Mudik, Kemacetan, dan Keberlanjutan Penyelesaian Polusi

Ismail Khozen
Peneliti Senior Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies
Konten dari Pengguna
12 April 2024 8:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismail Khozen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi macet. Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi macet. Foto: Faisal Rahman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pekan ini, masyarakat Muslim di seluruh dunia merayakan hari raya idul fitri. Di Indonesia, idul fitri merupakan momentum terbaik bagi banyak perantau untuk mudik dan melepas rindu dengan keluarga tercinta.
ADVERTISEMENT
Dibanding hari besar lainnya, tanggal merah dan cuti bersama di idul fitri umumnya lebih panjang. Jika ditambah dengan libur akhir pekan, total jumlah libur lebaran kali ini sesuai ketetapan pemerintah adalah 10 hari. Bagi pemudik, ada spare waktu yang lebih banyak bersama keluarga besar.
Sementara bagi pemerintah, di balik keterhubungan kembali antara perantau di kota dan keluarga mereka di kampung halaman, ada harapan besar meningkatnya pemerataan ekonomi dengan bergulirnya aktivitas perekonomian di daerah.
Dengan infrastruktur jalan dan moda transportasi publik yang berkembang semakin baik dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah tampaknya cukup optimis bahwa konektivitas kampung dan kota akan berjalan lancar.
Namun, puncak arus mudik biasanya terpusat di satu pekan menjelang dan pasca lebaran. Tingginya mobilitas pemudik pada periode yang hampir bersamaan tak ayal meningkatkan kepadatan jalanan. Tak heran, mudik kemudian jadi identik dengan kemacetan.
ADVERTISEMENT
Paparan kemacetan yang tinggi akan meningkatkan tingkat stres pemudik. Niat hati bersenang ria dengan keluarga justru terhambat oleh ruas jalan yang tersendat.
Pekerjaan rumah pemerintah bukan saja terkait upaya mengurai kemacetan itu sendiri, melainkan juga bagaimana menjaga kualitas udara. Ketika tingkat kemacetan meninggi, begitu pula dengan polusi.
Karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan nitrogen oksida (NOx) adalah di antara polutan yang dihasilkan dari gas buang kendaraan. Polutan tersebut berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa semakin macet jalanan maka emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor semakin besar.
Penelitian dari Chen dkk. (2022) bahkan menunjukkan kemacetan lalu lintas yang umum terjadi, yaitu kecepatan kendaraan <5 km/jam, dapat menyebabkan emisi 5–9 kali lebih tinggi dibandingkan ketika tidak macet (kecepatan kendaraan >50 km/jam). Karenanya, menjadi jelas bahwa kemacetan perlu dimitigasi.
ADVERTISEMENT
Untuk mengantisipasi kemacetan pada musim mudik kali ini, pemerintah kabarnya menempuh beberapa rekayasa lalu lintas. Dari mulai contraflow, one-way, ganjil-genap, hingga pembatasan mobilitas angkutan barang. Langkah-langkah tersebut melengkapi kerja keras yang telah dirintis sebelumnya untuk pemerataan distribusi logistik dengan membangun jalan baru, pelabuhan dan bandara, sehingga menambah konektivitas banyak wilayah yang sebelumnya masih terisolasi.
Dalam konteks memastikan kelancaran arus mudik, upaya pemerintah tersebut patut diapresiasi. Pemudik bahagia berkumpul dengan sanak saudara, sementara pemerintah memperoleh efek pengganda dari mulai pertumbuhan ekonomi hingga kepercayaan publik.
Jika kemacetan pada pagelaran mudik tahun ini dapat lebih sukses diantisipasi dan diurai dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini tidak lain karena secara infrastruktur memang sudah lebih siap dan jajaran pemerintah juga lebih sigap. Namun patut dicatat, pencapaian apa pun dari mudik kali ini harus dipastikan agar berlanjut setelahnya.
ADVERTISEMENT
Mudik idul fitri, seperti namanya agar manusia kembali pada fitrahnya yang suci, sudah seyogyanya menjadi momentum kita mengembalikan lingkungan yang sudah tercemar agar lebih minim polusi. Indikatornya kemudian tidak hanya seberapa sukses penanganan kemacetan dan lingkungan selama musim mudik, melainkan juga harus berlanjut menjadi lembar baru bagi perbaikan di hari-hari selanjutnya.
Selain komitmen dan kesigapan dari pemerintah, masalah kemacetan dan polusi udara juga perlu diatasi dengan mengubah budaya dan perilaku berkendara masyarakat. Perlu dibangun kesadaran bahwa kendaraan pribadi menimbulkan banyak eksternalitas negatif.
Eksternalitas negatif terjadi ketika terdapat biaya atau beban yang ditanggung oleh pihak lain yang tidak diperhitungkan oleh orang yang bertindak. Misalnya, emisi gas rumah kaca yang ditanggung secara global. Lalu, polusi udara lainnya dan kebisingan yang berdampak pada pengguna jalan lain maupun masyarakat di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT

Intervensi Pemerintah

Selain membangun kesadaran, menurut teori eksternalitas yang dipelopori oleh Pigou (1920) dalam maha karyanya “The Economics of Welfare”, diperlukan intervensi fiskal pemerintah untuk mengoreksi eksternalitas yang timbul.
Dalam praktiknya, setidaknya ada enam instrumen kebijakan fiskal yang dapat diterapkan untuk mengurangi kemacetan dan emisi dari sektor transportasi (Timilsina & Dulal, 2008). Kebijakan tersebut meliputi pengenaan retribusi kemacetan (congestion charges) seperti telah dipungut di Singapura sejak 1975, pengenaan pajak bahan bakar, pajak kendaraan, dan pajak emisi. Selain itu, pemerintah bisa menaikkan pajak parkir serta memberi subsidi pada angkutan umum, bahan bakar ramah lingkungan, maupun kendaraan ramah lingkungan.
Beberapa jenis pungutan tersebut sudah diterapkan di Indonesia. Hanya saja, tujuan pengenaannya baru sebatas mengumpulkan pendapatan negara/daerah. Belum sampai pada upaya untuk mengoreksi eksternalitas dan mengubah perilaku berkendara masyarakat.
ADVERTISEMENT
Karena itu, kebijakan pemerintah perlu lebih diarahkan untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya faktor lingkungan. Yang tidak kalah penting, alternatif transportasi publik harus memadai.
Dan yang pasti, momentum lebaran serta transisi kepemimpinan baru tahun ini sudah selayaknya menjadi titik balik kita menjadi bangsa yang lebih ramah lingkungan dan konsen dengan keberlanjutan.