Tradisi Bekintangon, Bukti Kesetiaan Cinta Orang Rimba di Jambi

Konten Media Partner
2 November 2019 10:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak Orang Rimba atau suku anak dalam (SAD). Foto: AMAN
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Orang Rimba atau suku anak dalam (SAD). Foto: AMAN
ADVERTISEMENT
Jambikita.id - Anak milenial dan generasi Z sekarang belum tentu sanggup mencari pasangan seperti yang dilakukan oleh Orang Rimba di pedalaman Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Untuk mencari pasangan, pemuda Orang Rimba harus menjalani tradisi bekintangon. Tradisi bekintangon adalah pengabdian dalam berpacaran.
ADVERTISEMENT
Tradisi itu mengharuskan Orang Rimba yang berstatus jomlo mengabdi dan bekerja selama enam tahun untuk menghidupi gebetannya. Apabila hubungan yang dijalin dirasa cocok, maka pasangan tersebut bisa lanjut ke pelaminan. Namun, kasus jalinan asmara putus di tengah jalan juga sering terjadi. Seperti yang dialami Betuah, remaja Rimba.
Tradisi bekintangon sebenarnya bisa dilakukan oleh semua Orang Rimba baik pria maupun wanita. Namun, tradisi ini lebih sering dilakukan oleh kaum pemuda dengan tujuan agar mereka bisa bertanggung jawab membina keluarganya.
Saat melaju menggunakan motor di jalan berlubang dekat Air Panas, di kaki Bukit Duabelas, Betuah (18) berjumpa mantan pacar. Dia pun memberi klakson, tanda keakraban yang dibalas dengan senyuman.
Sepanjang jalan menuju rumah H. Jaelani atau Tumenggung Tarib di Desa Paku Aji, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, Betuah bercerita suka duka dalam menjalankan tradisi Bekintangon, di keluarga Bepawal (18) mantan pacarnya, yang doyan tinggal di kebun sawit.
ADVERTISEMENT
Betuah sudah dua tahun menjalani tradisi bekintangon, yakni tinggal dan membantu calon mertua atau ayah perempuan yang ditaksir, dalam segala urusan pekerjaan tanpa pamrih. Di antaranya menyadap karet, berladang atau bermalom, mencari jernang, dan berburu.
"Saya membantu semua pekerjaan (ayah) perempuan yang disayang. Dan tinggal bersama keluarganya selama dua tahun," kata Betuah dengan senyum simpul saat dijumpai Jambikita di Bukit Duabelas, beberapa waktu lalu.
Betuah mengaku bahagia pernah hidup bersama keluarga Bepawal. Setelah berangkat kerja bersama ayah perempuan dan biasanya pulang larut malam, di rumah telah tersedia makanan dan kopi, buatan sang pujaan hati.
"Itulah obat pelepas lelah," kenang Betuah dengan mata berbinar.
Remaja Orang Rimba yang sehari-hari aktif sebagai penyiar Radio Komunitas Orang Rimba (Benor) itu, mengatakan saat melakukan tradisi bekintangon, ia juga dituntut untuk mendidik wanita pujaan hati, tentang cara hidup dan bekerja dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Poin penting dalam bekintangon adalah mendidik calon istri. Meskipun tinggal bersama keluarga perempuan, Betuah tidak boleh macam-macam, selayaknya gaya berpacaran anak milenial.
"Kalau pegang tangan, denda 20 bidang kain," sebut Betuah dengan tegas.
Bahkan di tempat lain, bukan di Kedundung Mudo, kelompok Tumenggung Grip. Mengajak perempuan muda rimba bicara, bisa didenda 50 bidang kain.
Namun sayang, setelah dua tahun bekintangon, Betuah dan Bepawal tak berjodoh. Keduanya telah berbeda keyakinan, Betuah telah memeluk Islam, sedangan Bepawal masih setia dengan kepercayaan Bedewo (kepercayaan lelulurnya).
Menurut Betuah, apabila menikah namun tradisi bekintangon-nya belum genap enam tahun, maka ada tradisi dipukul pakai kayu (lelaki dan perempuan) oleh seluruh keluarga perempuan.
"Pukulan itu terkadang sampai cacat. Tapi kita boleh melarikan diri. Ini bagian dari menebus dosa. Karena bekintangon belum sampai 6 tahun," kata Betuah lagi.
ADVERTISEMENT
Bagi para milenial yang pacaran putus-nyambung, bisa belajar kepada anak muda rimba. Bahwa cinta itu berat. Butuh perjuangan dan tidak boleh main-main. (Suwandi)
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock