Ditengah Maraknya Joki Pilkada

Mujamin Jassin
Penyuka buku-buku puisi, novel, sastra, filsafat. Kolumnis dan pelopor MAAI. Ketua Kominfo DPP KNPI. Alumni Ilmu Politik, UMM Malang. Pemerhati pembangunan daerah di Aksaratumapel Foundation.
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 12:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mujamin Jassin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kamus perjokian Pilkada ini melebihi makna aslinya joki dari wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Joki (dari bahasa Inggris: jockey) ialah seseorang yang memacu kuda.
ADVERTISEMENT
Joki Pilkada menjadi konotatif karena ulahnya mirip calo, atau aktivitas seseorang untuk mencalokan (bukan mencalonkan) diri sebagai aktornya.
Perjokian Pilkada, bukan profesi joki yang modelnya macam-macam seperti pria tangguh yang berkaos, atau ada pula yang berdandan necis dalam perjokian 3 in 1 yang merusak pemandangan Jakarta terdahulu.
Tetapi, joki Pilkada adalah mereka yang membuat dinamika politik Pilkada saat ini lebih pada semata-mata bicara terkait pengukuhan ‘politik citra’ bakal calon (balon). Tidak ada substansi indikator-indikator program yang jelas yang mereka bawa, kapasitas individu atau ide kolektif konkret apa yang ditawarkan guna meningkatkan masa depan daerah yang lebih baik.
Mereka membuat solusi imajiner, semu, memakai narasi besar dan umum yang semata-mata bertujuan membentuk persepsi positif untuk si balon. Padahal, dengan begitu, mereka sendiri pun mengalami kesulitan dalam memahami relevansinya apa dengan realitas problematika klasik pembangunan daerah.
ADVERTISEMENT
Mereka menghantarkan si balon yang coba-coba (peruntungan), politisi dadakan yang terkadang ada juga yang tour balik kampung (jarang datang), tapi tiba-tiba saja seolah dia sangat tahu dan mengerti jalan menyelesaikan multi masalah daerah.
Dengan membuat sebuah simulasi pengesanan “seakan-akan”. Misalnya seakan-akan si balon pro rakyat, seakan-akan mereka terpanggil bekerja demi daerah, dikesankan seakan-akan pro petani, nelayan dan pedagang kecil.
Sumber gambar ilustrasi: Medium
Atau dengan cara-cara, pola atau gaya yang sangat mekanistik yakni seolah-olah ia pemimpin yang bisa menghadirkan kesejahteraan, mengaku santun, bermoral dan seterusnya.
Pemilahan (memilih) label atau slogan politik yang seolah menjadi pembeda atau antitesa dari rezim lama. Menggunakan ornamen berkunjung ke desa-desa, datang ke berbagai acara hajatan seolah dekat dengan rakyat. Dan lucunya, si balon sesungguhnya sangat ‘tidak mengerti jalan’, dengan kata lain hanya mengandalkan di pandu para joki.
ADVERTISEMENT
Terjadinya distorsi tak hanya itu, bahkan Partai Politik (Parpol) pada level daerah yang seharusnya mempunyai peran penting dan bebas di dalam mendinamisasi, serta memproses prosedural pencalonan secara benar para bakal calon.
Terhadap informalitas dalam memahami dinamika politik lokal, hingga pelembagaan partisipasi politik yang dibangun susah payah oleh pengurus-pengurus partai tersebut, relative tidak memiliki kekuatan inheren lagi. Karena di buat berantakan atau akibat ulah politik perjokian mengecaubalaukannya.
Semua hal di atas adalah bukan hanya sebagai penanda, tapi menjadi penegas bahwa para joki Pilkada sedang bekerja. Hal-hal yang membuat Pilkada menjadi hanya sekedar hysteria sekaligus euforia, energi masyarakat terjebak dan tersedot ke dalam penciptaan kesan seolah-olah. Baik pada setiap narasi, dan pada label yang mendewakan kata dan citra.
ADVERTISEMENT
Pada konteks itu semua, terutama dalam Pilkada Kabupaten Bima, tanah lahir dan tumbuh besarnya penulis, sebagai pemilih seyogyanya masyarakat tidak mengacuhkan calon-calon yang terindikasi berbau perjokian tersebut. Sebagai ganjaran yang sahih pada pemahaman partisipasi dalam pesta demokrasi Pilkada ini.
Tanpa membatasi dan melukai prinsip demokrasi yang melazimkan alasan, bahwa sah-sah saja maraknya fenomena joki Pilkada. Yang paling penting tidak ada hukum atau secara konstitusional yang melarang atau ditabraknya.
Artinya tak ada yang salah memang dengan hadir atau munculnya politisi dadakan, politisi yang tiba saat tiba waktu Pilkada lalu tour balik kampung untuk mencoba-coba (peruntungan) lewat joki tadi.
Lebih dari itu, kita berharap kendati dibantu oleh para joki yang berhasil mempermainkan perasaan bahkan cenderung menyesatkan tersebut, si balon seharusnya tak hanya sekedar gembira menjadi magnit politik yang menarik bagi nilai pasar elektoral.
ADVERTISEMENT
Berkesinambungan dengan itu, dia sebaiknya mencari formula (basis pengetahuan) yang memecahkan kebuntuan daerah. Dan perlu di tegaskan keranah lain, ia akan lebih menjaminkan dirinya siap menjadi turbin pemutar mesin kemajuan yang mandeg terwujud selama ini.
Perjuangan politiknya digerakkan oleh pikiran dan cita-cita besar, visi yang jauh ke depan, dan ia memiliki kesetiaan pada cita-cita tersebut. Bukan menjadi politisi rabun ayam yang hanya mampu melihat jarak pendek.
Masih dalam kerangka pikir yang sama, para joki pula pun tak hanya semata-mata targetnya mengais dan menyulap kompensasi finansial dari kerja-kerja sale politiknya, tetapi jauh dari itu, para joki jadilah pemandu perjalanan sejarah.
Sebab bila tak demikian, kita bisa saja memvonis kematian harapan kedepan. Pesimistis dan menihilkan akan berkembangnya demokrasi ke arah yang semakin berbobot, karena ternyata memang susah mendisiplinkan demokrasi lokal dari para tukang joki. []
ADVERTISEMENT