Konten dari Pengguna
Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
30 Oktober 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
Melindungi perempuan dari kekerasan seksual adalah bentuk konkret dari demokrasi yang menjamin martabat dan rasa aman. #userstoryM Izzudin Ma'ruf
Tulisan dari M Izzudin Ma'ruf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Serentetan kasus kekerasan seksual kembali mencuat dan mengguncang kesadaran publik. Di tengah upaya membangun ruang aman bagi semua warga, justru lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi pelindung—seperti kampus, rumah sakit, pesantren, dan institusi kepolisian—menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual yang sistemik dan brutal.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh berbagai kasus yang melibatkan figur publik dan otoritatif. Terbaru seorang dokter spesialis di rumah sakit pendidikan di Bandung memperkosa anak pasien yang sedang dalam perawatan. Profesor di kampus ternama terbukti melakukan pelecehan terhadap mahasiswinya.
Di Jombang, seorang kiai melakukan kekerasan seksual terhadap belasan santriwati. Di Ngada, kapolres berpangkat AKBP ditangkap karena melecehkan tiga anak di bawah umur. Semuanya terjadi di ruang publik oleh figur berkuasa terhadap korban yang secara struktural lebih lemah.
Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual
Lalu, apa benang merah dari semua kasus ini? Jawabannya terletak pada relasi kuasa. Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif. Ia membentuk relasi, perilaku, bahkan persepsi. Dalam konteks kekerasan seksual, pelaku umumnya berada dalam posisi dominan seperti dosen terhadap mahasiswa, kiai terhadap santri, dokter terhadap pasien, dan polisi terhadap warga. Ketimpangan ini menciptakan ruang impunitas di mana kekuasaan bekerja tanpa akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik, yaitu kekuasaan yang bekerja secara halus, tetapi menundukkan. Korban tidak hanya dilecehkan secara fisik, tetapi juga dibungkam secara sosial. Mereka dipaksa diam karena takut kehilangan akses pendidikan, perawatan, atau keamanan. Bahkan, tak jarang mereka disalahkan, dipertanyakan moralitasnya, atau malah dituntut balik atas pencemaran nama baik.
Budaya Diam dan Abainya Negara
Kita hidup dalam budaya perkosaan atau rape culture, yaitu budaya yang mentolerir kekerasan seksual dan membebani korban dengan rasa bersalah. Ketika korban melapor, respons yang muncul sering kali menyalahkan, seperti kenapa baru bicara sekarang, bagaimana pakaian korban, atau kenapa tidak melawan. Akibatnya, banyak korban memilih diam. Yang lebih tragis, ketika ada yang berani bersuara, mereka justru diintimidasi oleh institusi atau aparat penegak hukum.
Sally Engle Merry menyebut kondisi ini sebagai bentuk pluralisme hukum di mana hukum formal tidak mampu menandingi dominasi norma sosial patriarkis. Negara yang tidak hadir secara efektif dalam melindungi warganya sesungguhnya telah membiarkan kekuasaan privat mengambil alih ruang publik.
ADVERTISEMENT
Dilema Regulasi dan Etika Institusi
Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sejak 2022, implementasinya masih minim. Lembaga pendidikan, rumah ibadah, dan rumah sakit belum memiliki sistem perlindungan internal yang jelas dan akuntabel. Banyak institusi justru menutup-nutupi kasus, beralasan menjaga nama baik lembaga, dan membungkam korban agar tidak mencoreng citra.
Inilah bentuk kegagalan etika institusi. Reformasi hukum tanpa transformasi nilai hanyalah proyek simbolik. Tanpa pembenahan kultur organisasi dari kampus hingga birokrasi, UU TPKS hanya akan menjadi dokumen mati.
Menggugat Sistem, Merawat Kesadaran
Kekerasan seksual bukan hanya soal tindakan individual. Lahir dari refleksi dari sistem yang timpang, budaya maskulin yang toksik dan aparat negara yang enggan berpihak. Judith Butler menulis bahwa tubuh perempuan dan anak bukan hanya objek biologis, melainkan juga medan politik. Melindungi mereka adalah bentuk konkret dari demokrasi yang menjamin martabat dan rasa aman.
ADVERTISEMENT
Sudah terlalu banyak korban yang memilih diam karena takut; sudah terlalu sering kita melihat pelaku bebas karena jabatan; sudah terlalu lama negara berdiri sebagai penonton. Kini waktunya bersikap. Cukup untuk budaya diam; cukup untuk impunitas; cukup untuk sistem yang hanya berpihak pada kekuasaan.
Negara yang membiarkan kekerasan seksual terjadi secara berulang dan sistematis adalah negara yang mengingkari mandat konstitusionalnya, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

