Media Massa dan Narasi Kebencian pada Isu Pengungsi Rohingya

Jalaluddin Rizqi Mulia
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia.
Konten dari Pengguna
11 Januari 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jalaluddin Rizqi Mulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah mendarat di pantai di Sabang, provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Foto: Riska Munawarah/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah mendarat di pantai di Sabang, provinsi Aceh, Rabu (22/11/2023). Foto: Riska Munawarah/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sekarang, salah atau benar itu cuma perkara yang paling banyak ngomong!"
ADVERTISEMENT
Ungkapan itu disampaikan Muklas (Angga Yunanda) di film Budi Pekerti tatkala berdebat dengan keluarganya yang kadung viral, dihakimi massa–para warganet, hingga mengalami perundungan siber. Dinilai telah bersikap tidak sopan ke penjual di pasar dan diiringi serangkaian kejadian sukar yang datang sesudahnya, pernyataan ini sekilas tampak lugu. Namun jika didalami, justru menyingkap poin utama yang ingin disampaikan melalui film tersebut: tentang post-truth (pascakebenaran) dan media.
Era pascakebenaran ditandai dengan buramnya batasan antara benar dan salah. Raharja (2023) dengan apik merincikan situasi pascakebenaran, yakni ketika "masyarakat dimanipulasi secara emosional dan persuasif dari pernyataan yang biasa sampai penggunaan hoaks (berita bohong) di media sosial." Pernyataan demikian menjabarkan bagaimana massa digerakkan secara psikologis untuk mencapai tujuan tertentu, meskipun berbasis pada argumen yang minim–atau bahkan kosong, dari substansi. Dalam hal ini, khususnya, ialah pada penolakan pengungsi Rohingnya ke Indonesia.
ADVERTISEMENT

Pascakebenaran dan isu Rohingya di Indonesia

Ketimbang mendorong penyampaian fakta objektif di lapangan, tidak sedikit unggahan di media sosial yang berpacu pada manipulasi emosi para warganet–di antaranya bahkan dapat dikategorikan sebagai hoaks. Hal demikian seperti bagaimana Rohingya secara menyeluruh ditakutkan memicu kriminalitas, hidup jorok, hingga dianggap berperilaku buruk.
Walaupun termasuk isu kemanusiaan, penyebaran berita bohong membuahkan asumsi banyak orang bahwa migran datang karena hendak "mengambil alih tanah warga lokal,” layaknya orang Israel terhadap Palestina (CNN Indonesia, 2023; BBC, 2024). Realitasnya justru terbalik, sebab pengungsi Rohingnya mengalami persekusi di tanah air yang menyebabkan pengungsian. Narasi pun dapat dimanipulasi segelintir pendapat seolah-olah hanya itu yang benar.
Sedianya, setidaknya hingga tahun 2022, mayoritas pengungsi Rohingnya yang berdatangan diterima oleh masyarakat Indonesia atas beberapa faktor, seperti posisi geostrategis, kondisi perekonomian, jenis pemerintahan, serta keputusan & kapasitas pemimpin (Indradipradana & Haridha, 2023). Silviana (2019) bahkan mencatat mengenai pembentukan perilaku menolong oleh warga setempat–secara material, praktikal, atau spiritual, sebab dipengaruhi proses membaca berita mengenai Rohingnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, situasi tersebut sangat berbalik. Beberapa waktu terakhir menandai adanya pergeseran preferensi masyarakat yang cenderung melakukan overgeneralisasi terhadap migran Rohingya. Kesalahan yang dilakukan segelintir oknum menghasilkan "amarah" terhadap ras secara keseluruhan, termasuk perempuan dan anak-anak (CNN Indonesia, 2023).
Diperparah dengan munculnya pendengung (buzzer) dan kencangnya xenofobia di media sosial (Atiq, 2024), kian peliknya situasi yang membuat masyarakat setempat hingga seluruh Indonesia menjadi terpolarisasi sudah mestinya menjadi urgensi bagi pemerintah untuk turun tangan (Yanwardhana, 2023).
Guna mencapai tujuan penting tersebut, pemerintah dapat didorong lebih kencang oleh media massa untuk turut menuntaskan alih-alih cenderung abai terhadap kebijakan pengungsi di Indonesia, khususnya seusai terjadinya gesekan sosial antara warga lokal dan pendatang (Masroni, 2023). Di samping kemungkinan, andaikata tidak cepat diproses, bahwa isu politik luar negeri berikut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral belaka (BBC, 2024).
ADVERTISEMENT

