Tak ramah pejalan kaki, Jakarta semakin merugi

Jakarta Property Institute
JPI adalah lembaga non profit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni.
Konten dari Pengguna
2 Desember 2019 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jakarta Property Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di M-Bloc, Jakarta.  Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di M-Bloc, Jakarta. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, pejalan kaki adalah anak tiri. Kota ini lebih banyak dibangun untuk kendaraan dibanding untuk mereka. Padahal, kemeriahan kota ini banyak terletak di sudut-sudut yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Lagipula, bila ditinjau dari segi ekonomi, desain kota yang mengetengahkan kendaraan pribadi malah banyak yang merugi.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat dua kawasan, yaitu Sabang di Jakarta Pusat dan Blok M di Jakarta Selatan, tulisan ini mencoba membahas pentingnya ruang kota yang nyaman dan manusiawi untuk kepentingan ekonomi. Kedua tempat ini akan menjadi contoh untuk menjawab pertanyaan: Mungkinkah Jakarta menjadi kota yang berpihak pada pejalan kaki selagi berkembang secara ekonomi?
Sabang vs M Bloc Space
Daerah Sabang atau tepatnya di sepanjang Jalan Haji Agus Salim sudah lama terkenal sebagai destinasi wisata kuliner. Di sini terdapat berbagai pilihan restoran dan kedai kopi dengan beragam tema yang unik. Restoran dan kedai kopi dari berbagai daerah di Indonesia dengan mudah ditemui. Di jalan ini juga bisa ditemukan kampung kuliner, yaitu sentra puluhan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan.
ADVERTISEMENT
Meski tempat ini menggiurkan karena pilihan kulinernya dan sudah dilengkapi dengan trotoar, Sabang tidak ramah pejalan kaki. Padahal, trotoarnya sudah pernah direvitalisasi. Muka rukonya pun banyak yang menarik untuk dijajaki. Namun, alih-alih jadi surga pedestrian, trotoar yang lebar malah dialihfungsikan jadi tempat parkir kendaraan bermotor.
Belum lagi tenda-tenda kaki lima yang ikut menutupi jalur pejalan saat malam tiba. Toko-toko menjadi terhalang sehingga keberadaannya kurang terlihat. Jangankan berjalan-jalan untuk mengeksplor apa saja yang ditawarkan Sabang, menyeberang dari satu kedai ke kedai lain saja butuh usaha.
Sabang sebenarnya mudah ditempuh dengan transportasi publik. Cukup berjalan sekitar 270 meter dari Halte Transjakarta Bank Indonesia atau 330 meter dari Halte Transjakarta Sarinah, wilayah ini sudah bisa ditempuh. Namun, trotoar menuju ke Sabang jauh dari kata nyaman.
ADVERTISEMENT
Sehingga banyak pengunjung memilih datang untuk menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online. Semakin banyak yang datang dengan kendaraan pribadi dan parkir di Sabang, semakin malas pengunjung datang berjalan kaki dan sebab akibat ini terus berlaku hingga Sabang sudah tak lagi menarik untuk pejalan kaki.
Padahal, Sabang bisa dijadikan pusat kuliner ikonik dengan menomorsatukan pejalan kaki. Kawasan ini akan semakin ramai dan perekonomian kota akan semakin menggeliat. Namun, pemerintah perlu berusaha, misalnya dengan melarang kendaraan parkir di daerah tersebut dan menyediakan struktur parkir dan lahan parkir di gedung-gedung sekitarnya seperti Sarinah atau Jakarta Theater. Bila ingin contohnya, kita bisa menengok destinasi baru bernama M Bloc Space di bilangan Blok M.
ADVERTISEMENT
Tempat ini didirikan di atas lahan seluas 6.500 meter persegi milik Perum Peruri. Lokasi yang tadinya perumahan karyawan dan gudang produksi uang kini diubah menjadi ruang kreatif yang diperuntukkan bagi musisi dan komunitas lokal lainnya. Di bagian depan, M Bloc menawarkan sederet kedai makanan, kopi, dan hobi dengan bukaan depan yang luas untuk pengunjung duduk-duduk dan berfoto.
Aktivasi muka bangunan (active frontage) ini menarik untuk pejalan kaki. Belum lagi, ditambah teras ubin serta halaman berlapis aspal yang cukup lapang dan tertata rapi sehingga nyaman berjalan. Masuk ke dalam kawasan, kita bisa menemukan amfiteater dan ruang pertunjukan musik yang menempati bangunan bekas gudang.
Selain itu, hal unik lainnya dari M Bloc adalah tempat ini mendukung pengunjung untuk menggunakan moda transportasi umum, mengingat lokasi M Bloc Space yang berada di antara dua stasiun MRT, ASEAN, dan Blok M, serta berjarak hanya 600 meter dari Halte Transjakarta Blok M. Tempat ini juga tak menyediakan lahan parkir. Jika ingin datang dengan menggunakan kendaraan, tersedia jasa valet namun mahal, seharga Rp 50.000 di luar biaya parkir.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Kita memang tidak bisa serta-merta membandingkan kawasan Sabang dengan M Bloc. Kawasan Sabang adalah daerah terbuka yang dikelola pemerintah, sedangkan M Bloc merupakan ruang publik yang dikelola oleh swasta. Tapi, kita bisa melihat potensi dan pembelajaran keduanya.
Sebagai sebuah kawasan privat, M Bloc berhasil membuka diri bagi kepentingan pejalan kaki. Dengan mempromosikan kemudahan menggunakan transportasi umum, area yang tadinya digunakan sebagai lahan parkir justru dimanfaatkan jadi ruang terbuka. Pengunjung jadi leluasa berjalan kaki dan berkeliling untuk melihat-lihat di sekitar toko. Dengan mengutamakan pejalan kaki, M Bloc berhasil menjadi tempat kekinian yang menarik perhatian kalangan muda.
Bayangkan bila konsep semacam ini diterapkan di Sabang. Jika pemerintah bisa dengan tegas membatasi kendaraan pribadi dan menyediakan ruang untuk pejalan kaki, Sabang bisa senyaman M Bloc. Apalagi akses transportasi publik sudah ada. Hal ini akan membuat Sabang tak hanya semakin tertib, mudah dijangkau, namun perekonomian di sana akan semakin meningkat karena orang pasti ingin berdiam lebih lama.
ADVERTISEMENT
Bila Sabang sudah berhasil, pemerintah bisa menerapkan konsep ini di berbagai penjuru kota. Bila kota semakin mantap dan kompak dalam memerdekakan pejalan, warga pun semakin sehat dan perekonomian akan tumbuh lebih baik. Terbukti, di banyak kota, ruang-ruang yang ramah pejalan kaki adalah yang paling berkembang secara ekonomi.
Jakarta pun mampu, kalau mau. Hanya perlu ada langkah berani yang diambil serta kolaborasi yang baik antara pemerintah dan swasta untuk menciptakan kota yang lebih meriah, menarik, dan nyaman bagi pejalan kaki. Bila tidak, tempat seperti Sabang akan jadi tidak lagi menarik atau dibiarkan tak berkembang dan namanya akan tergantikan dengan tempat-tempat swasta yang malah lebih ramah pedestrian.
Penulis: Rima Aisha, Urban Enthusiast.
ADVERTISEMENT
Silakan kunjungi website dan akun Instragram kami untuk informasi lebih lanjut seputar perkembangan Jakarta yang layak huni dan kirim surel ke info@jpi.or.id untuk ide dan gagasan.