Rumah tapak sudah tak ideal lagi

Jakarta Property Institute
JPI adalah lembaga non profit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni.
Konten dari Pengguna
1 November 2019 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jakarta Property Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah tapak akan berlokasi lebih jauh dari pusat kota, memakan waktu dengan keluarga, kesehatan, dan finansial. Source: swxxiion on Flikr.
zoom-in-whitePerbesar
Rumah tapak akan berlokasi lebih jauh dari pusat kota, memakan waktu dengan keluarga, kesehatan, dan finansial. Source: swxxiion on Flikr.
ADVERTISEMENT
Berbeda pendapat atau selera dengan orang tua adalah hal yang biasa. Jauhnya pautan usia sering kali membuat kita berbeda dalam memandang dunia. Mulai dari pilihan pakaian, gaya hidup, termasuk kebutuhan hunian. Bukan tanpa sebab, perbedaan ini lahir dari pengalaman dan memori yang mengisi jarak antara dulu dan kini.
ADVERTISEMENT
Bicara soal hunian, ada perbedaan yang mendasar tentang kebutuhan dan pandangan mengenai rumah antar generasi. Rumah tapak yang lengkap dengan kebun dan pagar sudah semakin sulit diwujudkan saat ini. Namun, bisakah kita, generasi sekarang, tetap menggantungkan harapan walau sudah terimpit zaman?
Persepsi rumah sebagai pusat segala fungsi
Menarik jauh ke masa lampau ketika musuh manusia adalah alam, rumah atau tempat tinggal mulanya berfungsi untuk berlindung dari cuaca dan binatang buas. Seiring perkembangan peradaban, rumah menjadi pusat untuk berbagai kegiatan. Istirahat, menyimpan hasil panen dan buruan, memasak, makan, bermain, hingga melahirkan pun dilakukan di rumah.
Fungsi rumah yang menampung berbagai kegiatan dan banyak anggota keluarga berpengaruh kepada ukurannya. Contohnya dapat kita saksikan pada Uma Leme, rumah tradisional di daerah Donggo, Bima, NTB. Rumah yang menjadi tempat untuk berbagai kebiasaan adat ini dilengkapi dengan bagian-bagian dengan peruntukan tertentu. Misalnya, jompa atau lumbung kecil di dekat bangunan rumah untuk menyimpan hasil panen dan satu tiang khusus di dalam rumah yang berfungsi sebagai tempat persalinan. Ada pula rumah Gadang khas Minangkabau, Sumatera Barat, yang menampung beberapa keluarga dalam satu klan. Melihat kondisi tersebut, tak heran kalau dahulu tipikal rumah banyak yang berukuran besar dengan banyak ruang.
ADVERTISEMENT
Rumah besar yang tak lagi relevan
Seiring perubahan zaman, ukuran keluarga semakin mengecil dan kehidupan komunal tak lagi diminati. Keluarga yang dahulu bisa memiliki lebih dari tiga anak, saat ini, jumlah itu sudah terhitung banyak. Rumah lama pun akan ditinggalkan bila sudah rusak, terlalu banyak orang, atau ingin memulai keluarga baru.
Selain jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit, sekarang banyak kegiatan yang dipindahkan ke luar rumah. Apalagi bagi para pekerja formal yang tinggal di kota seperti Jakarta. Melahirkan serta merawat orang sakit dilakukan di rumah sakit. Tak perlu ruang khusus untuk menyimpan bahan makanan karena tinggal membeli secara berkala. Bahkan kebiasaan arisan pun sudah sering dilakukan di restoran. Penduduk kota lebih sering menghabiskan hari-hari mereka di luar.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan ini secara signifikan berdampak pada pergeseran kebutuhan ruang. Rumah yang tadinya mesti berukuran besar karena berfungsi untuk banyak kegiatan dan penghuni sudah tidak lagi demikian. Ukuran rumah mengecil, sesuai dengan kebutuhan penghuni yang menempatinya.
Rumah, pergeseran masa dan makna
Dengan berubahnya fungsi rumah sesuai zaman dan lingkungan, makna rumah berubah pula dalam benak antar generasi. Inilah mengapa orang tua kita, atau sebutlah generasi baby boomers, dan kita memiliki pandangan berbeda.
