Pengaturan Hukum tentang Perceraian dan Pembagian Harta dalam Perkawinan

Jamar Tonggi Ritonga
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Mei 2024 17:43 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jamar Tonggi Ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2016/07/23/17/04/hammer-1537123_1280.jpg
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2016/07/23/17/04/hammer-1537123_1280.jpg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terputusnya perkawinan dalam ketentuan pada pasal 38 undang-undang tentang perkawinan tahun 1974 dapat terjadi disebabkan kematian, perceraian dan atas putusan dari pengadilan. Pada tulisan kali ini akan berfokuskan kepada terputusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian. Adapun yang dimaksud dengan perceraian dalam arti luasnya bisa diartikan dengan terputusnya hubungan suami dan istri dengan suatu sebab. Adapun yang dimaksud dengan Sebab mengandung arti yaitu perceraian yang terjadi disebabkan terdapat hal-hal yang terjadi pada rumah tangga tersebut yang pada dasarnya tidak bisa dipertahankan kembali perkawinannya. seperti, sang suami yang mengabaikan kewajibannya ataupun sebaliknya. Sang suami tidak memberikan nafkah kepada sang istri dalam kurun waktu yang sangat lama. Adapun contoh lainnya seperti, terdapat perbedaan-perbedaan yang pada dasarnya tidak bisa diselaraskan oleh pasangan tersebut sehingga solusi dari masalah tersebut adalah perceraian sebagai solusi yang terakhir. Dalam hukum Islam definisi perceraian ini berasal dari bahasa Arab yaitu talak yang mengandung arti melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah ini diartikan dengan melepaskan suatu ikatan pernikahan dengan kata-kata talak atau yang semisalnya contohnya"Aku talak engkau" dengan ucapan yang demikian itu maka terputuslah suatu ikatan pernikahan antara suami dengan istri tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut hukum positif yang terdapat di Indonesia pengaturan hukum mengenai perceraian. Bagi para suami yang ingin mentalak untuk menceraikan istrinya diharuskan mengajukan penjatuhan talak ini di pengadilan agama bagi yang muslim. Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 39 undang-undang tentang perkawinan tahun 1974 yaitu pada ayat 1 yang berbunyi bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Adapun pada ayat kedua berbunyi yaitu untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.Berdasarkan bunyi pasal tersebut perceraian hanya bisa terjadi jika dilakukan di pengadilan yang mana artinya perceraian yang dilakukan di luar pengadilan itu tidak diakui.
ADVERTISEMENT
Adapun pengaturan hukum mengenai perceraian di dalam hukum Islam terdapat pada beberapa ayat Alquran yang diantaranya seperti Quran surat al-Baqarah ayat 226 sampai 227 , lalu pada Quran surat al-ahzab ayat 49 dan Quran surat At thalaq ayat 1, yang artinya:
1. QS. Al-Baqarah ayat 226-227:" Maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang dan jika mereka bertekad (sepenuh hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
2. QS. Al-Ahzab ayat 49: " Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka".
3. QS. At-Talaq ayat 1: "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu carikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu iddah tersebut ".
ADVERTISEMENT
Adapun akibat-akibat hukum yang disebabkan perceraian yaitu salah satunya terhadap harta bersama yang pada pasal 35 ayat 1 dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta Bersama. Jika terputusnya perkawinan karena perceraian, harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing yang terdapat pada pasal 37 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam penjelasan pasal 37 tersebut disebutkan Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing itu merupakan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lainnya. Kedudukan harta bersama tersebut menjadi tanggung jawab bersama bagi suami dan istri di dalam melakukan pengelolaannya. Sang suami tidak bisa bertindak sendiri dalam pengalihan harta bersama kepada pihak lain tanpa persetujuan sang istri. Demikian pula sebaliknya sang istri tidak bisa bertindak tanpa persetujuan dari suaminya dalam pengalihan harta bersama tersebut kepada pihak-pihak lain. Ditegaskan dalam pasal 89 kompilasi hukum Islam bahwa suami memiliki tanggung jawab dalam menjaga harta bersama, harta istrinya maupun hartanya sendiri. Dan juga istri turut mempunyai tanggung jawab dalam menjaga harta bersama maupun harta suami yang terdapat padanya yang dijelaskan pada pasal 90 KHI. Kemudian pada pasal 97 kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa seorang janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
ADVERTISEMENT
Referensi:
"Buku Ajar Hukum Perkawinan" karya Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum dan Nanda Amalia, SH, M.Hum