Netizen Tantrum

Yayuk Lestari
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
29 April 2024 9:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayuk Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dampak media sosial. Foto: SrideeStudio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dampak media sosial. Foto: SrideeStudio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial memberikan platform yang memperkuat interaksi antarindividu, namun sayangnya, seringkali menjadi tempat di mana perbedaan pendapat tidak dihargai. Alih-alih dialog yang sehat, seringkali kita melihat polarisasi yang semakin memperkuat kelompok-kelompok dan memicu konflik. Terlalu sering, kita melihat bagaimana komentar-komentar yang kasar, pelecehan, dan hoaks merajalela di platform-platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Kekerasan verbal dan intimidasi semacam ini tidak hanya merusak suasana diskusi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi individu yang berbeda pandangan. Kurangnya etika dan empati dalam bermedia menciptakan lingkungan di mana toleransi menjadi semakin sulit dicapai. Sopan dan ramah yang melekat sebagai kepribadian bangsa tampaknya tak berlaku di sosial media, bahkan kita sering mendapati laporan yang melabeli netizen Indonesia sebagai netizen yang tidak sopan dan bar-bar.
Jamak kita lihat di sosial media, peperangan opini karena perbedaan pendapat dalam memandang sebuah fenomena, mulai dari pilihan politik yang berbeda hingga kasus yang melibatkan kehidupan pribadi seseorang.
Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan pendapat dan perilaku bermedia yang minim etika dan empati merupakan dua sisi dari satu masalah yang lebih besar: kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman. Bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang inklusif dan berempati jika kita tidak bisa menghargai perbedaan pendapat dan berperilaku dengan etika di dunia maya?
ADVERTISEMENT
Di media sosial, terutama platform seperti Twitter atau Facebook, seringkali kita melihat perdebatan sengit terkait isu-isu politik atau sosial. Misalnya, ketika ada kontroversi terkait kebijakan pemerintah atau isu-isu agama, komentar-komentar yang kasar dan hinaan mulai bermunculan. Sebuah artikel berita tentang kebijakan tertentu bisa memicu perang opini di komentar, di mana pendukung dan penentang kebijakan tersebut saling serang dengan kata-kata yang tidak pantas.
Sulitnya menerima perbedaan pendapat tercermin dalam blokade komunikasi dan penghinaan terhadap mereka yang memiliki pandangan berbeda. Salah satu contoh lain, yakni ketika seorang selebriti atau tokoh masyarakat menyuarakan pendapatnya di media sosial tentang isu-isu kontroversial seperti hak-hak LGBT atau kebijakan lingkungan.
Tanggapan dari pengikutnya seringkali mencakup ancaman, pelecehan, dan bahkan doksing (mencari dan menyebarkan informasi pribadi seseorang secara online). Kurangnya etika dan empati dalam bermedia terlihat jelas dalam cara pengikut tersebut merespons dengan kasar tanpa mempertimbangkan perasaan atau perspektif individu yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan pendapat dan perilaku bermedia yang minim etika dan empati merupakan dua sisi dari satu masalah yang lebih besar: kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman. Bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang inklusif dan berempati jika kita tidak bisa menghargai perbedaan pendapat dan berperilaku dengan etika di dunia maya?
Struktur masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam membentuk perilaku netizen Indonesia di media sosial. Di tengah ketidakpastian dan ketegangan sosial, media sosial seringkali menjadi tempat pelarian bagi beberapa individu, yang kemudian menggunakan platform tersebut sebagai wadah untuk menyalurkan ketidakpuasan dan frustrasi mereka.
Ketika individu merasa tertekan atau tidak puas dengan realitas hidup mereka, media sosial sering menjadi tempat di mana mereka mencari kesenangan atau pengalihan. Mereka mungkin berharap untuk menemukan dukungan atau pengakuan dari teman-teman online mereka, atau mencari konten yang menghibur untuk sementara waktu mengalihkan pikiran dari masalah yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagai akibat dari ketidakpuasan atau tekanan yang mereka rasakan, beberapa individu cenderung mengekspresikan emosi mereka secara negatif di media sosial. Mereka mungkin menggunakan platform tersebut sebagai saluran untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka, seringkali dengan cara yang kurang etis atau empatik.
Keinginan untuk merasa lebih berkuasa atau diakui di lingkungan online bisa jadi menjadi pemicu perilaku ini. Di media sosial, seseorang dapat dengan mudah menjadi pusat perhatian dengan menarik perhatian orang lain melalui komentar kontroversial atau perilaku provokatif.
Perilaku ini juga bisa mencerminkan ketidakmatangan emosional atau kurangnya kesadaran akan dampak dari kata-kata atau tindakan mereka. Mereka mungkin tidak sepenuhnya menyadari konsekuensi dari perilaku mereka di media sosial atau bagaimana itu dapat memengaruhi perasaan dan kesejahteraan orang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengguna sosial media saya tidak akan memberikan panggung untuk perilaku seperti ini, mendiamkan dan tidak menambah api adalah pilihan saya. Jika tidak ada niatan untuk berdiskusi, hanya memuaskan ego mereka saja maka tidak layak diladeni. Jadi ketika anda menemukan netizen tantrum, tetap teguhlah dengan value yang anda pegang. Jangan beri ruang dan panggung buat mereka.
Dalam menjalani kehidupan di dunia maya, kita memiliki kendali atas bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain di media sosial. Dengan meneguhkan sikap untuk tidak memberikan panggung bagi perilaku yang tidak etis dan tidak konstruktif, kita dapat berperan dalam menciptakan lingkungan online yang lebih positif dan beradab. Mari kita semua berkomitmen untuk menjaga integritas dan nilai-nilai kita, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi komunitas media sosial yang lebih baik
ADVERTISEMENT