Bagi orang tua kita, memori rumah adalah rumah tapak dengan halaman di pinggiran kota. Hal ini masih masuk akal ketika penduduk Jakarta masih berjumlah 8 juta di tahun 90-an dan harga tanah terjangkau. Memiliki rumah juga salah satu pencapaian yang mengindikasikan kemapanan ekonomi sebuah keluarga. Imbasnya, berkembangnya permukiman horizontal menjadi sebuah fenomena yang tak terelakkan. Namun, mimpi ini harus dibayar mahal oleh generasi selanjutnya. Rumah tapak akan berlokasi lebih jauh dari pusat kota, memakan waktu dengan keluarga, kesehatan, dan finansial.
ADVERTISEMENT
Jika dibiarkan, keinginan untuk tinggal di rumah tapak akan menjadi sebuah impian yang kian dipaksakan. Padahal, mengingat keterbatasan lahan di Jakarta, hunian horizontal sudah tidak lagi memungkinkan. Maka dari itu, banyak pekerja muda yang lebih terbuka dengan kehidupan vertikal dan perubahan kebutuhan sesuai ketersediaan untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Hunian vertikal untuk masa kini
Generasi sekarang juga sudah tak lagi menganggap rumah seperti orang tua mereka. Orang tua terbiasa untuk menetap, sesuai dengan pekerjaannya yang biasanya tetap juga seumur hidup. Sebab, berganti pekerjaan dahulu merupakan suatu hal yang jarang, lain dengan generasi kini yang lebih mudah melakukannya. Berkat perkembangan arus informasi dan teknologi, saat ini jenis pekerjaan lebih dinamis dan bervariasi. Berpindah pekerjaan bukan hal yang sulit lagi. Kaum milenial lebih terbuka untuk berpindah tempat tinggal mengikuti pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup pun berubah. Rumah impian orang tua yang berada menapak pada tanah, lengkap dengan kebun dan tamannya, sudah sulit disandingkan dengan kebutuhan ruang generasi sekarang. Jika dipaksakan, hal ini malah akan menambah tanggungan psikologis dan finansial. Banyak kasus di daerah suburban, rumah dibiarkan kosong oleh penghuninya karena tak sesuai kebutuhan. Justru menjadi beban tak hanya untuk sang pemilik, tapi juga untuk lingkungannya. Keseharian pekerja kota yang padat pun kian menguras tenaga. Semakin berkurang pula waktu untuk mengurus rumah jika terlalu muluk kelengkapannya. Impian berkebun bahkan memasak sendiripun sudah susah dilakukan sehari-hari.
Generasi milenial yang adalah pekerja muda saat ini, lebih nyaman dengan tempat tinggal yang mudah dirawat dan tak perlu terlalu banyak ruang. Akses dan mobilitas menjadi prioritas. Tinggal di hunian vertikal yang berada di tengah pusat kegiatan dan lebih praktis pun jadi pilihan. Dengan demikian, tenaga dan uang yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dan pengalaman lain seperti mencoba kuliner baru, ngobrol di kafe, dan berwisata.
ADVERTISEMENT
Rumah menjawab kebutuhan
Dengan memiliki rumah sesuai dengan kebutuhan, sebenarnya hidup jadi lebih fleksibel dan bijak. Kita tak lagi menyia-nyiakan ruang. Orang tua di masa depan, misalnya, seharusnya tak lagi ragu untuk pindah rumah bila memang kebutuhan ruangnya berubah. Ketika bertambah anggota keluarga, bisa pindah ke rumah atau hunian yang lebih besar. Namun, jika anak-anak mulai dewasa dan berpindah untuk sekolah dan kerja, mereka bisa kembali pindah ke ruang yang lebih kecil. Hal ini gampang dilakukan ketika tinggal di rumah vertikal.
Kebutuhan hunian kini semakin ringkas dan praktis. Bukan hanya karena perubahan aktivitas, tapi juga karena ketersediaan lahan yang semakin menipis dan tinggi harganya. Perubahan ini membuat rumah impian juga berubah atributnya. Rumah yang menurut generasi orang tua kita dahulu dianggap ideal, sudah tak relevan. Selama zaman berubah sejalan dengan waktu, kebutuhan akan selalu ikut berubah. Rumah pun selayaknya selalu menjawab kebutuhan sesuai dengan masanya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Rima Aisha, Urban Enthusiast
Silakan kunjungi website dan akun Instagram kami untuk informasi lebih lanjut seputar perkembangan Jakarta yang layak huni dan kirim surel ke [email protected] untuk ide dan gagasan.