Adab Orang Rimba Membakar Hutan

Konten Media Partner
14 Oktober 2019 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lahan sisa kekabaran hutan. Foto: Dok. Walhi
zoom-in-whitePerbesar
Lahan sisa kekabaran hutan. Foto: Dok. Walhi
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba dari Tumenggung Hasan membakar kemenyan di lahan yang luasannya tidak lebih dari 2 hektare, bertujuan meminta izin kepada penunggu lahan untuk berladang di lahan itu.
ADVERTISEMENT
Prosesi bakar kemenyan yang dilakukan pada siang hari ini merupakan tradisi yang sakral yang harus dilakukan setiap akan membuka lahan di kawasan hutan.
Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka yang terus dilakukan hingga hari ini. Setelah siang hari melakukan ritual bakar kemenyan meminta izin untuk membuka ladang, mereka tidak serta merta langsung membuka lahan di lokasi itu.
Seyogyanya meminta izin, mereka harus menunggu izin diberikan baru bisa membuka ladang, mereka akan mengurungkan niatnya untuk membuka ladang jika izin tidak diberikan oleh penunggu lahan.
“Malamnya kami tiduk (tidur) disitu. Kalau malamnyo datang dalam mimpi dio (penunggu lahan) boleh yo kami berladang di situ. Kalau penunggu dak boleh yo kami idak jadi buka lahan di situ,” kata Tumenggung Hasan, beberapa waktu lalu.
Orang Rimba, Jambi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Izin telah diberikan mereka akan memulai ritual membuka ladang, masih ada tata cara yang harus mereka ikuti. Belukar dan kayu-kayu akan ditumbang dan dipotong menjadi potongan yang lebih kecil agar lebih mudah terbakar. Kemudian potongan-potongan itu ditumpuk-tumpuk menjadi beberapa tumpukan.
ADVERTISEMENT
“Sebelum membakar kami sediakan kain hitam dan beliung, kami taruh di tunggul kayu yang sudah kami tumbang itu,” kata Tumenggung Hasan.
Tumpukan itu dibiarkan bermalam agar mengering, keesokan harinya baru mereka akan melakukan proses pembakaran. Kain hitam dan beliung yang disiapkan sebelumnya bukannya tidak memiliki arti dan fungsi. Kain hitam dan beliung itulah nanti yang akan memanggil angin supaya api yang akan membakar kayu-kayu itu terkurung dan tidak menjalar ke lahan lain.
Kalo kami buka lahan itu dak banyak paling banyak duo hektare,” kata Tumenggung Hasan.
Merun atau ritual membakar yang dilakukan SAD kelompok Tumenggung Hasan pun tidak bisa dilakukan sepanjang waktu. Ada bulan-bulan tertentu yang bisa dilakukan ritual merun itu. Proses pembukaan lahan dengan cara membakar itu pun tidak bisa dilakukan semau mereka, ada syarat yang harus dipenuhi.
Orang Rimba bertelanjang kaki ketika melakukan tradisi turun mandi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Apa yang disampaikan Tumenggung Hasan dikuatkan oleh keterangan Tumenggung Buyung, kelompok SAD yang lain. Saat akan membuka lahan kebun, pertama-tama mereka akan memancah-mancah atau memotong kayu kecil dan semak menjadi potongan yang lebih kecil.
ADVERTISEMENT
“Setelah kering baru menimbang atau mengimbas kayu-kayu yang besar, setelah terhampar ditunggu kering daun dan kayu-kayu sudah mulai kapok baru dibakar,” kata Tumenggung Buyung.
Dikatakan Tumenggung Buyung, sebelum membakar, mereka terlebih dahulu membersihkan lahan yang menjadi batasan dengan lahan di sekelilingnya agar api tidak menjalar ke lahan lain.
Begitulah adab Orang Rimba yang turun temurun mendiami kawasan hutan di Provinsi Jambi saat membuka lahan dengan cara dibakar.
Direktur Walhi Jambi, Rudiansyah, mengatakan hal serupa, kebakaran lahan yang meluas dan menimbulkan bencana kabut asap kecil kemungkinan akibat pembakaran oleh masyarakat tradisional atau SAD.
"Masyarakat tradisional (membuka lahan) mereka punya cara khusus,” kata Rudiansyah.
Orang Rimba sedang menggendong anaknya. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Masyarakat tradisional mengenal tradisi merun. Merun merupakan metode pembukaan lahan oleh masyarakat tradisional dengan cara membakar. Namun, tidak hanya sekadar membakar, ada tata cara dan waktu bagaimana dan kapan lahan itu dapat dibuka dengan cara membakar.
ADVERTISEMENT
Kata Rudiansyah, dalam pola merun, sebelum dilakukan pembakaran mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat dan pemilik lahan yang sepadan dengan mereka. Dan sebelum melakukan pembakaran mereka sudah menyiapkan alat pemadaman agar api tidak membesar tak terkendali.
“Belukar dan pohon ditebang, lalu ditumpuk. Kemudian dibakar bertumpukan sehingga apinya tidak melebar kemana-mana. Mereka juga membuat sekat bakar untuk menjaga api. Jadi nggak akan menyebabkan kebakaran meluas,” kata Rudiansyah menambahkan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Orang Rimba, kata Rudiansyah. Metode yang hampir sama dengan nama yang mungkin berbeda.
“Jadi penegakan hukum harus membuka secara gamblang siapa pelakunya masyarakat tradisional Jambi apa bukan. Jangan menjustifikasi kalau itu dilakukan masyarakat tradisional Jambi,” katanya.
Orang Rimba saat mempraktikkan tradisi Melangun. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tidak jauh berbeda dengan Rudiansyah, Direktur Warsi, Rudi Syaf, juga mengatakan jika proses membuka lahan yang dilakukan masyarakat tradisional tidak akan menyebabkan kebakaran yang meluas. Karena dalam prosesnya mereka menaati aturan-aturan yang ada.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tradisional, kata Rudi, bukan membuka hutan. Lahan yang dibuka oleh masyarakat tradisional umumnya adalah lahan sesap. Lahan yang memang sudah lama dibiarkan tidak diolah ataupun lahan cadangan kalau ada keluarga baru yang akan membuka ladang baru.
“Umumnya bukan hutan, walaupun bentuknya seperti hutan tapi masih hutan sekunder sedang,” kata Rudi Syaf, belum lama ini.
Masyarakat tradisional ada yang namanya tradisi merun. Pola merun itu dilakukan di lahan seluas 2 hektare, karena kemampuan petani tidak mampu membuka lahan yang luas.
Orang Rimba. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam pola merun, kata Rudi, masyarkat memilih waktu yang tepat. Tidak sembarang waktu. Pembukaan lahan dengan merun dilakukan masyarakat menjelang musim hujan.
Dan saat melakukan pembakaran, masyarakat akan menjaga api agar tidak melebar. Mereka memastikan yang terbakar hanya tumpukan-tumpukan kayu yang sudah dipisah-pisah oleh mereka.
ADVERTISEMENT
“Relatif pola yang kayak gitu tidak merambat apinya kemana-mana,” kata Rudi.
Pola orang rimba atau SAD dalam membuka lahan juga sama dengan petani tradisional. “Cuma kalau orang rimba waktu dia membakar itu melakukan ritual. Sesuai kepercayaan mereka. Kalau orang melayu tidak ada ritualnya, tapi polanya sama," kata Rudi.
Orang rimba kata Rudi, saat membakar mereka membacakan mantra-mantra sambil mengelilingi api agar api itu tidak melebar kemana-mana. Dan tidak memungkinkan itu menjadi penyebab kebakaran akhir-akhir ini. (yovy)