Karhutla PT ATGA, Walhi: Penerapan Tanggungjawab Mutlak Sudah Tepat

Konten Media Partner
16 April 2020 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lahan PT ATGA yang terbakar pada 2015. Foto: KLHK
Jambikita.id - Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi Rudiansyah menilai penerapan pasal strict liability (tanggungjawab mutlak) untuk menjerat PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA) atas bencana kebakaran lahan dibarea konsesi mereka sudah sangat tepat.
ADVERTISEMENT
Kata Rudi, pasal strict liability yang tertuang dalam pasal 88 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) masih sangat strategis untuk diterapkan terhadap kasus kebakaran hutan. "Aparat bisa menerapkan tanggungjawab mutlak kepada korporasi yang konsesinya terbakar, terutama untuk Karhutla yang terjadi pada tahun 2019," kata Rudi, Kamis (16/4).
Dengan penerapan pasal strict liability, otomatis tidak perlu dibuktikan lagi soal kesalahan. Cukup dengan membuktikan kebakaran itu benar terjadi dalam konsesi perusahaan berdasarkaj izin yany diberikan.
"Dengan strict liability apabila terjadinya kegagalan mereka dalam mengelola lahan mereka harus bertanggungjawab. Poinnya kan kayak gitu," kata Rudi.
Pembuktian lanjut Rudi, bahwa lahan perusahaan benar terbakar cukup dengan mengambil koordinat atau melihat dokumen legal mereka dan titik api. (Itu) sudah selesai.  Terlepas itu dilakukan oleh pihak luar. Itu nggak perlu lagi dicari unsurnya," ungkap Rudy.
ADVERTISEMENT
Putusan atas gugatan KLHK terhadap PT ATGA saat baru putusan awal dan belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Namun, ada satu hal yang menjadi permasalahan, yaitu soal pembayaran tanggungjawab ketika putusan dinyatakan inkrah.
Rudi mengatakan, jika direfleksikan dari beberapa putusan yang inkrah, ada kesulitan dalam mengeksekusi putusan. "Kita pernah diskusi dengan penggugat seperti KLHK. Mereka juga mengalami kesulitan yang sama," kata Rudy.
Namun, kata dia kalau dilihat dalam hukum acara, ketika putusan inkrah sudah dikeluarkan pengadilan maka harus dibarengi juga dengan adanya perintah eksekusi. "Jadi pengadilan menyatakan untuk segera dieksekusi. Jadi ada surat dari pengadilan harusnya," ujar Rudi.
Dia berharap pengadilan juga memiliki persepektif soal keselamatan lingkungan. "Artinya ketika putusan inkrah kepala pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi. Pengadilan juga harus melakukan itu dengan segera. Makanya kita menekankan itu, setelah putusan inkrah harus segera mengeluarkan perintah eksekusi," kata dia.
ADVERTISEMENT
Kemudian Rudi juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengungkap fakta keadilan terhadap lingkungan, meski kasus kebakarannya tahun 2015 dan gugatannya baru terregistrasi tahun 2019 dan divonis 2020.  
Dengan gugatan yang dimenangkan KLHK itu kata Rudi, perusahaan terbukti bersalah dan lalai atas kebakaran yang terjadi di areal konsesi perusahaan.
Dalam konteks pemulihan ekologi kerusakan lahan gambut yang terbakar sebut Rudi suatu yang sangat penting. Sehingga perusahaan tidak bisa ditolerir lagi karena pada tahun 2019, perusahaan juga mengalami kebakaran dan menyebabkan bencana kabut asap yang merugikan masyarakat banyak. 
"Tahun 2019 perusahaan (PT ATGA) juga mengalami hal yang sama, terjadi kebakaran. Perusahaan lalai terus dan berulang kali terjadi kebakaran dilokasi yang sama," kata Rudi.
ADVERTISEMENT
Selain kasus PT ATGA ini, Rudi juga menyoroti kasus-kasus lain. Termasuk kebakaran yang terjadi pada 2019. Dari konversi dan hasil analisis data satelit yang dikaji Walhi kata Rudi menunjukan hampir 60 perusahaan di Jambi mengalami kebakaran, dan itu didominasi perusahaan yang konsesinya di areal gambut yang sulit dipadamkan saat terbakar.
Berdasarkan data kebakaran yang terjadi pada 2019 seharusnya sebut Rudi, banyak korporasi yang digugat oleh negara. Sebab, negara mempunyai tanggung jawab menyediakan dan memenuhi lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan.
 "Kita lihat proses gugatan terhadap pelaku kebakaran ini dalam menaikan status menjadi tersangka (korporasi) di Jambi relatif terlalu sedikit. Ini harus menjadi pelajaran, dan negara tidak boleh tunduk dan kalah terhadap pelaku kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi."
ADVERTISEMENT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI selaku penggugat pada kasus ini mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jambi yang memenangkan gugatan mereka.
Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan majelis hakim dalam hal ini telah berpihak kepada masyarakat dan lingkungan hidup. Putusan ini menunjukkan penerapan prinsip in dubio pro natura, dan prinsip kehati-hatian dalam mengadili perkara menggunakan beban pembuktian dengan pertanggungjawaban mutlak. "Putusan Karhutla ini penting karena karhutla merupakan kejahatan luar biasa," kata Rasio (15/4).
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan sebagian gugatan KLHK yang diwakilkan kepada Jaksa Pengacara Negara. Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Hakim Viktor Togi PT ATGA dihukum membayar ganti rugi materiil sebesar Rp160.180.335.500 dan membayar biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 430.362.687.500 atas kebakaran 1.500 Ha di lokasi mereka, serta menyatakan gugatan menggunakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
ADVERTISEMENT