Masyarakat Sipil Antikorupsi Sumatera Desak Jokowi Rombak Pansel KPK

Konten Media Partner
20 Mei 2019 10:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo KPK. Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Logo KPK. Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
Jambikita.id – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Wilayah Sumatera mendesak Presiden Joko Widodo untuk merombak total panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sejumlah hal.
ADVERTISEMENT
Juru bicara koalisi, Charles Simabura menyatakan koalisi yang terdiri dari lembaga masyarakat sipil Fitra Riau, PUSaKO FH-Unand, SAKA, GeRAK Aceh, Perkumpulan Integritas, Bhakti UBH dan Jikalahari itu mempertanyakan integritas pansel.
“Kami, Masyarakat Sipil Antikorupsi Wilayah Sumatera menuntut Presiden Joko Widodo untuk merombak total Pansel Calon Pimpinan KPK 2019-2023 agar Presiden tidak dituduh hendak menghancurkan KPK dari dalam,” katanya melalui rilis, Senin (20/5/2019).
Sebelumnya, presiden telah menerbitkat Keputusan Presiden Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2019-2023. Ada sembilan nama yang dipilih untuk mengisi posisi Pansel tersebut.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pemerintah berwenang membentuk Pansel.
ADVERTISEMENT
“Namun bukan berarti Presiden dapat “sewenang-wenang” menunjuk figur Pansel tanpa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan ketentuan dalam UU KPK,” katanya.
Dalam pasal 30 ayat (3) UU KPK mengatur setidaknya terdapat dua unsur Pansel KPK, yaitu dari unsur pemerintah dan masyarakat. Tentu dengan mempertimbangkan integritas yang dimiliki dan keterkaitan dengan isu pemberantasan korupsi.
“Dari Sembilan nama yang ditetapkan pemerintah sebagai pansel terdapat permasalahan yang berkaitan dengan upaya menemukan sosok yang tepat menjadi pimpinan KPK 2019-2023,” ujarnya.
Permasalahan itu, menurut koalisi, adalah sebagai berikut:
Pertama, masalah etik. Terdapat anggota Pansel yang bermasalah secara etik. Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi terbukti melakukan plagiasi terhadap sebuah makalah ketika mengikuti seleksi sebagai Dirjen Perundang-undangan pada 2014 silam.
ADVERTISEMENT
Selain itu Mualimin juga terbukti tidak melaporkan hartanya secara lengkap pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara [LHKPN] terkait polis asuransi sebesar Rp2,5 miliar. Selain bermasalah dalam soal kejujuran dan laporan keuangan, Mualimin juga pernah terlibat konflik dengan jasa laundry dengan menuntut mereka ratusan juta hanya karena jasnya kusut.
Padahal berdasarkan Pasal 29 huruf g UU KPK, pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Sedangkan Pasal 29 huruf k mengatur syarat agar Pimpinan KPK harus mengumumkan harta kekayaannya berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pertanyaan besarnya adalah mungkinkah seseorang yang bermasalah dengan berbagai kasus di atas dapat menyeleksi calon Pimpinan KPK yang harus memenuhi syarat pada Pasal 29 huruf g dan k UU KPK itu? Jika tidak mungkin, apa yang membuat pemerintah memaksakan penunjukan Mualimin Abdi?
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak berpihak pada KPK dan semangat antikorupsi. Beberapa nama diduga selama ini tidak berpihan pada KPK dan pemberantasan korupsi. Yenti Ganarsih dan Harkristuti Harkrisnowo terlibat sebagai tim ahli Rancangan KUHP yang cenderung memperlemah pasal-pasal pemberantasan korupsi dan KPK.
Ketiga, membela koruptor. Indriyanto Seno Adji pernah menjadi advokat yang membela koruptor dalam beberapa persidangan sebelum menjadi salah satu pimpinan KPK. Saat ini masih menjalankan profesinya sebagai advokat.
Padahal sebaiknya pimpinan KPK tidak pernah menangani perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf a UU KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi.
Sulit bagi Indriyanto Seno Adji untuk menolak figur calon pimpinan KPK yang pernah menangani perkara korupsi karena dirinya sendiri pernah melakukan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Keempat, bukan unsur antikorupsi. Terdapat unsur masyarakat yang memiliki nama yang cukup berintegritas dalam aktivitas hukum dan hak asasi manusia. Sayang, mereka bukanlah sosok aktivis yang sehari-hari bergelut dalam isu pemberantasan korupsi.
Terdapat pula Dirjen HAM Kemenkumham yang sehari-hari juga tidak bergelut pada isu tersebut. Padahal berdasarkan Pasal 30 ayat (3) UU KPK, Pansel harus terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Tentu saja unsur tersebut menggambarkan aktivitas mereka dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dari unsur-unsur Pansel yang dipilih Presiden Joko Widodo, jelas unsur antikorupsinya tidak terlihat. Hal itu terkesan ingin menjauhkan unsur masyarakat yang benar-benar terlibat dalam isu pemberantasan korupsi untuk menyeleksi calon pimpinan KPK.
Kenapa unsur pemerintah dan masyarakat yang dipilih jauh dari aktivitas pemberantasan korupsi? Padahal kasus-kasus HAM yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi mereka tidak pula terlibat jauh, misalnya dalam kasus Novel Baswedan.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan catatan itu, Masyarakat Sipil Antikorupsi Wilayah Sumatera menuntut Presiden untuk merombak total pansel. Ini sebagai bagian dari peran masyarakat berpendapat dan terlibat dalam penyelenggaran pemerintahan sebagaimana dilindungi UUD 1945,” jelas koalisi. (r/hery)