Media massa: verifikator opini publik dan pendorong kebijakan pemerintah

Terdapat banyak pakar yang mencatat soal bagaimana era pascakebenaran bersinggungan dengan mayoritarianisme. Prior (2021), salah satunya, menuliskan konsep digital populism yang mempercayai bahwa fakta bukanlah entitas netral yang dapat diperiksa apalagi diverifikasi, melainkan hanya bersifat tambahan dari narasi yang sebelumnya sudah diamini.
Pandangan ini berkaitan dengan narasi mayoritarianisme yang, apabila terus digaungkan, maka alat ukur kebenaran hanya berpatok pada frekuensi atau bilangan semata–terlepas dari validitas informasi yang dipaparkan. Bagi penganut pandangan ini, apabila suatu poin dibahas berulang kali, maka semakin dekat pada kebenaran; seolah hal yang banyak orang percayai itu tidak mungkin salah (Tomsa, 2020).
Mengenai ini, media massa telah dan semestinya terus menempatkan diri sebagai alat kontrol sosial yang berkemampuan menyortir kabar dan memberi dampak terhadap opini hingga psikologi masyarakat (Holilah, 2020). Melalui kekuatannya dalam framing fenomena, media massa memiliki beban moral sebagai verifikator–penjernih informasi–penting di tengah arus data yang simpang siur.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab sosial pun diemban oleh media massa, sebagai bagian dari sistem komunikasi, untuk berfokus pada penyampaian wacana yang objektif (Sinaga, 2022; BRIN, 2023; Raharja, 2023). Media massa dapat menegaskan sekaligus mengingatkan pemerintah maupun masyarakat sipil bahwa kendati Indonesia tidak terikat aturan hukum internasional soal pengungsi, seperti Konvensi Pengungsi 1951, namun kewajiban moral dan kemanusiaan yang berbasis pada prinsip non-refoulement–tidak mengusir pengungsi, tetap ada (Detik, 2023; Iqbal, 2023).
Sebagaimana arahan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), media massa tidak sepatutnya mengamplifikasi narasi kebencian terhadap Rohingnya (Nauval, 2023). Lebih lagi, media massa seyogianya juga menjadi kekuatan penting dalam mendorong upaya perumusan kebijakan (decision-making) pemerintah dalam menangani isu migran Rohingnya.
Senada dengan ini, sejumlah media massa telah menunjukkan upaya dalam meminimalisasi hoaks yang beredar di masyarakat. Tempo, misalnya, menegaskan posisi ASEAN sebagai "kunci penyelesaian akar masalahnya di Myanmar" (Tempo, 2023). Penolakan penduduk Aceh yang mengejutkan justru merefleksikan kebutuhan mendesak agar pemerintah secepatnya menawarkan solusi sekaligus menghindari risiko permasalahan baru yang bisa saja terjadi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Tirto dan BBC menemukan sejumlah "informasi bohong dan narasi kebencian" terhadap Rohingya yang disebarkan secara sengaja (BBC, 2023; Hartanto, 2024). Kompas pula menuliskan bahwa pergeseran sikap masyarakat ini banyak disulut akibat ujaran kebencian di media sosial, termasuk misinformasi dan disinformasi, sehingga kompleksitas isu migrasi (persekusi junta militer Myanmar hingga jejaring kejahatan perdagangan manusia) harapannya dapat terurai apabila diurus langsung oleh pemerintah Indonesia juga ASEAN (Muhammad, 2023; Putri & Dzulfaroh, 2023).
Lebih lanjut, terdapat pula upaya menyanggah informasi yang beredar melalui mekanisme pemeriksaan fakta (debunking). Misalnya meliputi Detik dan Jawa Pos yang membantah kekeliruan informasi menyoal perusakan rumah susun (rusun) di Sidoarjo. Viralnya dugaan bahwa pelaku beretnis Rohingnya dipatahkan oleh pihak manajemen rusun, mengingat jumlah orang Rohingnya jauh lebih kecil dibandingkan pengungsi dari negara-negara lain (Fahrudin, 2023; Suparno, 2023).
ADVERTISEMENT
Pelbagai kasus tersebut mencontohkan bagaimana media massa, terutama arus utama (mainstream), berkewajiban menanggapi narasi yang menyesatkan. Hal ini, bagi penulis, relevan dengan hasil riset Katadata bahwa literasi digital Indonesia dikategorisasi dalam level "sedang" dengan penurunan pada aspek budaya digital (Annur, 2023). Kenyataan tersebut juga dilengkapi dengan predikat literasi digital yang cenderung rendah: peringkat 45 dari 64 negara dengan skor 60,36%, jauh di bawah negara ASEAN lain semisal Malaysia dan Thailand (IMD World Competitiveness Center, 2023).
Oleh karenanya, pengaruh post-truth berdampak terhadap persebaran informasi sebab memberi ilusi bagi banyak pengguna internet awam: semakin banyak dibicarakan seolah bermakna semakin mendekati kebenaran. Pentingnya posisi media massa patut disadari sebagai penyortir peredaran informasi yang berbasis fakta secara holistik, ketimbang melanggengkan ujaran kebencian yang rasis. Diskursus yang diangkat oleh media massa harapannya juga dapat disorot pemerintah dalam merumuskan kebijakan migrasi yang komprehensif dan solutif.
ADVERTISEMENT