Jembatan Maut di Jambi Sudah Renggut Korban Jiwa

Konten Media Partner
8 Oktober 2019 9:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak menuju sekolah melewati jembatan rusak di Desa Teluk Pandak, Kabupaten Bungo. Foto: ist
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak menuju sekolah melewati jembatan rusak di Desa Teluk Pandak, Kabupaten Bungo. Foto: ist
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Jembatan gantung yang menghubungkan dua desa di Kabupaten Bungo, Jambi, saat ini dalam kondisi rusak berat. Bahkan beberapa bulan lalu sudah pernah merenggut korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Izhar Syafawie (20), salah satu pemuda setempat, mengatakan jembatan itu sudah memakan korban.
"Kami sangat khawatir dengan kondisi jembatan ini. Takut memakan korban lagi," katanya, Senin (7/10).
Dia mengatakan sebelumnya sudah dua kali kecelakaan terjadi di jembatan yang menghubungkan Desa Teluk Pandak, Kecamatan Tanah Sepenggal, dengan Desa Embacang Gedang, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo itu.
"Pertama, pengemudi sama motornya jatuh, meninggal. Lalu yang kedua bisa selamat karena pegangan di sling (kawat) jembatan," ujarnya.
Selain kondisi jembatan yang sudah rusak, angin kencang juga kerap melanda jembatan yang membentang sepanjang 135 meter di atas sungai Batang Tebo itu, sehingga bisa membuat orang yang berjalan di atasnya jatuh ke sungai.
ADVERTISEMENT
"Sejak sebulan ini, kondisi jembatan sudah sangat memprihatinkan karena sudah sangat rusak. Pijakan untuk melewati jembatan pun sudah tidak ada, banyak yang bolong-bolong, jadi berbahaya sekali," kata Izhar.
Padahal menurutnya, jembatan ini menjadi akses pendidikan hingga ekonomi, masyarakat setempat. Setiap harinya, jembatan tersebut digunakan warga sekitar dan pelajar untuk akses menuju sekolah MAN 3 Bungo. Juga akses warga untuk ke kebun yang berada di seberang sungai.
"Memang banyak warga yang sering menggunakan jembatan ini, termasuk juga anak-anak yang hendak sekolah. Jembatan itu sangat dibutuhkan warga, karena warga yang mayoritas petani kalau mau ke kebun harus melewati jembatan itu," katanya.
Sebenarnya, anak sekolah bisa menggunakan getek (perahu tradisional warga setempat) namun, harus menunggu lama. Anak-anak sekolah takut terlambat, sehingga mau tak mau harus melewati jembatan tersebut. Selain itu, kalau naik getek para penumpang dikenakan biaya sebesar Rp 5 ribu per orang.
ADVERTISEMENT
"Ada getek, tapi nunggunya lama. anak-anak sekolahan takut telat dan selalu dimarahin gurunya, sehingga mau gak mau harus lewat sana (jembatan gantung) biar cepat meskipun berbahaya. Kalau naik getek mahal, 5 ribu per orang, dan juga lama. Bisa-bisa telat ke sekolah, karena sopir perahunya harus nunggu orang penuh dulu, baru mau nyebrang," ungkapnya.
Sampai saat ini, belum ada perbaikan apalagi pembangunan secara permanen dari pemerintah setempat untuk jembatan gantung yang kondisinya kian mengkhawatirkan itu.
Jembatan tersebut sudah sering diperbaiki oleh warga dengan alat seadanya. Dulu awalnya lantai papan, karena sering patah, lalu diganti sama kaleng (baja) yang sudah mulai berkarat. Selama ini, warga desa setempat sepakat untuk memperbaiki secara swadaya dan bergotong-rotong.
ADVERTISEMENT
Warga setempat sangat berharap pemerintah daerah maupun provinsi segera memperbaiki jembatan gantung tersebut secara permanen, sebagai akses utama penghubung antar desa sehingga tidak membahayakan warga dan anak-anak ketika melintas menuju ke sekolah. (bara)