Pendekatan Restoratif dan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
5 September 2024 8:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Pendekatan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak memerlukan perhatian khusus. Anak-anak, sebagai individu yang belum sepenuhnya dewasa secara emosional dan psikologis, seringkali terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum karena berbagai faktor, seperti lingkungan yang kurang mendukung, ketidaktahuan, atau pengaruh negatif dari pihak lain. Oleh karena itu, sistem peradilan yang menghukum tanpa mempertimbangkan perkembangan dan masa depan anak dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) hadir dengan semangat untuk mengedepankan pendekatan restoratif dan diversi sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan hukum yang melibatkan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pendekatan Restoratif: Menyembuhkan, Bukan Menghukum
Pendekatan restoratif dalam peradilan pidana anak bukanlah konsep baru, tetapi penerapannya di Indonesia melalui UU SPPA merupakan langkah maju dalam sistem peradilan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindakan pidana, dengan cara mempertemukan pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang berfokus pada penyembuhan dan pemulihan. Dalam konteks peradilan anak, pendekatan ini sangat relevan karena memberikan kesempatan kepada anak untuk menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri tanpa harus melalui proses peradilan yang formal dan mungkin traumatis.
Restorasi dalam peradilan anak mencakup beberapa aspek penting:
1. Penyelesaian Konflik melalui Dialog : Anak yang melakukan tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melalui dialog langsung dengan korban dan komunitas. Dialog ini memungkinkan korban menyampaikan dampak dari tindak pidana yang dialaminya, sementara pelaku diberikan kesempatan untuk memahami dan mengakui kesalahan serta berkomitmen untuk tidak mengulanginya.
ADVERTISEMENT
2. Pemulihan Kerugian : Restorasi juga mencakup upaya untuk memulihkan kerugian yang diderita korban. Pemulihan ini tidak selalu berarti kompensasi finansial, tetapi juga dapat berupa permintaan maaf yang tulus, komitmen untuk memperbaiki kerusakan, atau tindakan lain yang disepakati bersama oleh semua pihak yang terlibat.
3. Pemulihan Sosial : Selain memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, pendekatan restoratif juga bertujuan untuk memperbaiki hubungan sosial pelaku dengan komunitasnya. Anak yang melakukan tindak pidana harus didorong untuk kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik, bukan sebagai seseorang yang diberi label negatif.
Pendekatan restoratif, jika diterapkan dengan benar, memiliki potensi untuk memberikan solusi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dibandingkan dengan pendekatan retributif yang berfokus pada hukuman.
ADVERTISEMENT
Diversi: Alternatif Terhadap Proses Peradilan Formal
Diversi adalah salah satu implementasi dari pendekatan restoratif dalam UU SPPA. Diversi diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa anak yang terlibat dalam proses hukum formal cenderung mengalami trauma, stigmatisasi, dan risiko pengulangan tindak pidana yang lebih tinggi.
Dalam UU SPPA, diversi dapat dilakukan pada setiap tahap proses peradilan, baik itu di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan. Namun, pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus merupakan tindak pidana ringan atau tindak pidana yang ancamannya di bawah 7 tahun penjara, dan pelaku bukan merupakan residivis.
ADVERTISEMENT
Diversi memiliki beberapa tujuan utama:
1. Menghindari Stigmatisasi : Proses peradilan formal sering kali menyebabkan anak mendapatkan label negatif sebagai "kriminal" atau "pelanggar hukum". Diversi bertujuan untuk menghindari stigma ini dengan menyelesaikan masalah hukum secara lebih informal dan tidak terbuka.
2. Mengutamakan Kepentingan Terbaik Anak : Diversi memprioritaskan kepentingan terbaik anak, yaitu menjaga kesejahteraan anak dan memastikan masa depannya tidak terpengaruh oleh kesalahan yang pernah dilakukan.
3. Mengurangi Beban Lembaga Pemasyarakatan : Diversi juga berfungsi untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang cenderung penuh dan tidak selalu memberikan lingkungan yang mendukung rehabilitasi anak.
4. Memberikan Kesempatan untuk Perbaikan Diri : Melalui diversi, anak-anak diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya melalui tindakan-tindakan yang konstruktif, seperti mengikuti program rehabilitasi, pendidikan, atau pelayanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tantangan dalam Implementasi Pendekatan Restoratif dan Diversi
Meskipun pendekatan restoratif dan diversi memiliki banyak manfaat, implementasinya dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia tidak tanpa tantangan. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain:
1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Fasilitas : Penerapan diversi dan pendekatan restoratif memerlukan keterlibatan tenaga profesional, seperti mediator, psikolog, dan pekerja sosial, yang memiliki pemahaman dan keterampilan yang memadai. Namun, ketersediaan sumber daya manusia dan fasilitas yang mendukung masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil.
2. Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran : Masih banyak penegak hukum, masyarakat, dan bahkan keluarga anak yang belum sepenuhnya memahami manfaat dan mekanisme pendekatan restoratif dan diversi. Kurangnya pemahaman ini dapat menghambat pelaksanaan diversi dan menyebabkan penolakan dari pihak yang seharusnya mendukung.
ADVERTISEMENT
3. Infrastruktur Hukum yang Belum Sepenuhnya Mendukung : Meskipun UU SPPA telah mengatur tentang diversi dan pendekatan restoratif, infrastruktur hukum dan kebijakan pendukung di tingkat daerah masih perlu diperkuat. Tanpa dukungan yang memadai dari kebijakan lokal, pelaksanaan diversi dan pendekatan restoratif dapat mengalami kesulitan.
Pendekatan restoratif dan diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan langkah progresif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan anak-anak. Kedua pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi anak, dengan fokus pada pemulihan dan rehabilitasi daripada hukuman. Namun, keberhasilan penerapannya sangat bergantung pada kesiapan sistem, sumber daya manusia, dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Dengan upaya bersama, pendekatan restoratif dan diversi dapat menjadi solusi efektif dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan manusiawi bagi anak-anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT